Tampilkan postingan dengan label MAKALAH. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label MAKALAH. Tampilkan semua postingan

Kamis, 19 Desember 2019

INOVASI KURIKULUM BERBASIS KOMPETENSI DAN BERBASIS MASYARAKAT

MAKALAH

INOVASI KURIKULUM
BERBASIS KOMPETENSI DAN BERBASIS MASYARAKAT
Diajukan untuk Memenuhi Tugas Inovasi Pembelajaran
Dosen : Muhammad Ferry Mustika M.Pd,I




Disusun oleh :
Riki Subagja 
Tubagus Ibnu Fajar




JURUSAN TARBIYAH
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM SILIWANGI BANDUNG
2019




KATA PENGANTAR

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
           Alhamdulillah Puji serta syukur kehadirat Allah SWT rahmat dan karunia-Nya selalu tercurahkan kepada umatnya yang selalu taat kepada-Nya , salawat serta salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah SAW. Sehingga Makalah ini dapat di selesaikan dengan baik , makalah yang berjudul “ Inovasi Pembelajaran” dan sebagai bukti untuk memenuhi tugas mata kuliah Inovasi Pembelajaran, bapak Muhammad Ferry Mustika M.Pd,I Selaku Dosen bahwa kami telah menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya.
            Kami menyadari bahwa dalam makalah ini masih terdapat kekurangan dan kekhilafan. Harapan kami semoga dalam makalah ini pembaca dapat memahami dan mengerti serta mengamalkan materi yang sudah kami tulis dan selesaikan. Kami sebagai penulis menyadari masih banyak sekali kekurangan dalam penulisan makalah ini, jadi kami sangat berharap adanya keritik dan saran yang membangun sehingga pada kesempatan lain kami dapat lebih baik.


Cimahi, Desember 2019

                                                                                           Penyusun 








DAFTAR ISI   
KATA PENGANTAR..........................................................................................i
DAFTAR ISI.........................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang........................................................................1
Rumusan Masalah...................................................................2
Tujuan......................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
Inovasi Kurikulum Berbasis Kompetensi dan Kurikulum.......3

Karakteristik Inovasi Kurikulum Berbasis Kompetensi dan Masyarakat...............................................................................6

Pengembangan Inovasi Kurikulum Berbasis Kompetensi dan Masyarakat..............................................................................10

BAB III PENUTUP
Kesimpulan................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................18




BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Manusia sekarang ini tidak lepas dari bantua teknologi dan penerimaan informasi dalam jangka waktu yang singkat. kebutuhan akan layaan individual terhadap peserta didik dan perbaikan kesempatan belajar bagi mereka, telah menjadi pendorong utama dalam pembaharuan pendidikan. 
Pemahaman mengenai inovasi kurikulum akan sangat membantu guru dalam menerapkan kaidah-kaidah pembelajaran di sekolah, karena itu inovasi kurikulu tidak dapat dipisahkan dari keberhasilan dalam pendidikan. Maju mundurnya pendidikan bergantubg sejauhmana pemahaman guru dalam melaksanakan tugasnya di sekolah termasuk pemahaman terhadap kurikulum. Karena itu sifatnya mutlak bagi guru dalam membelajarkan siswa memahami inovasi kurikulum, tanpa melakukan inovasi kurikulum rasanya sulit bagi guru mengetahui secara pasti bagaimana kemajuan pendidikan.
Perkembangan teknologi, komunikasi dan telekomunikasi yang merambah cepatdalam berbagai aspek kehidupan khususnya dalam dunia pendidikan begitu pula dengan masyarakat. Namun di masyarakat ada yang menerima secara cepat dan ada pula yag lambat. Efek perubahan di masyarakat akan berimbas pada setiap individu warga masyarakat, pengetahuan, kecakapan, sikap, kebiasaan bahkan poa-pola kehidupan.
Tidak lupa pula perkembangan pendidikan akan seiring sejalan dengan dinamika masyarakatnya, karena ciri masyarakat selalu berkembang. Ada kelompok masyarakat yag berkembang cepat, tetapi ada pula yang lambat. Hal ini karena pengaruh dan perkembangan teknologi, komunikasi dan telekomunikasi. Dalam kondisi seperti ini perubahan-perubahan di masyarakat terjadi pada semua aspek kehidupan. Efek perubahan di masyarakat akan berimbas pada setiap individu warga masyarakat, pengetahuan, kecapakan, sikap, kebiasaan bahkan pola-pola kehidupan.


Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat dirumuskan hal-hal yang akan menjadi bahan pembahasan dari makalah ini, yaitu:
Apakah yang dimaksud dengan kurikulum berbasis kompetensi? dan masyarakat?
Bagaimana karakterisktik kurikulum berbasis kompetensi dan masyarakat?
Bagaimana pengembangan kurikulum berbasis kompetensi dan masyarakat?

Tujuan Penelitian
Dari rumusan masalah di atas, maka dapat dirumuskan tujuan penulisan dari makalah ini adalah untuk:
Merumuskan pengertian inovasi kurikulum berbasis kompetensi dan masyarakat.
Mendeskripsikan karakteristik inovasi kurikulum berbasis kompetensi dan masyarakat.
 Menguraikan pengembangan inovasi kurikulum berbasis kompetensi dan masyarakat.










BAB II
PEMBAHASAN

Inovasi Kurikulum Berbasis Kompetensi dan Kurikulum
Kompetensi merupakan kemampuan mengerjakan sesuatu yang berbeda dengan dengan sekedar mengetahui sesuatu. Kompetensi harus didemonstrasikan sesuai dengan standar yang ada di lapangan kerja. Kompetensi dapat berupa pengetahuan, keterampialan dan nilai-nilai dasar yang merefleksikan dalam kebiasaan berfikir dan bertindak. Kebiasaan berfikir dan bertindak secara konsisten dan terus menerus setiap pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai dasar untuk melakukan sesuatu. Kompetensi dapat diartikan suatu kemampuan untuk mentransfer dan menerapkan pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki seseorang pada situasi yang baru. (Hamallik, 2000)
Inovasi Kurikulum Berbasis Kompetensi
Kurikulum berbasis kompetensi merupakan seperangkat rencana dan pengaturan tentang kompetensi dan hasil belajar yag harus dicapai siswa, penilaian, kegiatan belajar mengajar dan pemberdayaan sumber daya pendidikan mengembangkan sekolah. (Depdiknas 2002:3)
Kurikulum Berbasis Komputer (KBK) lahir sebagai jawaban terhadap berbagai kritikan masyarakat terhadap kurikulum 1994 serta sesuai dengan perkembangan kebutuhan dan dunia kerja. KBK merupakan salah satu upaya pemerintah untuk mencapai keunggulan masyarakat bangsa dalam penguasaan ilmu dan teknologi seperti yag digariskan dalam haluan negara. Dengan demikian KBK diharapkan dapat menyelesaikan berbagai permasalahan yang sedang dihadapi oleh dunia pendidikan dewasa ini, terutama dalam memasuki era globalisasi yag penuh dengan berbagai macam tantangan. (Binti Maunah, 2009:121-122). Dapat dipastikan bahwa hanya individu yang mampu bersaing yang akan dapat berbicara dalam era globalisasi ini. Untuk itu, setiap individu harus memiliki kompetensi yang handal dalam berbagai bidang sesuai dengan minat, bakat dan kemampuan nyata. (Sanjaya, 2005:8)
Wina Sanjaya (2005) memberikan apresiasi terdapat 4 kompetensi dasar yang harus dimiliki siswa sesuai dengan tuntutan KBK, yaitu:
Kompetensi akademik, yaitu peserta didik harus memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam mengatasi tantangan dan persoalan hidup.
Kompetensi okupasional, artinya peserta didik harus memiliki kesiapan dan mampu beradaptasi dengan dunia kerja.
Kompetesi kultural, artinya peserta didik harus mampu menempatkan diri sebaik-baiknya dalam sistem budaya dan tata nilai masyarakat.
Komptensi temporal, yaitu peserta didik tetap eksis dalam menjalani kehidupannya sesuai dengan perkembangan zaman.
Inovasi Kurikulum Berbasis Masyarakat
Kurikulum berbasis masyarakat merupakan kurikulum yang menekankan perpaduan antara sekolah dan masyarakat guna mencapai tujuan pengajaran. Kurikulum ini pula memiliki tujuan memberikan kemungkinan kepada siswa untuk akrab dengan lingkungan dimana mereka tinggal, mandiri dan bekal keterampilan. Karakteristik kurikulum berpusat kepada masyarakat ditinjau dari segi pembelajaran baik berorientasi, metode, sumber belajar, strategi pengajaran berpusat pada kepentingan siswa sebagai bekal hidup di masa mendatang. 
Kurikulum berbasis masyarakat, bahan dan objek kajiannya menyesuaikan kebijakan dan ketetapan yang dilakukan di daerah, disesuaikan dengan kondisi lingkungan alam, sosial, ekonomi, budaya dan disesuaikan dengan kebutuhan pembangunan daerah yang perlu dipelajari oleh siswa di daerah tersebut.
(https://www.slideshare.net/mobile/rahmabeibh/makalah-inovasi-pend)


Tujuan kurikulum tersebut adalah:
Memperkenalkan siswa terhadap lingkungannya, ikut melestarikan budaya termasuk kerajinan, keterampilan yang dinilai ekonominya tinggi di daerah tersebut.
Membekali siswa kemampuan dan keterampilan yang dapat menjadi bekal hidup di masyarakat, seandainya mereka tidak dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
membekali siswa agar hidup mandiri, serta dapat membantu orang tua dalam mememnuhi kebutuhannya.
Kurikulum berbasis masyarakat memiliki beberapa keunggulan atau kelebihan antara lain:
Kurikulum sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat setempat.
Kurikulum sesuai dengan tingkat dan kemampuan sekolah, baik kemampuan finansial, profesional maupun manajerial.
Ketiga, disusun dan oleh guru-guru sendiri dengan demikian memudahkan dalam pelaksanaannya.
Ada motivasi kepada sekolah khusus kepala sekolah dan guru kelas untuk mengembangkan diri, mencari dan menciptakan kurikulum yang sebaik-baiknya, dengan demikian akan terjadi semacam kompetensi dalam pengembangan kurikulum.
Ada baiknya NIER (1999:21-22) menjelaskan yang menjadi fokus dan perhatian utama masyarakat dalam kebijakan pendidikan yang ditempuh dalam suatu negara, yaitu:
Fokus sektor pembangunan keterpaduan sosial dan identitas nasional dalam percaturann global hanya untuk mempertahankan cultural heritage.
Fokus pada pembinaan budaya, etnis dan nilai-nilai moral.
Fokus pada pengembangan ekonomi masa depan dan persaingan global atau internasional.
Fokus pada persamaan kesempatan dalam bidang gender, disabilities, income.
Fokus pada upaya untuk meningkatkan pencapaian siswa.

Karakteristik Inovasi Kurikulum Berbasis Kompetensi dan Masyarakat
Karakterisktik Inovasi Kurikulum Berbasis Komputer
Sasaran KBK pada penguasaan kompetensi dalam bidang-bidang praktis terutama pekerjaan keahlian baik kompetensi teknis, vokasional maupun profesional. Suatu bidang pekerjaannya tugas utamanya berkenaan dengan kompetensi perbuatan, perilaku, performance yang menunjukkan kecapakan, kebiasaan, keterampilan melakukan sesuatu tugas atau peranan secara standar seperti yang dituntut oleh sutau okupasi. (Nana Syaodih, 2004:17)
Makna yang terkandung dan tersirat dalam KBK terdiri dari dua hal, yaitu: Pertama, KBK mengharapkan adanya hasil dan dampak yang diharapkan muncul pada diri peserta didik melalui serangkaian pengalaman belajar yang bermakna. Kedua, KBK memberikan peluang pada siswa sesuai dengan keberagaman yang dimiliki masing-masing. Dalam KBK, siswa tidak sekedar dituntut untuk memahami sejumlah konsep, akan tetapi bagaimana konsep yang dipelajari berdampak pada perilaku dan pola pikir dan bertindak sehari-hari. Kemudian dalam KBK menghargai bahwa setiap siswa memiliki kemampuan, minat dan bakat yang berbeda sehingga diberikan peluang kepada siswa tersebut untuk belajar sesuai dengan keberagaman dan kecepatan masing-masing. Oleh karena itu dalam KBK, proses pembelajaran harus didesain agar dapat melayani setiap keberagaman tersebut.
Berdasarkan makna tersebut, maka KBK sebagai sebuah kurikulum memiliki karakteristik utama sebagai sebagai berikut: Pertama, KBK memuat sejumlah kompetensi dasar sebagai kemampuan standar minimal yang harus dikuasai dan dicapai siswa. Kedua, implementasi pembelajaran dalam KBK menekankan pada proses pengalaman dengan memperhatikan keberagaman setiap individu. Ketiga, evaluasi dalam KBK menekankan pada evaluasi dan proses belajar. (Binti Maunah, 2009:24)
Depdiknas (2002) mengemukakan karakteristik KBK secara lebih rinci dibandingkan dengan pernyataan di atas, yaitu:
Menekankan pada ketercapaian komptensi baik secara individual maupun klasikal, artinya isi KBK intinya sejumlah kompetensi yang harus dicapai siswa dan kompetensi inilah sebagai standar minimal atau kemampuan dasar.
Berorientasi pada hasil belajar dan keberagaman, artinya keberhasilan pencapaian kompetensi dasar diukur oleh indikator hasil belajar. Indikator inilah yang dijadikan acuan kompetensi yang diharapkan. Proses pencapaian tentu saja bergantung pada kemampuan dan kecepatan yang berbeda dari setiap siswa.
Penyampaian dalam pembelajaran menggunakan pendekatan dan metode yang berfariasi sesuai dengan keberagaman siswa.
Sumber belajar bukan hanya guru, tetapi sumber belajar lain yang memenuhi unsur edukatif, artinya sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknoologi informasi. Guru berperan sebagai fasilitator untuk mempermudah siswa belajar dari berbagai macam sumber belajar.
Penilaian menekankan pada proses dan hasil belajar dalam upaya penguasaan atau pencapaian suatu kompetensi. KBK menempatkan hasil dan proses belajar sebagai dua sisi yang sama pentingnya. (Mulyasa, 2006:42)
Pencapaian KBK adalah mengembangkan peserta didik untuk menghadapi perannya di masa mendatang dengan cara mengembangkan sejumlah kecakapan hidup (life skill). Life skill merupakan kecakapan yang harus dimiliki seseorang untuk terbiasa berani menghadapi problem kehidupan secara wajar kemudian secara kreatif mencari solusi untuk mengatasinya. (http://file.upi.edu/Direktori/DUAL-MODES/INOVASI_PENDIDIKAN/Modul_4-Inovasi_Kurikulum.pdf)
Karakteristik Inovasi Kurikumulum Berbasi Masyarakat
Model pengajaran yang berpusat pada masyarakat adalah suatu bentuk kurikulum yang memadukan antara sekolah dan masyarakat dengan cara membawa sekolah ke dalam masyarakat atau membawa masyarakat  ke dalam sekoalah guna mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Hamalik (2005) merinci karakteristik kurikulum berbasis pada masyarakat meliputi:
Karakteristik pembelajaran pada kurikulum berbasis masyarakat:
Pembelajaran berorientasi pada masyarakat, di masyarakat dengan kegiatan belajar bersumber pada buku teks.
Disiplin kelas berdasarkan tanggungjawab bersama bukan berdasarkan paksaan atau kebebasan.
Metode mengajar terutama dititikberatkan pada pemecahan masalah untuk memenuhi kebutuhan perorangan dan kebutuhan sosial atau kelompok.
Bentuk hubungan atau kerjasama sekolah dan masyarakat adalah mempelajari sumber-sumber masyarakat, menggunakan sumber-sumber tersebut dan memperbaiki masyarakat tersebut.
strategi pembelajaran meliputi karyawisata, manusia (narasumber), survey masyarakat, berkemah, kerja lapangan, pengabdian masyarakat, kuliah kerja nyata, proyek perbaikan masyarakat dan sekolah pusat masyarakat.
Karakteristik materi pembelajaran pada kurikulum berbasis masyarakat:
Agar pembelajaran dan penyesuaian dengan tuntutan kewilayahan tidak meluas dan melebar, maka perlu diperhatikan kriteria untuk menyeleksi materi yang perlu diajarkan, kriteria tersebut di antara lain:
Validitas, telah teruji kebenaran kesahihannya.
Tingkat kepentingan yang benar-benar diperlukan oleh siswa.
Kebermanfaatan, secara akademik dan non akademik sebagai pembangunan kecakapan hidup (life skill) dan mandiri.
Layak dipelajari, tingkat kesulitan dan kelayakan bahan ajar dan tuntutan kondisi masyarakat sekitar.
Menarik minat, dapat memotivasi siswa untuk mempelajari lebih lanjut dengan menumbuhkan rasa ingin tahu.
Alokasi waktu, penentuan alokasi waktu terkait dengan keleluasaan dan kedalaman materi.
Sarana dan sumber belajar, dalam arti media atau alat peraga yang berfungsi memberikan kemudahan terjadinya proses pembelajaran.
Karakteristik guru dan siswa dalam inovasi kurikulum berbasis masyarakat
Kegiatan siswa, mestinya mempertimbangkan pemberian peluang bagi siswa untuk mencari, mengolah dan menemukan sendiri pengetahuan, di bawah bimbingan guru. Juga materi pembelajaran dipilih haruslah yang dapat memberikan pembekalan kemampuan atau kecakapan kepada peserta didik untuk memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari  dan mempunyai kecakapan hidup atau dapat hidup mandiri dengan menggunakan pengetahuan, sikap dan keterampilan yang telah dipelajari.
Guru dalam kurikulum berbasis pada masyarakat berperan sebagai fasilitator, sumber belajar, pembina, konsultan, sebagai mitra kerja yang memfasilitasi siswa dalam pembelajaran. Sehingga menghasilkan lulusa yang memiliki karakter, kecakapan dan keterampilan yang kuat untuk digunakan dalam mengadakan hubungan timbal balik dengan lingkungan sosial, budaya dan alam sekitar, serta mengembangkan kemampuan lebih lanjut dalam dunia kerja atau pendidikan lebih lanjut.
Karakteristik penilaian kurikulum berbasis masyarakat
Penilaian merupakan serangkaian kegiatan untuk mengumpulkan, menganalisis, dan menaksirkan data tentang proses dan hasil belajar siswa yang dilakukan secara sistematis dan berkesinambungan, sehingga menjadi informasi yang bermakna dalam pengambilan keputusan. Penilaian ini dilakukan secara terpadu dengan kegiatan belajar mengajar, oleh karena itu disebut penilaian berbasis kelas (PBK). PBK ini dilakukan dengan mengumpulkan kerja siswa (fortofolio), hasil karya (penugasan), kinerja (performance), dan tes tertulis. Guru menilai kompetensi dan hasil belajar siswa berdasarkan tingkat pencapaian prestasi siswa selama dan setelah kegiatan belajar mengajar.
Berdasarkan karakteristik kurikulu berbasis masyarakat di atas, maka hakikatnya karakteristik tersebut dapat dijabarkan menjadi beberapa karakteristik lain diantaranya:
Kurikulum bersifat realistuk, karena hal-hal yang dipelajari bersumber dari kehidupan yang nyata.
Kurikulum menumbuhkan kerjasama dan integrasi antara sekolah dan masyarakat, karena sekolah masuk dalam lingkungan masyarakat dan masyarakat masuk dalam lingkungan sekolah.
Kurikumlum berbasis masyarakat memberikan kesempatan yang luas kepada siswa untuk belajar secara aktif penuh kreativitas yang telah dianjurkan oleh teori modern.
Prosedur pembelajaran memberdayakan semua metode dan teknik pembelajaran secara sistematik dan bervariasi.
Pengembangan kurikulum berbasis masyarakat membantu siswa agar mampu berperan dalam kehidupan sekarang ini.
Kurikulum masyarakat menyediakan sumber-sumber belajar yang berasal dari masyarakat. (http://file.upi.edu/Direktori/DUAL-MODES/INOVASI_PENDIDIKAN/Modul_4-Inovasi_Kurikulum.pdf)

Pengembangan Inovasi Kurikulum Berbasis Kompetensi dan Masyarakat
Pengembangan kurikulum merupakan suatu proses kompleks dan melibatkan berbagai faktor terkait. Oleh karena itu dalam proses pengembangan kurikulum berbasis kompetensi tidak hanya menuntut keterampilan teknis dari pihak pengembang terhadap pengembangan berbagai komponen kurikulum, tetapi harus pula dipahami berbagai faktor yang mempengaruhinya.
Pengembangan Inovasi Kurikulum Berbasis Kompetensi
Pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) seperti pengembangan kurikulum pada umumnya terdiri dari beberapa tingkat, yaitu tingkat nasional, tingkat lembaga, tingkat bidang studi dan tingkat satuan bahasan. (Mulyasa, 2006:63-64)
Pertama, Pengembangan kurikulum tingkat nasional, dalaam kaitannya dengan KBK, pengembangan kurikulum tingkat nasional dilakukan dalam rangka mengembangkan standar kompetensi untuk masing-masing jenjang dan jenis pendidikan, terutama pada jalur penidikan sekolah.
Kedua, Pengembangan kurikulum tingkat lembaga, kegiatan yang dilakukan pada tahapan ini antara lain: (1) mengembangkan kompetensi lulusan dan merumuskan tujuan-tujuan pendidikan pada berbagai jenis lembaga pendidikan. (2) berdasarkan kompetensi dan tujuan di atas selanjutnya dikembangkan bidangn-bidang studi yang akan diberikan untuk merealisasikan tujuan tersebut. (3) mengembangkan dan mengidentifikasi tenaga-tenaga kependidikan (guru dan non guru) sesuai dengan kualifikasi yang diperlukan. (4) mengidentifikasi fasilitas pembelajran yang diperlukan untuk memberi kemudahan belajar.
Ketiga, Pengembangan kurikulum tingkat bidang studi (penyusunan silabus) kegiatan yang dilakukan antara lain: (1) mengidentifikasi dan menentukan jenis-jenis kompetensi dan tujuan setiap bidang studi. (2) mengembangkan kompetensi dan pokok-pokok bahasan, serta mengelompokkannya sesuai dengan ranah pengetahuan, pemahaman, kemampuan (keterampilan), nilai dan sikap. (3) mendeskrupsikan kompetensi serta mengelompokkannya sesuai dengan skope dan skuensi. (4) mengembangkan indikator untuk setiap komptensi serta kriteria pencapaiannya.
Keempat, pengembangan kurikulum tingkat satuan bahasan (modul). Dalam KLB pembelajaran yang dikembangkan adalah modul, sehingga kegiatan pengembangan kurikulum pada tingkat ini adalah menyusun dan mengembangkan paket-paket modul. (Mulyasa,2006:65)
Asas pengembangan inovasi kurikulum berbasi kompetensi
Pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) sebagai pedoman dan alat pendidikan bagi guru, didasarkan pada tiga asas pokok, yaitu asas filosofis, asas psikologis dan asas sosiologis-teknologis. 
Pertama, asas filosofis berkenaan dengan sistem nilai (value sistem) yang berlaku dimasyarakat. Sistem nilai erat kaitannya dengan arah dan tujuan yang harus dicapai. Dalam pengembangan KBK, filsafat sebagai sistem nilai menjadi sumber utama dalam merumuskan tujuan dan arah pendidikan. Isi KBK yang disusun harus memuat dan mencerminkan nilai-nilai pancasila. Secara jelas tujuan pendidikan nasional yang bersumber dari sistem nilai pancasila sebagaimana dirumuskan dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang sisdiknas pasal 3, bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang  bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembang potensi peserta didik, agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, bermakhluk mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab.
Kedua, asas psikologis berhubungan dengan aspek dan perkembangan peserta didik. Mengapa KBK harus didasarkan pada asas psikologis? Karena pertama, secara psikologis anak didik memiliki perbedaan baik perbedaan minat, bakat maupun potensi yang dimilikiya. walaupun secara fisik mungkin saja ada dua orang anak yang sama, akan tetapi secara psikologis tidak mungkin sama. Kedua, anak adalah orgasme yang sedang berkembang. Pada setiap tahapan perkembangannya mereka memiliki karakteristik dan ciri tertentu. Denga demikian baik tujuan, isi dan strategi pengembangan KBK harus memerhatikan kondisi psikologi perkembangan dan psikologi belajar anak. Pemahaman tentang anak bagi seorang pengembang kurikulum termasuk guru sangatlah penting. Kesalahan persepsi atau kedangkalan pemahaman tentang anak, dapat menyebabkan kesalahan arah dan kesalahan praktik pendidikan.
Ketiga, Asas sosiologis dan teknologis. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa sekolah berfungsi untuk mempersiapkan anak didik agar mereka dapat berperan aktif dimasyarakat. Oleh karena itu kurikulum sebagai alat dan pedoman dalam proses pendidikan di sekolah harus relevan dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat.
Sesuai denga perubahan dan lompatan-lompatan yang sangat  cepat, maka KBK yang berfungsi sebagai alat pendidikan, harus menyesuaikan dengan perubahan yang terjadi baik isi maupun prosesnya. Penyesuaian kurikulum terhadap berbagai fenomena yang muncul, dapat dilihat dari struktur dan isi KBK itu sendiri. Ketiga asas sebagaimana dijelaskan di atas merupakan landasan pokok dalam mengembangkan KBK.
Penyusunan dan pelaksanaan KBK didasarkan pada sembilan prinsip, yaitu: (1) keimanan, nilai dan budi pekerti luhur. (2) penguatan integritas nasional. (3) keseimbangan antar etika, logika, estetika dan kinestika. (4) kesamaan memperoleh kesempatan (5) abad pengetahuan dan teknologi. (6) pengembangan kecakapan hidup (life skil). (7) belajar sepanjang hayat. (8) berpusat pada anak dengan penilaian yang berkelanjutan dan komperhensif. (9) pendekatan menyeluruh dan kemitraan.  (Wina Sanjaya, 2006:16-17)
Implikasi Kurikulum Berbasis Kompetensi terhadap Pengembangan Pembelajaran
Pengembangan rancangan pembelajaran
kegiatan pembelajaran dalam KBK diarahkan untuk menggali dan mengembangkan potensi yang dimiliki anak didik. Oleh karena itu, proses pembelajaran harus berorientasi pada siswa sebagai subjek bukan sebagai objek pembelajaran. Untuk itu ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam merancang kegiatan pembelajaran sebagai berikut: Pertama, rancangan kegiatan pembelajaran hendaknya memberikan peluang bagi siswa untuk mencari, mengolahmenemukan sendiri pengetahuan. Kegiatan pembelajaran hendaknya dirancang agar siswa dapat mengembagkan keterampilan dasar mata pelajaran yang bersangkutan. Kedua, rancangan pembelajaran harus disesuaikan dengan ragam sumber belajar dan sarana pembelajaran yang tersedia. Ketiga, pembelajaran harus dirancang dengan mengordinasikan berbagai pendekatan belajar. Keempat, pembelajaran harus dapat memberikan pelayanan terhadap kebutuhan individual siswa seperti minat, bakat, kemampuan, latar belakang sosial ekonomi, dan lain-lain.
Pengembangan proses pembelajaran
KBK sebagai kurikulum yang menekankan kepada pencapaian kompetensi memiliki implikasi terhadap proses pembelajaran yang mesti dilakukan guru dan siswa. Konteks pembelajaran yang diinginkan KBK, guru bertindak dan berusaha menyediakan waktu dan tempat agar siswa belajar. Belajar itu sendiri bukan menumpuk ilmu pengetahuan akan tetapi merupakan proses perubahan perilaku melalui pengalaman belajar. Melalui pengalaman belajar itulah diharapkan terjadinya pengembangan berbagai aspek yang terdapat dalam individu masing-masing pembelajar.
Pengembangan evaluasi
Sebagai bentuk kurikulum yang menghendaki ketercapaian kompetensi, aspek alat dan bentuk penilaian harus dilakukan seimbang baik tes maupun non tes sesuai dengan fungsi evaluasi sebagai fungsi formatif maupun sumatif. Kedua fungsi evaluasi ini sangat penting artinya sebagai jawaban penerapan diberlakukannya KBK. (http://file.upi.edu/Direktori/DUAL-MODES/INOVASI_PENDIDIKAN/Modul_4-Inovasi_Kurikulum.pdf)
Pengembangan kurikulum berbasis masyarakat
Karena pengaru perkembangan teknologi terjadi perubahan yang cukup drastis dalam segala bidang termasuk pekerjaan. Masyarakat perkotaan berubah cepat dibandingkan masyarakat pedesaan. Pola kehidupan agraris berubah menjadi pola kehidupan industri, dimana kehidupan masyarakatnya menuntut memiliki spesialisasi dan profesionalisme dalam melakukan pekerjaan. Sehingga sifat-sifat kebersamaan, hidup lebih santai diganti oleh sikap individualis dan kerja keras.
Pola kerja masyarakat modern menuntut kerja yang tidak teratur melebihi waktu biasa. Banyaknya waktu yang digunakan untuk bekerja akan mengubah citra penghasilan yang diperoleh. Asumsinya penghasilan tinggi akibat suami-isteri bekerja akan meningkatkan kemampuan ekonomi dan kesejahteraan keluarga. Namun dalam kehidupan keluarga, anak mempunyai masalah selalu ditinggal orang tuanya bekerja maka anak lebih lama bergaul dan hidupnya dengan pembantu daripada dengan orang tuanya.
Kondisi demikian berbagai masalah keluarga timbul dikarenakan pelaksanaan tugas dan fungsi keluarga tidak berjalan, seperti hubungan komunikasi diantara anggota keluarga sangat terbatas malahan mungkin hilang.
Komponen-komponen kurikulum berbasis masyarakat meliputi:
Tujuan dan filsafat pendidikan dan psikologi belajar.
Analisis kebutuhan masyarakat sekitar termasuk kebutuhan siswa.
Tujuan kurikulum (TUK dan TKK).
Pengorganisasian dan implementasi kurikulum.
Tujuan pembelajaran (TPU dan TPK)
Strategi pembelajaran mencakup model-model pembelajaran.
Teknik evaluasi (proses dan produk)
Implementasi strategi pembelajaran.
Penilaian dalam pembelajaran dan
evaluasi program kurikulum.
Berorientasi pada komponen-komponen kurikulum berbasis masyarakat tersebut, maka langkah-langkah pengembangannya terdiri dari:
Langkah 1 : Penentuan tujuan pendidikan berdasarkan filsafat dan psikologi pendidikan juga berdasarkan spesifikasi kebutuhan masyarakat dan kebutuhan siswa.
Langkah 2 : Analisis kebutuhan masyarakat sekitar, siswa dan mata ajar.
Langkah 3 : Spesifikasi tujuan kurikulum baik tujuan umum maupun tujuan khusus
Langkah 4 : Pengorganisasian dan implementasi kurikulum dan struktur program.
Langkah 5 : Spesifikasi tujuan pengajaran termasuk TPU dan TPK
Langkah 6 : Seleksi strategi pembelejaran meliputi kegiatan, model dan metode pembelajaran.
Langkah 7 : Seleksi awal teknik evaluasi.
Langkah 8 : Seleksi final teknik evaluasi (langkah ini dilakukan setelah langkah 5)
Langkah 9 : Implementasi strategi pembelajaran secara aktual
Langkah 10 : Evaluasi pengajaran untuk menilai keberhasilan siswa dan efektivitas pembelajaran dan perbaikan evaluasi.
Langkah 11 : Evaluasi program kurikulum. (http://file.upi.edu/Direktori/DUAL-MODES/INOVASI_PENDIDIKAN/Modul_4-Inovasi_Kurikulum.pdf)
BAB III
KESIMPULAN

Kurikulum berbasis kompetensi merupakan kurikulum yang lebih menekankan pada kompetensi atau kemampuan yang harus dimiliki oleh siswa setelah mereka melakukan proses pembelajaran tertentu, sedangkan masalah bagaimana mencapainya, secara teknis operasional diserahkan kepada guru di lapangan. Karakteristik KBK berorientais kepada ketercapaian kompetensi, keberagaan hasil belajar, multi strategi dengan menekankan pada proses dan hasil. Dalam KBK pengembangan dapat dilakukan dengan perencanaan, implementasi pembelejaran dan evaluasi yang dilakukan guru secara terprogram
Kurikulum berbasis masyarakat merupakan kurikulum yang menekankan perpaduan antara sekolah dan masyarakat guna mencapai tujuan pengajaran. Karakteristik kurikulum berpusat kepada masyarakat ditinjau dari segi pembelajaran baik berorientasi, meyode, sumber belajar, strategi pengajaran berpusat pada kepentingan siswa sebagai bekal hidup di masa mendatang. Pengembangan kurikulum bertitik tolak dari tujuan pendidikan, analisis kebutuhan, implementasi kurikulum, seleksi strategi pembelajaran, teknik evaluasi dan evaluasi program kurikulum.

 





DAFTAR PUSTAKA

Binti Maunah. 2009. Pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi. Yogyakarta: SUKSES Offset
Mulyasa. 2006. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Bandung: Rosda
Wina, Sanjaya. 2006. Pembelajaran dalam Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Prenada Media
Sukmadinata Nana Syaodih. 2005. Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktek. Bandung: Remaja Rosdakarya
(http://file.upi.edu/Direktori/DUAL-MODES/INOVASI_PENDIDIKAN/Modul_4-Inovasi_Kurikulum.pdf)
(https://www.slideshare.net/mobile/rahmabeibh/makalah-inovasi-pend)




Senin, 20 Mei 2019

fiqih siyasah


BAB I
PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang
Siyasah dusturiyah adalah bagian dari fiqih siyasah yang membahas masalah perundang-undangan negara. Permasalahan di dalam fiqih siyasah dusturiyah adalah hubungan antara pemimpin disatu pihak dan rakyatnya di pihak lain serta kelembagaan-kelembagaan yang ada di dalam masyarakatnya.
Di dalam fiqih dusturiyah tidak hanya menjelaskan tentang pemerintah atau khalifah saja, tetapi mengenai hak-hak rakyat juga. Fiqih dusturiyah juga menjelaskan tentang pem-bai’atan dalam suatu pemerintah dan bagaimana cara memilih pemimpin sesuai dengan ketentuan-ketentuan Islam.
Mengenai fiqih dusturiyah, di dalam makalah ini akan dibahas tentang pem-bai’atan, selain itu akan di bahas juga seputar imamah terutama mengenai persoalan waliy al-ahdi, serta persoalan perwakilan dan Ahl al-hall wa al-‘aqdi yang mempunyai kekuasaan tertinggi dalam memilih dan membai’at imam dengan didasarkan kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah.
B.   Rumusan Masalah
1.     Bagaimana persoalan dalam Bai’at?
2.     Bagaimana persoalan dalam Waliy Al-Ahdi: Sumber kekuasaan dan kriteria imam?
3.     Bagaimana persoalan dalam perwakilan dan Ahl Al-Hall Wa Al-‘Aqdi?
C.   Tujuan Penulisan
1.     Untuk mengetahui persoalan Bai’at.
2.     Untuk mengetahui persoalan Waliy Al-Ahdi: Sumber Kekuasaan dan Kriteria Imam.
3.     Untuk mengetahui persoalan perwakilan dan Ahl Al-Hall Wa Al-‘Aqdi.
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Persoalan Bai’at
Istilah bai’at berasal dari kata ba’a yang berarti “menjual”. Bai’at mengandung makna perjanjian; janji setia atau saling berjanji dan setia.[1] Dalam pelaksanaan bai’at selalu melibatkan dua pihak secara suka rela. Maka bai’at secara istilah adalah ungkapan perjanjian antara dua pihak yang seakan-akan salah satu pihak menjual apa yang dimilikinya dan menyerahkan dirinya kepada pihak kedua secara ikhlas dalam hal urusannya.[2] Artinya dalam bai’at terjadi penyerahan hak dan pernyataan ketaatan atau kewajiban pihak pertama secara suka rela kepada pihak kedua. Pihak kedua juga punya hak dan kewajiban atas hak pihak pertama yang diterimanya. Jadi pelaksanaan hak dan kewajiban antara dua pihak berlangsung secara timbal balik.[3]
Istilah bai’at disebut juga dengan talqin. Talqin dipakai oleh para Ahli Tarekat, sedangkan bai’at sering digunakan dalam Fiqih Siyasah (Politik Islam).[4] Di zaman Rasulullah Saw, bai’at diberlakukan terhadap mereka yang hendak masuk agama Islam, serta bagi yang berkeinginan menunaikan perintah-perintah agama.[5] Berbai’at untuk berlaku taat merupakan perintah syar’i dan Sunnah Rasulullah Saw meskipun telah beriman terlebih dahulu. Karena bai’at merupakan pembaharu janji setia serta penguat jalinan kepercayaan beragama.
Makna bai’at itu sendiri adalah sumpah setia dengan suatu kepemimpinan. Sehingga ada jalinan hubungan yang kuat antara yang memimpin dan yang dipimpin. Dengan prosesi bai’at, terjalinlah ikatan hukum berupa hak dan kewajiban serta tanggungjawab kedua belah pihak secara adil dan proporsional. Adanya hak dan kewajiban ini merupakan hasil dari bai’at.[6]
Bai’at dibolehkan dalam perkara-perkara parsial (bagian) dari syari’at Islam yang dilakukan tanpa paksaan dan juga dilakukan dengan syarat tidak ada pengaruh dan konsekwensi terhadap bai’at kepada Amirul Mukminin. Baik perjanjian itu dengan diri sendiri untuk selalu taat dengan perbuatan tertentu yang disyari’atkan, atau berjanji untuk melakukan perbuatan tertentu antara dia dengan orang lain, tanpa ada hal yang terlarang oleh syari’at. [7]
Bai’at dalam kerangka umum mempunyai tiga unsur pokok, diantaranya:[8]
1.     Pihak yang mengambil bai’at.
2.     Pihak yang memberikan bai’at kepada orang yang menjadi pemimpin, seperti ahl al-hall wa al-‘aqd secara khusus dan mayoritas umat Islam secara umum.
3.     Topik bai’at, yaitu mendirikan khilafah islamiyah sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah Rasulullah Saw.
Ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan bai’at, diantaranya:
a)     QS. Al-Fath: 10,
إِنَّ الَّذِينَ يُبَايِعُونَكَ إِنَّمَا يُبَايِعُونَ اللَّهَ يَدُ اللَّهِ فَوْقَ أَيْدِيهِمْ ۚ فَمَنْ نَكَثَ فَإِنَّمَا يَنْكُثُ عَلَىٰ نَفْسِهِ ۖ وَمَنْ أَوْفَىٰ بِمَا عَاهَدَ عَلَيْهُ اللَّهَ فَسَيُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا
“Sesungguhnya orang-orang yang berjanji teguh kepada engkau (Muhammad), mereka hanya berjanji teguh kepada Allah SWT. Tangan Allah di atas tangan mereka. Barangsiapa yang melanggar janjinya maka bahaya pelanggaran itu akan menimpa dirinya. Dan barang siapa yang menepati janjinya kepada Allah, maka Allah pasti menganugerahi pahala yang besar kepadanya.”
b)     QS. At-Taubah: 111,
وَمَنْ أَوْفَىٰ بِعَهْدِهِ مِنَ اللَّهِ ۚ فَاسْتَبْشِرُوا بِبَيْعِكُمُ الَّذِي بَايَعْتُمْ بِهِ
“Barangsiapa yang menyempurnakan janjinya dengan Allah hendaknya kamu beri kabar suka dengan janji setia yang kamu telah berjanji setia kepadanya.”
Bai’at pertama terhadap khalifah terjadi di Tsaqie-fah Bani Sa’idah yang diceritakan oleh Ibnu Qutaibah Adainuri, sebagai berikut:[9]
Kemudian Abu Bakar menghadap kepada orang-orang ansor memuji Allah dan mengajak mereka untuk bersatu serta melarang berpecah belah selanjutnya Abu Bakar berkata, “Saya nasihatkan kepadamu untuk membai’at salah seorang diantara dua orang ini, yaitu Abi Ubaidah bin Jaroh atau Umar, kemudian Umar berkata, “Demi Allah, akan terjadikah itu? Padahal, tuan (Abu Bakar), ada diantara kita, tuanlah yang paling berhak memegang persoalan ini, tuan adalah lebih dahulu jadi sahabat Rasulullah daripada kami, tuanlah Muhajirin yang paling utama, tuanlah yang menggantikan Rasulullah mengimami shalat, dan shalat adalah rukun Islam yang paling utama. Maka siapakah yang lebih pantas mengurusi persoalan ini daripada tuan? Ulurkanlah tangan tuan, saya membai’at tuan.[10]
Pada waktu Usman bin Affan diangkat jadi khalifah, yang mula-mula membai’at adalah Abdurrahman bin Auf yang kemudian diikuti oleh manusia yang ada di masjid.[11]
Dari uraian di atas tampak bahwa yang membai’at itu adalah ahl al-hall wa al-‘aqd dan kemudian dapat diikuti oleh rakyat pada umumnya seperti pada kasus pem-bai’atan Usman. Akan tetapi, pada umumnya pembai’atan itu dianggap sah apabila dilakukan oleh anggota-anggota ahl al-hall wa al-‘aqd sebagai wakil rakyat, sebagaimana terjadi pada kasus Abu Bakar.[12]
Di samping itu, kata-kata (lafal) bai’at pun ternyata tidak selamanya sama. Oleh karena itu, lafal bai’at dapat dibuat sesuai dengan kebutuhan dan sesuai lingkungannya asalkan tidak bertentangan dengan semangat dan prinsip-pinsip Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw.
Dari ayat-ayat Al-Qur’an di atas jelas bai’at itu mengandung arti janji setia. Di dalam surat Al-Fath ayat 10 dibayangkan pula cara bai’at yaitu dengan meletakkan tangan di atas tangan yang di bai’at seperti dijelaskan oleh Ibnu Khaldun di atas.
Di dalam sejarah kita kenal bai’at aqabah yang pertama dan bai’at aqabah yang kedua. Bai’at aqabah yang pertama terjadi di tahun 621 M di suatu bukit yang bernama Aqobah. Bai’at Aqabah pertama ini antara Nabi dengan 12 orang dari Kabilah Khajraj dan Aus dari Yastrib (Madinah) yang isinya: “Mereka berjanji setia (membai’at) kepada Nabi untuk tidak menserikatkan Allah SWT, tidak akan mencuri, berzina, membunuh anak-anak, menuduh dengan tuduhan palsu, tidak akan mendurhakai Nabi di dalam kebaikan.
Adapun bai’at aqabah kedua terjadi tahun 622 M antara Nabi dengan 75 orang Yastrib, 73 orang laki-laki dan 2 orang wanita, bai’at aqabah kedua ini disebut pula dengan bai’at kubra. Di dalam bai’at ini terjadi dialog antara Rasulullah dengan orang-orang Yastrib. Dan pada akhirnya orang-orang Yastrib membai’at Rasul dengan kata-kata:
Kami berbai’at (berjanji setia) untuk taat dan selalu mengikuti baik pada waktu kesulitan maupun pada waktu dalam kemudahan, pada waktu senang dan pada waktu susah dan tetap berbicara benar di mana pun kami berada, tidak takut celaan orang di dalam membela kalimah Allah SWT.[13]
Sudah tentu pem-bai’atan ini dilakukan setelah terjadi permusyawaratan penentuan seorang imam.
Ada kemungkinan tidak seluruh anggota ahl al-hall wa al-‘aqd membai’at imam, keadaan demikian harus dihindari sedapat mungkin, yaitu dengan jalan musyawarah untuk mencapai kesepakatan. Akan tetapi, apabila cara musyawarah tidak menghasilkan kesepakatan, maka imam dapat di bai’at oleh mayoritas ahlul halli wal aqdi. Apabila telah di bai’at oleh mayoritas ahlul halli wal aqdi, maka golongan minoritas ahlul halli wal aqdi pun harus tetap menaati dan membantu si imam, dan tidak boleh berusaha menjatuhkan si imam, kecuali jika imam melakukan kekafiran yang nyata.
B.    Persoalan Waliy Al-Ahdi: Sumber Kekuasaan dan Kriteria Imam
Imamah itu dapat terjadi dengan salah satu cara dari dua cara: pertama dengan pemilihan ahl al-hall wa al-aqdi dan kedua dengan janji (penyerahan kekuasaan) imam yang sebelumnya.[14]
Cara kedua itulah yang dimaksud dengan waliyul ahdi. Cara ini diperkenankan atas dasar:
1.     Abu Bakar r.a menunjuk Umar r.a yang kemudian kaum muslimin menetapkan keimaman (imamah) Umar dengan penunjukan Abu Bakar tadi.
2.     Umar r.a menunjuk menyerahkan pengangkatan khalifah kepada ahlu syura’ (imam orang sahabat) yang kemudia disetujui/dibenarkan oleh sahabat yang lain.
Qadli Abu Ya’la menjelaskan bahwa wilayah al-ahd itu dapat pula dilaksanakan kepada orang yang mempunyai hubungan nasab, baik garis lurus ke atas maupun garis lurus ke bawah dengan syarat:
Orang yang ditunjuk itu memenuhi persyaratan imam, karena imamah tidaklah terjadi karena semata-mata penunjukan, akan tetapi imamah itu terjadi karena persetujuan kaum muslimin.[15]
Persoalan wilayah al-ahd kembali kepada dua masalah pokok yaitu, pertama, siapakah yang memiliki kekuasaan dan kedua apakah syarat-syarat imam itu.
Masalah yang pertama telah banyak dibahas baik oleh orientalis maupun oleh para ulama Islam, orang-orang orientalis pada umumnya seirama bahwa, “Islam itu absolut, sewenang-wenang”.[16]
Diauddin al-Rais menyebut yang memegang kekuasaan itu rakyat dan undang-undang, ringkasnya rakyat dan syariat”.[17] Yusuf musa menegaskan, “Khalifah di dalam pandangan Islam bukanlah orang yang memiliki sifat-sifat Uluhiyah (ketuhanan) dia tidak suci, tidak maksum (terpelihara dari dosa), dia tidak memiliki hak monopoli di dalam menjelaskan dan menafsirkan nash-nash agama; akan tetapi dia hanyalah manusia biasa yang dipercaya oleh umat karena sifat keagamaannya yang baik dan keadilannya, maka diserahkan kepadanya masalah-masalah untuk diurus sesuai dengan syariah”.[18]
Dari penjelasan-penjelasan di atas jelas bahwa imam tidak dapat sewenang-wenang, bahkan dia tunduk kepada ketentuan-ketentuan Al-Qur’an dan Hadis serta ketentuan ahl al-hall wa al-‘aqd di dalam hal-hal yang tidak ditentukan oleh Al-Qur’an atau Hadis secara tegas.
Adapun masalah yang kedua, yaitu tentang syarat-syarat imam, ternyata ada ulama yang memberikan persyaratan yang sangat ketat dan ada pula yang memberi persyaratan yang longgar. Al-Mawardi misalnya memberikan tujuh persyaratan sebagai berikut:
1.     Adil dengan segala persyaratannya (benar tutur katanya, dapat dipercaya, terpelihara dari segala yang haram, menjauhi segala dosa dan hal-hal yang meragukan, memegang muru’ah; yang mengurangi keadilan itu adalah al-Fasqu, yang terdiri dari dua hal: (1) mengikuti syahwat, (2) yang berhubungan dengan syubhat. Adapun yang pertama, berhubungan dengan anggota badan, yaitu melakukan yang haram dan kemungkaran. Sedangkan yang kedua berkaitan dengan itiqodiyah).
2.     Memiliki ilmu yang dapat digunakan untuk ijtihad di dalam hukum dan kasus-kasus hukum yang harus dipecahkan.
3.     Sehat panca inderanya, baik pendengaran, penglihatan, lisannya agar dapat digunakan sebagaimana mestinya.
4.     Sehat anggota badannya dari kekurangan-kekurangan yang dapat mengganggu geraknya.
5.     Kecerdasan dan kemampuan di dalam mengatur rakyat dan kemaslahatan.
6.     Kebenaran dan punya tanggung jawab dan tabah di dalam mempertahankan negara dan memerangi musuh.
7.     Nasab imam itu harus keturunan Quraisy atas dasar nash dan ijma.
Abu Ja’la al-Hanbali menyebut empat syarat, yaitu:
1.     Haruslah orang Quraisy (keturunan Nadlar bin Kinanah bin Huzaemah bin Mudzrikah bin Ilyas bin Mudlar bin Nasar bin Zaad bin Adnan).
2.     Memiliki syarat-syarat seorang hakim, yaitu merdeka, baligh, berakal, berilmu, dan adil.
3.     Mampu memegang kendali di dalam masalah-masalah peperangan, siyasah, dan pelaksanaan hukuman.
4.     Orang yang paling baik/utama di dalam ilmu dan agama.[19]
Bukan saja di kalangan para ulama terdahulu terdapat perbedaan pendapat tentang persyaratan seorang imam, akan tetapi juga terdapat perbedaan pendapat tersebut di kalangan ulama-ulama yang sekarang.
Al-Ustadz Abdul Wahab Khalaf misalnya, dapat menerima enam syarat dari Al-Mawardi, akan tetapi syarat yang ketujuh (imam itu harus orang Quraisy) ternyata diperdebatkan oleh para ulama, dari sisi kualitasnya dan dari sisi ta’arudl-nya (pertentangan) dengan nash-nash lain baik Al-Qur’an maupun Hadis. Selanjutnya Abdul Wahab Khalaf menyitir pendapat Ibnu Khaldun yang mengatakan: “Persyaratan harus orang Quraisy yang jadi imam, adalah untuk menghindari pertentangan karena rasa ashabiyah.”[20]
Yusuf Musa setelah menguraikan syarat-syarat imam menurut Ibn Hazm al-Juwaeni, al-Ghazali, al-Kamal bin Abi Syarif, dan al-Kamal bin Hunam, Al-Iji, Al-Baqalani dan Ibnu Khaldun akhirnya beliau berpendapat bahwa syarat imam itu adalah: “Islam, laki-laki, mukallaf, berilmu, adil, mampu, dan selamat pancainderanya dan anggota badannya.”[21] Demikian pula Abdul Qadir Audah mensyaratkan ketujuh syarat tersebut di atas.[22]
Sedangkan Ibnu Khaldun hanya memberikan 4 syarat, yaitu:
1.     Memiliki Ilmu Pengetahuan.
2.     Adil.
3.     Mampu melaksanakan tugas termasuk kearifan.
4.     Sehat jasmani dalam arti pancainderanya dan anggota badan lainnya.
Satu hal barangkali perlu diingat bahwa memilih pemimpin yang terbaik di antara yang baik adalah tidak terlalu sukar, akan tetapi yang sulit adalah memilih pemimpin yang baik diantara yang tidak baik. Sebab bagaimanapun juga pemimpin itu harus ada di antara kelompok manusia. Bahkan di dalam hadis dinyatakan: Apabila tiga orang berpergian, maka salah seorang daripadanya hendaklah menjadi pemimpinnya.”[23]
Jadi wilayah al-ahd dapat saja terjadi dan sah asal diakui oleh ahl al-hall wa al-aqdi dan memenuhi persyaratan sebagai al-imam al-adham.
C.    Persoalan Perwakilan dan Ahl Al-Hall Wa Al-‘Aqdi
1)     Persoalan Perwakilan
Sebagaimana yang telah kita ketahui, sudah lebih dari 1400 tahun yang lalu batu sendi pembentukan masyarakat islam telah diletakkan di kota makkah di bawah situasi dan kondisi yang sangat tidak bersahabat dan memusuhi. Memulai dan kemudian secara bertahap mengembangkan suatu masyarakat islami,di dalam sistem yang bertolak belakang inilah yang merupakan tujuan seumur hidup Rasulullah Saw. Ketika masyarakat Islam mencapai kemerdekaan politiknya,juga setelah organisasi-organisasinya maju, Rasulullah diangkat menjadi kepala Negara Pertama. Beliau tidak dipilih oleh siapapun kecuali dipilih langsung oleh Allah yang Maha Kuasa. Hingga akhirnya beliau wafat.
Selepas beliau wafat, Rasul tidak memberikan perintah-perintah yang jelas untuk calon penggantinya. Karena tidak adanya syarat-syarat yang jelas ini, dan dengan mengambil dasar perintah Al-Qur’an segala urusan umat diselesaikan dengan caara musyawarah. Para sahabat menunjukan bahwa untuk memilih kepala Negara telah diserahkan kepada kehendak pemilihan dari kaum muslimin yang harus dilaksanakan sejalan dengan jiwa perintah Al-Qur’an tersebut. [24]
Salah satu riwayat tentang pengangkatan kepala negara/pemimpin/khalifah yaitu pada kitab Al-Kamil fi Tarikh karangan  Ibnu Al Atsir. Diceritakan bahwa pada masa-masa Rasulullah Saw wafat, orang-orang anshor berusaha mengangkat saad bin ubaidah menjadi pemimpin umat. Saad pun berpidato tentang keutamaan orang-orang ansor dalam menolong dan membela Rasulullah. Berita tentang berkumpulnya orang-orang ansor ini sampai kepada Umar bin Khattab, kemudian umar bergegas menuju Abu Bakar dan mengajak beliau karena urusan ini merusapakan urusan yang sangat penting. Setelah itu, Umar dan Abu bakar bergegas menuju ke Saqiefah Bani Saadah tempat berkumpulnya orang-orang ansor. Sesampainya di sana beliau Abu Bakar berbicara dan di Akhir pembicaraanya beliau berkata : “Orang-Orang Quraisy adalah orang-orang pertama yang beriman kepada Allah dan RasulNy, mereka wali dan keluarga Rasulullah dan yang paling berhak memegang kendali umat setelah Rasulullah Wafat. Dan tuan-tuan dari golongan ansor,Allah telah menjadikan tuan-tuan sebagai penolong Agama Allah dan Penolong RasulNya dan kepada tuan-tuanlah Rasulullah berhijrah,oleh karena itu dari Kami yang menjadi Kepala Negara dan Tuan-tuanlah yang menjadi mentrinya.
Kemudian berdirilah Hubab bin al-Mundir bin Jamuh yang mempertahankan pendirian orang-orang ansor. Beliau mengatakan bahwa baik ansor maupun Quraisy sama-sama memiliki kemuliaan, jumlah dan kekuatan yang sama. Sehingga mengusulkan sama-sama mempunyai kepala Negara. Namun Umar berkata “Demi Allah, orang arab tidak rela diperintah oleh tuan-tuan. Orang arab tidak akan menolak pimpinan dari kelompok/keluarga Rasulullah, Kami adalah keluarga Rasul. Kemudian Hubab menjawab lagi bahwa orang-orang ansor tetap yang berhak menjadi kepala Negara. Situasi pun menjadi lebih panas dalam menyikapi polemik ini. Hingga kemudian berdirilah Basyir bin Saad yang mengatakan “Sesungguhnyalah Muhammad itu dari golongan Quraisy, dan kaumnya lebih berhak, Demi Allah, saya tidak akan menentang orang-orang Quraisy dalam masalah ini. Karena itu, takwalah kepada Allah dan jangan menentang mereka.”
Kemudian Abu Bakar berkata, “ Di sini ada Umar dan Abu Ubaidah, apabila tuan-tuan setuju, nyatakanlah baiat kepada salah seorang diantara mereka.” Umar berkata, “ Demi Allah, tuanlah yang harus menjadi kepala negara,tuanlah muhajirin yang paling utama, dan menggantikan Rasulullah menjadi imam di dalam shalat,sedangkan shalat adalah ibadah yang paling utama, saya membaiat tuan”. Ketika itu mereka yang berdiskusi pun membaiat Abu Bakar sebagai khalifah pengganti Rasulullah dalam memimpin Umat.
Dari peristiwa pengangkatan Abu Bakar jadi khalifah ini dapat ditarik kesimpulan di antaranya:
1.     Khalifah dipilih dengan cara musyawarah di antara para tokoh dan wakil umat
2.     Yang mengangkat itu para wakil umat dan tokoh-tokoh masyarakat. Jadi, sistem perwakilan sudah dikenal dan dilaksanakan pada masa itu.
3.     Di dalam musyawarah, terjadi dialog dan bahkan diskusi untuk mencari alternatif yang terbaik di dalam menentukan siapakah calon khalifah yang paling memenuhi persyaratan.
4.     Sedapat mungkin diusahakan kesepakatan dengan tidak menggunakan voting.[25]
Konvensi mengenai pemilihan khalifah berlanjut sampai kepada khalifah selanjutnya. Ketika Abu Bakar akan wafat pun beliau mendiskusikan terlebih dahulu calon penggantinya dan Umar lah yang dirasa tepat. Sebelum Abu Bakar wafat beliau menyampaikan amanatnya kepada kaum Muslimin “ apakah kalian ikhlas menerima dia sebagai Amir kalian, yang aku calonkan sebagai penggantiku? Allah menjadi saksiku, aku tidak mengajukan pilihan lain yang tidak dapat kalian ganggu-gugat lagi dalam mencari kesimpulan terbaik untuk masalah ini. Aku calonkan Umar bin Khattab sebagai penggantiku. Oleh karenanya, kalian semua dengar dan taatilah dia.” Massa kaum muslimin kemudian berseru “ kami telah mendengar, dan kami setuju.” Di sini Abu Bakar menyarankan nama Umar setelah bermusyawarah dengan orang-orang yang dipercayai rakyat. Kemudian keputusan itu dilemparkan kepada massa pemilih Muslim.
Konvensi ini berlanjut, ketika Umar merasa ajalnya telah dekat beliau memperhatikan bahwa dari sekian banyak sahabat Nabi yang paling dapat dipercaya, hanya enam orang yang masih hidup untuk dijadikan sebagai sumber pedoman kaum Muslim untuk dipilih sebagai calon penggantinya, kemudian beliau membentuk Dewan Permusyawaratan  yang beranggotakan keenam sahabat tersebut untuk memilih khalifah berikutnya diantara kalangan mereka sendiri. Dengan mengamanatkan bahwa barang siapa yang menjadi amir tanpa disetujui oleh Massa Muslim maka harus dipenggal.
Kemudian lembaga ini menunjuk salah satu anggotanya Abdurrahman bin a’uf untuk berkeliling madinah dan memantau aspirasi masyarakat umum di kota tersebut. Dari pantauan itu muncul lah dua nama yaitu Utsman Bin Affan dan Ali bin Abi Thalib yang dipercaya bisa menggantikan umar. Namun dari usulan tersebut pandangan lebih berat ke Utsman dan singkat cerita, beliau diangkat menjadi khalifah penerus sepeninggal Umar Bin Khattab.
Kemudian saat Utsman menjadi khalifah ada kejadian tragis dengan terjadinya pembunuhan brutal atas Utsman. Oleh karenanya, beberapa sahabat bertandang ke rumah Ali selepas Utsman wafat dan menyatakan kepada beliau tidak ada lagi yang paling cocok menjadi amir kecuali ali sendiri. Ali merasa keberatan, namun atas desakan sahabat beliau mensetujui dan menyuruh kaum muslimin pergi ke masjid untuk meminta persetujuan. Tentu saja kaum muslimin memberikan reaksi setuju atas pengangkatan Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah pengganti. Sekalipun persetujuan ini bukan merupakan mufakat bulat.
Dalam mengkaji hal diatas, inilah konvensi dalam pemilihan khalifah dan tindakan kolektif para sahabat untuk masalah yang sangat penting. Sebagian besar hal tersebut didasarkan kepada diamnya Rasulullah untuk menunjuk pengganti beliau dan berdasarkan perintah Al-Qur’an bahwa semua keputusan yang menyangkut kepentingan orang banyak haruslah diambil secara musyawarah. Hal yang dapat digali dari preseden-preseden diatas adalah:
1.     Pemilihan Kepala Negara sepenuhnya bergantung kepada masyarakat umum dan tak seorangpun berhak untuk mengangkat diri dengan oaksaan atau kekerasan sebagai amir mereka.
2.     Tidak ada satu klan atau kaum atau kelompok manapun yang memonopoli jabatan ini.
3.     Pemiihan harus dilaksanakan dengan prinsip kehendak bebas kaum muslimin dan tanpa adanya pemaksaan atau ancaman.[26]

2)     Ahl Al-Hall Wa Al-‘Aqdi
Ahl Al-Hall Wa Al-‘Aqd (ahlul wal ‘aqdi) yang artinya orang-orang yang mempunyai wewenang untuk melonggarkan, memutuskan, dan mengikat. Tugasnya antara lain memilih khalifah, imam, kepala Negara secara langsung.[27] Karena itu ahl al-hall wa al-‘aqd juga disebut oleh al-Mawardi sebagai ahl al-ikhtiyar (golongan yang berhak memilih). Peran golongan ini sangat penting untuk memilih salah seorang diantara ahl al-imamat ( golongan yang berhak dipilih) untuk menjaddi khalifah.
Uraian para ulama tentang ahl- al-hall wa al-aqd tampak hal sebagai berikut:
a.      Ahl- al-hall wa al-aqd adalah pemegang kekuasaan tertingi yang mempunyai wewenang untuk memilih dan mem-ba’iat imam.
b.     Ahl- al-hall wa al-aqd mempunyai wewenang mengerahkan kehidupan masyarakat kepada yang maslahat.
c.      Ahl- al-hall wa al-aqd mempunyai wewenang membuat undang-undang yang mengikat kepada seluruh umat di dalam  hal-hal yang tidak diatur secara tegas oleh Al-Qur’an dan Hadis.
d.     Ahl- al-hall wa al-aqd tempat konsultasi imam di dalam menentukan kebijakannya.
e.      Ahl- al-hall wa al-aqd mengawasi jalannya pemerintahan, wewenang no 1 dan 2 mirip dengan wewenang MPR, wewenang no 3 dan 5 adalah wewenang DPR, dan wewenang no 4 adalah wewenang DPA di Indonesia sebelum amendemen UUD 1945[28].
Bertolak dari uraian dia atas dapat dikatakan bahwa ahl- al-hall wa al-aqd merupakan suatu lebaga pemilih. Orang-orang yang berkedudukan  sebagai wakil-wakil rakyat, dan salah satu tugasnya memlih khalifah atau kepala Negara. Ini menunjukan bahwa sistem pemilihan khalifah dalam perspektif pemikiran ulama fikih, dan kecenderungan umat Islam generasi pertama dalam sejarah, adalah secara tidak langsung  atau melalui perwakilan. Ini, dari segi fungsionalnya, sama seperti Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) di Indonesia sebagai lembaga tertinggi Negara dan perwakilan  yang personal-personalnya merupakan wakil-wakil rakyat yang dipilih rakyat dalam pemilu, dan salah satu tugasnya adalah memilih presiden (sebagai kepala Negara dan kepala peerintahan). Namun dalam beberapa segi lain, antara ahl- al-hall wa al-aqd dan MPR tidak identik.
Segaimana yang diseut di atas, ahl- al-hall wa al-aqd adalaah orang-orang yang mendapat kepercyaan sebagai wakil rakyat. Tapi pernyataan dia atas masih abstrak. Belum disebut secara konkret kelompok-kelompok sosial yang mana saja yang dapat dikategorikan sebagai ahl- al-hall wa al-aqd. Apa kualifikasinya, bagaimana hubungannyadengan rakyat dan mekanisme apa yang digunakan untuk memperoleh kedudukan terhormt itu.
Jawaban untuk pertanyaan pertama dikemukakan beberapa pendapat. Menurut Al-Nawawi dalam Al-Minhaj, ahl- al-hall wa al-aqd adalah para ulama, para kepala, para pemuka masyarakat sebagai unsur-unsur masyarakat yang berusaha mewujudkan kemaslahatan rakyat.  Muhammad Abdullah menyamakan ahl- al-hall wa al-aqd dengan ulil amri yang disebut dalam AL-qur’an surat An-Nisa’ aya 59 yang menyatakan:”Hai orang-orang beriman taatilah Allah, dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu”.
Pendapat dari ahli takwil dan tafsir tentang ulil amri yang tidak mengaitkannya dengan ahl- al-hall wa al-aqd dikutip oleh Al-Tabari dan Al-Razi. Penafsirannya bergm, yaitu: 1) para pemimpin; 2) para pemuka sahabat di masa Nabi; 3) mereka yang ahli ilmu dan fikih; 4) fuqaha dan ulama; 5) para sahabat Rasul; 6) para pemimpin dan penguasa yang taat kepada Allah dan Rasul serta memperhatikan kemaslahatan umat Islam; 7) khalifah yang empat; 8) para ulama yang membuat fatwa dalam hukum syariat dan mengajarkan agama kepada manusia; 9) para imam yang ma’shum. Dan Ibnu Taimiyah menafsirkan dengan para pembesar dan para ulama yang menjadi panutan masyarkat.
Dengan demikian, ahl- al-hall wa al-aqd terdiri dari beragai kelompok sosial yang memiiki propesi dan keahlian yang berbeda, baik dari birokrat pemerintahan ataupun tidak yang lazim disebut pemimpin formal dan pemimpin informal.
Adapun tugas ahl- al-hall wa al-aqd disamping punya hak pilih, menurut Rida, adalah menjatuhkan khalifah jika terdapat hal-hal  yang mengharuskan pemecatannya. Al-Wardi  juga berpendapat jika kepala Negara melakukan tindakan yang bertentangan dengan agama, rakyat dan ahl- al-hall wa al-aqd berhak untuk menyampaikan “mosi tidak percaya” kepadanya.
Dan sejauh ini belum ditemui penjelasan tentang hak-hak lain ahl- al-hall wa al-aqd seperti pembatasan kekuasaan khalifah, mekanisme pembentukan lembaga itu, hak control dan sebagainya. Apalagi ahl- al-hall wa al-aqd, sekalipun mereka mewakili rakyat, menurud Rasyid, tidak identic dengan parlemen di zaman modern yang memiliki kekuasan legislative, dan berhak membatasi kekuasan kepala Negara melalui undang-undang. Sementara khalifah adalah kepala Negara yang memegang kekuasaan legislative, eksekutif dan yudikatif. Dengan demikian konsep ahl- al-hall wa al-aqd masih kabur. Namun hal ini bukan hal prinsip, namun persoalaan teknis dan temporer yang dapat berubah sesuai dengan tuntutan situasi dan kebutuhan masyarakat[29].


BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
A.    Persoalan Bai’at
Istilah bai’at berasal dari kata ba’a yang berarti “menjual”. Bai’at mengandung makna perjanjian; janji setia atau saling berjanji dan setia. Dalam pelaksanaan bai’at selalu melibatkan dua pihak secara suka rela. Maka bai’at secara istilah adalah ungkapan perjanjian antara dua pihak yang seakan-akan salah satu pihak menjual apa yang dimilikinya dan menyerahkan dirinya kepada pihak kedua secara ikhlas dalam hal urusannya. Kata-kata (lafal) bai’at pun ternyata tidak selamanya sama. Oleh karena itu, lafal bai’at dapat dibuat sesuai dengan kebutuhan dan sesuai lingkungannya asalkan tidak bertentangan dengan semangat dan prinsip-pinsip Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw.
B.    Persoalan Waliy Al-Ahdi: Sumber Kekuasaan dan Kriteria Imam
Imamah itu dapat terjadi dengan salah satu cara dari dua cara: pertama dengan pemilihan ahl al-hall wa al-aqdi dan kedua dengan janji (penyerahan kekuasaan) imam yang sebelumnya. Satu hal barangkali perlu diingat bahwa memilih pemimpin yang terbaik di antara yang baik adalah tidak terlalu sukar, akan tetapi yang sulit adalah memilih pemimpin yang baik diantara yang tidak baik. Sebab bagaimanapun juga pemimpin itu harus ada di antara kelompok manusia. Bahkan di dalam hadis dinyatakan: Apabila tiga orang berpergian, maka salah seorang daripadanya hendaklah menjadi pemimpinnya.” Jadi wilayah al-ahd dapat saja terjadi dan sah asal diakui oleh ahl al-hall wa al-aqdi dan memenuhi persyaratan sebagai al-imam al-adham.
C.    Persoalan Perwakilan dan Ahl Al-Hall Wa Al-‘Aqdi
1)     Persoalan Perwakilan
Sudah lebih dari 1400 tahun yang lalu batu sendi pembentukan masyarakat islam telah diletakkan di kota makkah di bawah situasi dan kondisi yang sangat tidak bersahabat dan memusuhi. Memulai dan kemudian secara bertahap mengembangkan suatu masyarakat islami,di dalam sistem yang bertolak belakang inilah yang merupakan tujuan seumur hidup Rasulullah Saw. Ketika masyarakat Islam mencapai kemerdekaan politiknya,juga setelah organisasi-organisasinya maju, Rasulullah diangkat menjadi kepala Negara Pertama. Beliau tidak dipilih oleh siapapun kecuali dipilih langsung oleh Allah yang Maha Kuasa. Hingga akhirnya beliau wafat.
Selepas beliau wafat, Rasul tidak memberikan perintah-perintah yang jelas untuk calon penggantinya. Karena tidak adanya syarat-syarat yang jelas ini, dan dengan mengambil dasar perintah Al-Qur’an segala urusan umat diselesaikan dengan caara musyawarah. Para sahabat menunjukan bahwa untuk memilih kepala Negara telah diserahkan kepada kehendak pemilihan dari kaum muslimin yang harus dilaksanakan sejalan dengan jiwa perintah Al-Qur’an tersebut.
Dalam mengkaji hal diatas, inilah konvensi dalam pemilihan khalifah dan tindakan kolektif para sahabat untuk masalah yang sangat penting. Sebagian besar hal tersebut didasarkan kepada diamnya Rasulullah untuk menunjuk pengganti beliau dan berdasarkan perintah Al-Qur’an bahwa semua keputusan yang menyangkut kepentingan orang banyak haruslah diambil secara musyawarah.
2)     Ahl Al-Hall Wa Al-‘Aqdi
Ahl Al-Hall Wa Al-‘Aqd (ahlul wal ‘aqdi) yang artinya orang-orang yang mempunyai wewenang untuk melonggarkan, memutuskan, dan mengikat. Tugasnya antara lain memilih khalifah, imam, kepala Negara secara langsung. Karena itu ahl al-hall wa al-‘aqd juga disebut oleh al-Mawardi sebagai ahl al-ikhtiyar (golongan yang berhak memilih). Peran golongan ini sangat penting untuk memilih salah seorang diantara ahl al-imamat ( golongan yang berhak dipilih) untuk menjaddi khalifah.
Dapat dikatakan bahwa ahl- al-hall wa al-aqd merupakan suatu lebaga pemilih. Orang-orang yang berkedudukan  sebagai wakil-wakil rakyat, dan salah satu tugasnya memlih khalifah atau kepala Negara. Ini menunjukan bahwa sistem pemilihan khalifah dalam perspektif pemikiran ulama fikih, dan kecenderungan umat Islam generasi pertama dalam sejarah, adalah secara tidak langsung  atau melalui perwakilan.

B. Saran
Demikianlah makalah yang kami buat, semoga dapat bermanfaat bagi pembaca. Apabila terdapat kesalahan dalam penulisan mohon dapat memaafkan dan memakluminya, karena kami adalah hamba Allah yang tak luput dari salah, khilaf, alfa dan lupa.
















DAFTAR PUSTAKA
J. Suyuthi, Pulungan. 1995. Fiqih Siyasah. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
------------------------. 2014. Fiqih Siyasah. Yogyakarta: Perpustakaan Nasional.
Djazuli, H.A. 2017.  Fiqih Siyasah. Jakarta: Kencana.
Taimiyah, Ibnu. 2002. Risalah Bai’at. Jakarta: Pustaka At-Tauhid.
Zaidan, Abdul Karim. 1987. Individu dan Negara menurut Pandangan Islam, alih bahasa Jamaluddin Kafie. Surabaya: PT Bina Ilmu.
Dzajuli. H.A. 2003. Fiqih Siyasah (Implementasi Kemaslahatan Umat dalam Rambu-rambu Syariah). Jakarta: PT Fajar Interpratama Mandiri.
Djajuli. 2017. Fiqih Siyasah. Jakarta: Putra Grafika.
Abul A’la Maududi. 1975. Hukum dan konstitusi Islam, terjemahan dari The Islamic Law and Constitution,Pakistan. Bandung: Mizan.
Al-Idrisyyah. 2012. Bai’at dalam Pandangan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Diakses dari www.idrisiyyah.or.id/read/article/348/baiat-dalam-pandangan-al-quran-dan-as-sunnah-bag1 pada tanggal 21 September 2017 pukul 09.45 WIB.
Cooza, Arief. 2013. BAI’AT. Diakses dari https://ariefcooza.blogspot.co.id/2013/02/baiat.html?m=1 pada tanggal 21 September 2017 pukul 10.30 WIB. 



[1] Pulungan, J. Suyuthi, Fiqih Siyasah (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1995), hlm. 72.
[2] Ibid.
[3] Ibid.
[4] Al-Idrisyyah, “Bai’at dalam Pandangan Al-Qur’an dan As-Sunnah”, diakses dari www.idrisiyyah.or.id/read/article/348/baiat-dalam-pandangan-al-quran-dan-as-sunnah-bag1 pada tanggal 21 September 2017 pukul 09.45 WIB.
[5] Ibid.
[6] Ibid.
[7] Ibnu Taimiyah, Risalah Bai’at  (Jakarta: Pustaka At-Tauhid, 2002), hlm. 23.
[8] Arief Cooza, “BAI’AT”, diakses dari https://ariefcooza.blogspot.co.id/2013/02/baiat.html?m=1 pada tanggal 21 September 2017 pukul 10.30 WIB.  
[9] H.A. Djazuli, Fiqih Siyasah (Jakarta: Kencana, 2017), hlm. 66.
[10] Ibid.
[11] Ibid., hlm. 67.
[12] Ibid.
[13] Ibid., hlm. 68.
[14] Muhammad Husein Haikal, Op. cit., hlm. 206.
[15] Al-Hanbali al-Qadli Abu Ja’la, Al-Ahkam al-Sulthaniyah, Musthafa al-Babi al-Halabi, Mesir, cetakan I, 1938, hlm. 9.
[16] Hasbi, Op. cit., hlm. 126.
[17] Hasbi, Op. cit., hlm. 134.
[18] Yusuf Musa, Op. cit., hlm. 132.                         
[19] Abu Ja’la, Op. cit., hlm. 4.
[20] Abdul Wahab Khalaf, Op. cit., hlm. 56.
[21] Yusuf Musa, Op. cit., hlm. 68.
[22] Abdul Qadir Audah, Al-Islam wa Audha’una Al-Siyasiyah, Darul Kitab al-Arabi, Kairo, 1951, hlm. 101-104.
[23] HR. Abu Dawud.
[24] Abul A’la Maududi, 1975 Hukum dan konstitusi islam terjemahan dari the islamic law and constitution,pakistan. Diterbitkan di Bandung. Mizan.
[25] Prof. Dzajuli.H.A, 2003,Fiqih Siyasah implementasi kemaslahatan umat dalam rambu-rambu syariah, Jakarta, PT Fajar Interpratama Mandiri
[26] Abul A’la Maududi, 1975 Hukum dan konstitusi islam terjemahan dari the islamic law and constitution,pakistan. Diterbitkan di Bandung. Mizan.
[27] Abdul Karim Zaidan, Individu dan Negara menurut Pandangan Islam, Pt Bina Ilmu, Surabaya, 1987, hlm. 147 terjemahan Jamaluddin Kafie
[28] Djajuli, Fiqih Siyasah, Jakarta, Putra Grafika, 2017, hlm. 76
[29] Suyuthi Pulungan, Fikih Siyasah, Yogyakarta, Perpustakaan Nasional, 2014, hlm. 72