Senin, 20 Mei 2019

fiqih siyasah


BAB I
PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang
Siyasah dusturiyah adalah bagian dari fiqih siyasah yang membahas masalah perundang-undangan negara. Permasalahan di dalam fiqih siyasah dusturiyah adalah hubungan antara pemimpin disatu pihak dan rakyatnya di pihak lain serta kelembagaan-kelembagaan yang ada di dalam masyarakatnya.
Di dalam fiqih dusturiyah tidak hanya menjelaskan tentang pemerintah atau khalifah saja, tetapi mengenai hak-hak rakyat juga. Fiqih dusturiyah juga menjelaskan tentang pem-bai’atan dalam suatu pemerintah dan bagaimana cara memilih pemimpin sesuai dengan ketentuan-ketentuan Islam.
Mengenai fiqih dusturiyah, di dalam makalah ini akan dibahas tentang pem-bai’atan, selain itu akan di bahas juga seputar imamah terutama mengenai persoalan waliy al-ahdi, serta persoalan perwakilan dan Ahl al-hall wa al-‘aqdi yang mempunyai kekuasaan tertinggi dalam memilih dan membai’at imam dengan didasarkan kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah.
B.   Rumusan Masalah
1.     Bagaimana persoalan dalam Bai’at?
2.     Bagaimana persoalan dalam Waliy Al-Ahdi: Sumber kekuasaan dan kriteria imam?
3.     Bagaimana persoalan dalam perwakilan dan Ahl Al-Hall Wa Al-‘Aqdi?
C.   Tujuan Penulisan
1.     Untuk mengetahui persoalan Bai’at.
2.     Untuk mengetahui persoalan Waliy Al-Ahdi: Sumber Kekuasaan dan Kriteria Imam.
3.     Untuk mengetahui persoalan perwakilan dan Ahl Al-Hall Wa Al-‘Aqdi.
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Persoalan Bai’at
Istilah bai’at berasal dari kata ba’a yang berarti “menjual”. Bai’at mengandung makna perjanjian; janji setia atau saling berjanji dan setia.[1] Dalam pelaksanaan bai’at selalu melibatkan dua pihak secara suka rela. Maka bai’at secara istilah adalah ungkapan perjanjian antara dua pihak yang seakan-akan salah satu pihak menjual apa yang dimilikinya dan menyerahkan dirinya kepada pihak kedua secara ikhlas dalam hal urusannya.[2] Artinya dalam bai’at terjadi penyerahan hak dan pernyataan ketaatan atau kewajiban pihak pertama secara suka rela kepada pihak kedua. Pihak kedua juga punya hak dan kewajiban atas hak pihak pertama yang diterimanya. Jadi pelaksanaan hak dan kewajiban antara dua pihak berlangsung secara timbal balik.[3]
Istilah bai’at disebut juga dengan talqin. Talqin dipakai oleh para Ahli Tarekat, sedangkan bai’at sering digunakan dalam Fiqih Siyasah (Politik Islam).[4] Di zaman Rasulullah Saw, bai’at diberlakukan terhadap mereka yang hendak masuk agama Islam, serta bagi yang berkeinginan menunaikan perintah-perintah agama.[5] Berbai’at untuk berlaku taat merupakan perintah syar’i dan Sunnah Rasulullah Saw meskipun telah beriman terlebih dahulu. Karena bai’at merupakan pembaharu janji setia serta penguat jalinan kepercayaan beragama.
Makna bai’at itu sendiri adalah sumpah setia dengan suatu kepemimpinan. Sehingga ada jalinan hubungan yang kuat antara yang memimpin dan yang dipimpin. Dengan prosesi bai’at, terjalinlah ikatan hukum berupa hak dan kewajiban serta tanggungjawab kedua belah pihak secara adil dan proporsional. Adanya hak dan kewajiban ini merupakan hasil dari bai’at.[6]
Bai’at dibolehkan dalam perkara-perkara parsial (bagian) dari syari’at Islam yang dilakukan tanpa paksaan dan juga dilakukan dengan syarat tidak ada pengaruh dan konsekwensi terhadap bai’at kepada Amirul Mukminin. Baik perjanjian itu dengan diri sendiri untuk selalu taat dengan perbuatan tertentu yang disyari’atkan, atau berjanji untuk melakukan perbuatan tertentu antara dia dengan orang lain, tanpa ada hal yang terlarang oleh syari’at. [7]
Bai’at dalam kerangka umum mempunyai tiga unsur pokok, diantaranya:[8]
1.     Pihak yang mengambil bai’at.
2.     Pihak yang memberikan bai’at kepada orang yang menjadi pemimpin, seperti ahl al-hall wa al-‘aqd secara khusus dan mayoritas umat Islam secara umum.
3.     Topik bai’at, yaitu mendirikan khilafah islamiyah sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah Rasulullah Saw.
Ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan bai’at, diantaranya:
a)     QS. Al-Fath: 10,
إِنَّ الَّذِينَ يُبَايِعُونَكَ إِنَّمَا يُبَايِعُونَ اللَّهَ يَدُ اللَّهِ فَوْقَ أَيْدِيهِمْ ۚ فَمَنْ نَكَثَ فَإِنَّمَا يَنْكُثُ عَلَىٰ نَفْسِهِ ۖ وَمَنْ أَوْفَىٰ بِمَا عَاهَدَ عَلَيْهُ اللَّهَ فَسَيُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا
“Sesungguhnya orang-orang yang berjanji teguh kepada engkau (Muhammad), mereka hanya berjanji teguh kepada Allah SWT. Tangan Allah di atas tangan mereka. Barangsiapa yang melanggar janjinya maka bahaya pelanggaran itu akan menimpa dirinya. Dan barang siapa yang menepati janjinya kepada Allah, maka Allah pasti menganugerahi pahala yang besar kepadanya.”
b)     QS. At-Taubah: 111,
وَمَنْ أَوْفَىٰ بِعَهْدِهِ مِنَ اللَّهِ ۚ فَاسْتَبْشِرُوا بِبَيْعِكُمُ الَّذِي بَايَعْتُمْ بِهِ
“Barangsiapa yang menyempurnakan janjinya dengan Allah hendaknya kamu beri kabar suka dengan janji setia yang kamu telah berjanji setia kepadanya.”
Bai’at pertama terhadap khalifah terjadi di Tsaqie-fah Bani Sa’idah yang diceritakan oleh Ibnu Qutaibah Adainuri, sebagai berikut:[9]
Kemudian Abu Bakar menghadap kepada orang-orang ansor memuji Allah dan mengajak mereka untuk bersatu serta melarang berpecah belah selanjutnya Abu Bakar berkata, “Saya nasihatkan kepadamu untuk membai’at salah seorang diantara dua orang ini, yaitu Abi Ubaidah bin Jaroh atau Umar, kemudian Umar berkata, “Demi Allah, akan terjadikah itu? Padahal, tuan (Abu Bakar), ada diantara kita, tuanlah yang paling berhak memegang persoalan ini, tuan adalah lebih dahulu jadi sahabat Rasulullah daripada kami, tuanlah Muhajirin yang paling utama, tuanlah yang menggantikan Rasulullah mengimami shalat, dan shalat adalah rukun Islam yang paling utama. Maka siapakah yang lebih pantas mengurusi persoalan ini daripada tuan? Ulurkanlah tangan tuan, saya membai’at tuan.[10]
Pada waktu Usman bin Affan diangkat jadi khalifah, yang mula-mula membai’at adalah Abdurrahman bin Auf yang kemudian diikuti oleh manusia yang ada di masjid.[11]
Dari uraian di atas tampak bahwa yang membai’at itu adalah ahl al-hall wa al-‘aqd dan kemudian dapat diikuti oleh rakyat pada umumnya seperti pada kasus pem-bai’atan Usman. Akan tetapi, pada umumnya pembai’atan itu dianggap sah apabila dilakukan oleh anggota-anggota ahl al-hall wa al-‘aqd sebagai wakil rakyat, sebagaimana terjadi pada kasus Abu Bakar.[12]
Di samping itu, kata-kata (lafal) bai’at pun ternyata tidak selamanya sama. Oleh karena itu, lafal bai’at dapat dibuat sesuai dengan kebutuhan dan sesuai lingkungannya asalkan tidak bertentangan dengan semangat dan prinsip-pinsip Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw.
Dari ayat-ayat Al-Qur’an di atas jelas bai’at itu mengandung arti janji setia. Di dalam surat Al-Fath ayat 10 dibayangkan pula cara bai’at yaitu dengan meletakkan tangan di atas tangan yang di bai’at seperti dijelaskan oleh Ibnu Khaldun di atas.
Di dalam sejarah kita kenal bai’at aqabah yang pertama dan bai’at aqabah yang kedua. Bai’at aqabah yang pertama terjadi di tahun 621 M di suatu bukit yang bernama Aqobah. Bai’at Aqabah pertama ini antara Nabi dengan 12 orang dari Kabilah Khajraj dan Aus dari Yastrib (Madinah) yang isinya: “Mereka berjanji setia (membai’at) kepada Nabi untuk tidak menserikatkan Allah SWT, tidak akan mencuri, berzina, membunuh anak-anak, menuduh dengan tuduhan palsu, tidak akan mendurhakai Nabi di dalam kebaikan.
Adapun bai’at aqabah kedua terjadi tahun 622 M antara Nabi dengan 75 orang Yastrib, 73 orang laki-laki dan 2 orang wanita, bai’at aqabah kedua ini disebut pula dengan bai’at kubra. Di dalam bai’at ini terjadi dialog antara Rasulullah dengan orang-orang Yastrib. Dan pada akhirnya orang-orang Yastrib membai’at Rasul dengan kata-kata:
Kami berbai’at (berjanji setia) untuk taat dan selalu mengikuti baik pada waktu kesulitan maupun pada waktu dalam kemudahan, pada waktu senang dan pada waktu susah dan tetap berbicara benar di mana pun kami berada, tidak takut celaan orang di dalam membela kalimah Allah SWT.[13]
Sudah tentu pem-bai’atan ini dilakukan setelah terjadi permusyawaratan penentuan seorang imam.
Ada kemungkinan tidak seluruh anggota ahl al-hall wa al-‘aqd membai’at imam, keadaan demikian harus dihindari sedapat mungkin, yaitu dengan jalan musyawarah untuk mencapai kesepakatan. Akan tetapi, apabila cara musyawarah tidak menghasilkan kesepakatan, maka imam dapat di bai’at oleh mayoritas ahlul halli wal aqdi. Apabila telah di bai’at oleh mayoritas ahlul halli wal aqdi, maka golongan minoritas ahlul halli wal aqdi pun harus tetap menaati dan membantu si imam, dan tidak boleh berusaha menjatuhkan si imam, kecuali jika imam melakukan kekafiran yang nyata.
B.    Persoalan Waliy Al-Ahdi: Sumber Kekuasaan dan Kriteria Imam
Imamah itu dapat terjadi dengan salah satu cara dari dua cara: pertama dengan pemilihan ahl al-hall wa al-aqdi dan kedua dengan janji (penyerahan kekuasaan) imam yang sebelumnya.[14]
Cara kedua itulah yang dimaksud dengan waliyul ahdi. Cara ini diperkenankan atas dasar:
1.     Abu Bakar r.a menunjuk Umar r.a yang kemudian kaum muslimin menetapkan keimaman (imamah) Umar dengan penunjukan Abu Bakar tadi.
2.     Umar r.a menunjuk menyerahkan pengangkatan khalifah kepada ahlu syura’ (imam orang sahabat) yang kemudia disetujui/dibenarkan oleh sahabat yang lain.
Qadli Abu Ya’la menjelaskan bahwa wilayah al-ahd itu dapat pula dilaksanakan kepada orang yang mempunyai hubungan nasab, baik garis lurus ke atas maupun garis lurus ke bawah dengan syarat:
Orang yang ditunjuk itu memenuhi persyaratan imam, karena imamah tidaklah terjadi karena semata-mata penunjukan, akan tetapi imamah itu terjadi karena persetujuan kaum muslimin.[15]
Persoalan wilayah al-ahd kembali kepada dua masalah pokok yaitu, pertama, siapakah yang memiliki kekuasaan dan kedua apakah syarat-syarat imam itu.
Masalah yang pertama telah banyak dibahas baik oleh orientalis maupun oleh para ulama Islam, orang-orang orientalis pada umumnya seirama bahwa, “Islam itu absolut, sewenang-wenang”.[16]
Diauddin al-Rais menyebut yang memegang kekuasaan itu rakyat dan undang-undang, ringkasnya rakyat dan syariat”.[17] Yusuf musa menegaskan, “Khalifah di dalam pandangan Islam bukanlah orang yang memiliki sifat-sifat Uluhiyah (ketuhanan) dia tidak suci, tidak maksum (terpelihara dari dosa), dia tidak memiliki hak monopoli di dalam menjelaskan dan menafsirkan nash-nash agama; akan tetapi dia hanyalah manusia biasa yang dipercaya oleh umat karena sifat keagamaannya yang baik dan keadilannya, maka diserahkan kepadanya masalah-masalah untuk diurus sesuai dengan syariah”.[18]
Dari penjelasan-penjelasan di atas jelas bahwa imam tidak dapat sewenang-wenang, bahkan dia tunduk kepada ketentuan-ketentuan Al-Qur’an dan Hadis serta ketentuan ahl al-hall wa al-‘aqd di dalam hal-hal yang tidak ditentukan oleh Al-Qur’an atau Hadis secara tegas.
Adapun masalah yang kedua, yaitu tentang syarat-syarat imam, ternyata ada ulama yang memberikan persyaratan yang sangat ketat dan ada pula yang memberi persyaratan yang longgar. Al-Mawardi misalnya memberikan tujuh persyaratan sebagai berikut:
1.     Adil dengan segala persyaratannya (benar tutur katanya, dapat dipercaya, terpelihara dari segala yang haram, menjauhi segala dosa dan hal-hal yang meragukan, memegang muru’ah; yang mengurangi keadilan itu adalah al-Fasqu, yang terdiri dari dua hal: (1) mengikuti syahwat, (2) yang berhubungan dengan syubhat. Adapun yang pertama, berhubungan dengan anggota badan, yaitu melakukan yang haram dan kemungkaran. Sedangkan yang kedua berkaitan dengan itiqodiyah).
2.     Memiliki ilmu yang dapat digunakan untuk ijtihad di dalam hukum dan kasus-kasus hukum yang harus dipecahkan.
3.     Sehat panca inderanya, baik pendengaran, penglihatan, lisannya agar dapat digunakan sebagaimana mestinya.
4.     Sehat anggota badannya dari kekurangan-kekurangan yang dapat mengganggu geraknya.
5.     Kecerdasan dan kemampuan di dalam mengatur rakyat dan kemaslahatan.
6.     Kebenaran dan punya tanggung jawab dan tabah di dalam mempertahankan negara dan memerangi musuh.
7.     Nasab imam itu harus keturunan Quraisy atas dasar nash dan ijma.
Abu Ja’la al-Hanbali menyebut empat syarat, yaitu:
1.     Haruslah orang Quraisy (keturunan Nadlar bin Kinanah bin Huzaemah bin Mudzrikah bin Ilyas bin Mudlar bin Nasar bin Zaad bin Adnan).
2.     Memiliki syarat-syarat seorang hakim, yaitu merdeka, baligh, berakal, berilmu, dan adil.
3.     Mampu memegang kendali di dalam masalah-masalah peperangan, siyasah, dan pelaksanaan hukuman.
4.     Orang yang paling baik/utama di dalam ilmu dan agama.[19]
Bukan saja di kalangan para ulama terdahulu terdapat perbedaan pendapat tentang persyaratan seorang imam, akan tetapi juga terdapat perbedaan pendapat tersebut di kalangan ulama-ulama yang sekarang.
Al-Ustadz Abdul Wahab Khalaf misalnya, dapat menerima enam syarat dari Al-Mawardi, akan tetapi syarat yang ketujuh (imam itu harus orang Quraisy) ternyata diperdebatkan oleh para ulama, dari sisi kualitasnya dan dari sisi ta’arudl-nya (pertentangan) dengan nash-nash lain baik Al-Qur’an maupun Hadis. Selanjutnya Abdul Wahab Khalaf menyitir pendapat Ibnu Khaldun yang mengatakan: “Persyaratan harus orang Quraisy yang jadi imam, adalah untuk menghindari pertentangan karena rasa ashabiyah.”[20]
Yusuf Musa setelah menguraikan syarat-syarat imam menurut Ibn Hazm al-Juwaeni, al-Ghazali, al-Kamal bin Abi Syarif, dan al-Kamal bin Hunam, Al-Iji, Al-Baqalani dan Ibnu Khaldun akhirnya beliau berpendapat bahwa syarat imam itu adalah: “Islam, laki-laki, mukallaf, berilmu, adil, mampu, dan selamat pancainderanya dan anggota badannya.”[21] Demikian pula Abdul Qadir Audah mensyaratkan ketujuh syarat tersebut di atas.[22]
Sedangkan Ibnu Khaldun hanya memberikan 4 syarat, yaitu:
1.     Memiliki Ilmu Pengetahuan.
2.     Adil.
3.     Mampu melaksanakan tugas termasuk kearifan.
4.     Sehat jasmani dalam arti pancainderanya dan anggota badan lainnya.
Satu hal barangkali perlu diingat bahwa memilih pemimpin yang terbaik di antara yang baik adalah tidak terlalu sukar, akan tetapi yang sulit adalah memilih pemimpin yang baik diantara yang tidak baik. Sebab bagaimanapun juga pemimpin itu harus ada di antara kelompok manusia. Bahkan di dalam hadis dinyatakan: Apabila tiga orang berpergian, maka salah seorang daripadanya hendaklah menjadi pemimpinnya.”[23]
Jadi wilayah al-ahd dapat saja terjadi dan sah asal diakui oleh ahl al-hall wa al-aqdi dan memenuhi persyaratan sebagai al-imam al-adham.
C.    Persoalan Perwakilan dan Ahl Al-Hall Wa Al-‘Aqdi
1)     Persoalan Perwakilan
Sebagaimana yang telah kita ketahui, sudah lebih dari 1400 tahun yang lalu batu sendi pembentukan masyarakat islam telah diletakkan di kota makkah di bawah situasi dan kondisi yang sangat tidak bersahabat dan memusuhi. Memulai dan kemudian secara bertahap mengembangkan suatu masyarakat islami,di dalam sistem yang bertolak belakang inilah yang merupakan tujuan seumur hidup Rasulullah Saw. Ketika masyarakat Islam mencapai kemerdekaan politiknya,juga setelah organisasi-organisasinya maju, Rasulullah diangkat menjadi kepala Negara Pertama. Beliau tidak dipilih oleh siapapun kecuali dipilih langsung oleh Allah yang Maha Kuasa. Hingga akhirnya beliau wafat.
Selepas beliau wafat, Rasul tidak memberikan perintah-perintah yang jelas untuk calon penggantinya. Karena tidak adanya syarat-syarat yang jelas ini, dan dengan mengambil dasar perintah Al-Qur’an segala urusan umat diselesaikan dengan caara musyawarah. Para sahabat menunjukan bahwa untuk memilih kepala Negara telah diserahkan kepada kehendak pemilihan dari kaum muslimin yang harus dilaksanakan sejalan dengan jiwa perintah Al-Qur’an tersebut. [24]
Salah satu riwayat tentang pengangkatan kepala negara/pemimpin/khalifah yaitu pada kitab Al-Kamil fi Tarikh karangan  Ibnu Al Atsir. Diceritakan bahwa pada masa-masa Rasulullah Saw wafat, orang-orang anshor berusaha mengangkat saad bin ubaidah menjadi pemimpin umat. Saad pun berpidato tentang keutamaan orang-orang ansor dalam menolong dan membela Rasulullah. Berita tentang berkumpulnya orang-orang ansor ini sampai kepada Umar bin Khattab, kemudian umar bergegas menuju Abu Bakar dan mengajak beliau karena urusan ini merusapakan urusan yang sangat penting. Setelah itu, Umar dan Abu bakar bergegas menuju ke Saqiefah Bani Saadah tempat berkumpulnya orang-orang ansor. Sesampainya di sana beliau Abu Bakar berbicara dan di Akhir pembicaraanya beliau berkata : “Orang-Orang Quraisy adalah orang-orang pertama yang beriman kepada Allah dan RasulNy, mereka wali dan keluarga Rasulullah dan yang paling berhak memegang kendali umat setelah Rasulullah Wafat. Dan tuan-tuan dari golongan ansor,Allah telah menjadikan tuan-tuan sebagai penolong Agama Allah dan Penolong RasulNya dan kepada tuan-tuanlah Rasulullah berhijrah,oleh karena itu dari Kami yang menjadi Kepala Negara dan Tuan-tuanlah yang menjadi mentrinya.
Kemudian berdirilah Hubab bin al-Mundir bin Jamuh yang mempertahankan pendirian orang-orang ansor. Beliau mengatakan bahwa baik ansor maupun Quraisy sama-sama memiliki kemuliaan, jumlah dan kekuatan yang sama. Sehingga mengusulkan sama-sama mempunyai kepala Negara. Namun Umar berkata “Demi Allah, orang arab tidak rela diperintah oleh tuan-tuan. Orang arab tidak akan menolak pimpinan dari kelompok/keluarga Rasulullah, Kami adalah keluarga Rasul. Kemudian Hubab menjawab lagi bahwa orang-orang ansor tetap yang berhak menjadi kepala Negara. Situasi pun menjadi lebih panas dalam menyikapi polemik ini. Hingga kemudian berdirilah Basyir bin Saad yang mengatakan “Sesungguhnyalah Muhammad itu dari golongan Quraisy, dan kaumnya lebih berhak, Demi Allah, saya tidak akan menentang orang-orang Quraisy dalam masalah ini. Karena itu, takwalah kepada Allah dan jangan menentang mereka.”
Kemudian Abu Bakar berkata, “ Di sini ada Umar dan Abu Ubaidah, apabila tuan-tuan setuju, nyatakanlah baiat kepada salah seorang diantara mereka.” Umar berkata, “ Demi Allah, tuanlah yang harus menjadi kepala negara,tuanlah muhajirin yang paling utama, dan menggantikan Rasulullah menjadi imam di dalam shalat,sedangkan shalat adalah ibadah yang paling utama, saya membaiat tuan”. Ketika itu mereka yang berdiskusi pun membaiat Abu Bakar sebagai khalifah pengganti Rasulullah dalam memimpin Umat.
Dari peristiwa pengangkatan Abu Bakar jadi khalifah ini dapat ditarik kesimpulan di antaranya:
1.     Khalifah dipilih dengan cara musyawarah di antara para tokoh dan wakil umat
2.     Yang mengangkat itu para wakil umat dan tokoh-tokoh masyarakat. Jadi, sistem perwakilan sudah dikenal dan dilaksanakan pada masa itu.
3.     Di dalam musyawarah, terjadi dialog dan bahkan diskusi untuk mencari alternatif yang terbaik di dalam menentukan siapakah calon khalifah yang paling memenuhi persyaratan.
4.     Sedapat mungkin diusahakan kesepakatan dengan tidak menggunakan voting.[25]
Konvensi mengenai pemilihan khalifah berlanjut sampai kepada khalifah selanjutnya. Ketika Abu Bakar akan wafat pun beliau mendiskusikan terlebih dahulu calon penggantinya dan Umar lah yang dirasa tepat. Sebelum Abu Bakar wafat beliau menyampaikan amanatnya kepada kaum Muslimin “ apakah kalian ikhlas menerima dia sebagai Amir kalian, yang aku calonkan sebagai penggantiku? Allah menjadi saksiku, aku tidak mengajukan pilihan lain yang tidak dapat kalian ganggu-gugat lagi dalam mencari kesimpulan terbaik untuk masalah ini. Aku calonkan Umar bin Khattab sebagai penggantiku. Oleh karenanya, kalian semua dengar dan taatilah dia.” Massa kaum muslimin kemudian berseru “ kami telah mendengar, dan kami setuju.” Di sini Abu Bakar menyarankan nama Umar setelah bermusyawarah dengan orang-orang yang dipercayai rakyat. Kemudian keputusan itu dilemparkan kepada massa pemilih Muslim.
Konvensi ini berlanjut, ketika Umar merasa ajalnya telah dekat beliau memperhatikan bahwa dari sekian banyak sahabat Nabi yang paling dapat dipercaya, hanya enam orang yang masih hidup untuk dijadikan sebagai sumber pedoman kaum Muslim untuk dipilih sebagai calon penggantinya, kemudian beliau membentuk Dewan Permusyawaratan  yang beranggotakan keenam sahabat tersebut untuk memilih khalifah berikutnya diantara kalangan mereka sendiri. Dengan mengamanatkan bahwa barang siapa yang menjadi amir tanpa disetujui oleh Massa Muslim maka harus dipenggal.
Kemudian lembaga ini menunjuk salah satu anggotanya Abdurrahman bin a’uf untuk berkeliling madinah dan memantau aspirasi masyarakat umum di kota tersebut. Dari pantauan itu muncul lah dua nama yaitu Utsman Bin Affan dan Ali bin Abi Thalib yang dipercaya bisa menggantikan umar. Namun dari usulan tersebut pandangan lebih berat ke Utsman dan singkat cerita, beliau diangkat menjadi khalifah penerus sepeninggal Umar Bin Khattab.
Kemudian saat Utsman menjadi khalifah ada kejadian tragis dengan terjadinya pembunuhan brutal atas Utsman. Oleh karenanya, beberapa sahabat bertandang ke rumah Ali selepas Utsman wafat dan menyatakan kepada beliau tidak ada lagi yang paling cocok menjadi amir kecuali ali sendiri. Ali merasa keberatan, namun atas desakan sahabat beliau mensetujui dan menyuruh kaum muslimin pergi ke masjid untuk meminta persetujuan. Tentu saja kaum muslimin memberikan reaksi setuju atas pengangkatan Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah pengganti. Sekalipun persetujuan ini bukan merupakan mufakat bulat.
Dalam mengkaji hal diatas, inilah konvensi dalam pemilihan khalifah dan tindakan kolektif para sahabat untuk masalah yang sangat penting. Sebagian besar hal tersebut didasarkan kepada diamnya Rasulullah untuk menunjuk pengganti beliau dan berdasarkan perintah Al-Qur’an bahwa semua keputusan yang menyangkut kepentingan orang banyak haruslah diambil secara musyawarah. Hal yang dapat digali dari preseden-preseden diatas adalah:
1.     Pemilihan Kepala Negara sepenuhnya bergantung kepada masyarakat umum dan tak seorangpun berhak untuk mengangkat diri dengan oaksaan atau kekerasan sebagai amir mereka.
2.     Tidak ada satu klan atau kaum atau kelompok manapun yang memonopoli jabatan ini.
3.     Pemiihan harus dilaksanakan dengan prinsip kehendak bebas kaum muslimin dan tanpa adanya pemaksaan atau ancaman.[26]

2)     Ahl Al-Hall Wa Al-‘Aqdi
Ahl Al-Hall Wa Al-‘Aqd (ahlul wal ‘aqdi) yang artinya orang-orang yang mempunyai wewenang untuk melonggarkan, memutuskan, dan mengikat. Tugasnya antara lain memilih khalifah, imam, kepala Negara secara langsung.[27] Karena itu ahl al-hall wa al-‘aqd juga disebut oleh al-Mawardi sebagai ahl al-ikhtiyar (golongan yang berhak memilih). Peran golongan ini sangat penting untuk memilih salah seorang diantara ahl al-imamat ( golongan yang berhak dipilih) untuk menjaddi khalifah.
Uraian para ulama tentang ahl- al-hall wa al-aqd tampak hal sebagai berikut:
a.      Ahl- al-hall wa al-aqd adalah pemegang kekuasaan tertingi yang mempunyai wewenang untuk memilih dan mem-ba’iat imam.
b.     Ahl- al-hall wa al-aqd mempunyai wewenang mengerahkan kehidupan masyarakat kepada yang maslahat.
c.      Ahl- al-hall wa al-aqd mempunyai wewenang membuat undang-undang yang mengikat kepada seluruh umat di dalam  hal-hal yang tidak diatur secara tegas oleh Al-Qur’an dan Hadis.
d.     Ahl- al-hall wa al-aqd tempat konsultasi imam di dalam menentukan kebijakannya.
e.      Ahl- al-hall wa al-aqd mengawasi jalannya pemerintahan, wewenang no 1 dan 2 mirip dengan wewenang MPR, wewenang no 3 dan 5 adalah wewenang DPR, dan wewenang no 4 adalah wewenang DPA di Indonesia sebelum amendemen UUD 1945[28].
Bertolak dari uraian dia atas dapat dikatakan bahwa ahl- al-hall wa al-aqd merupakan suatu lebaga pemilih. Orang-orang yang berkedudukan  sebagai wakil-wakil rakyat, dan salah satu tugasnya memlih khalifah atau kepala Negara. Ini menunjukan bahwa sistem pemilihan khalifah dalam perspektif pemikiran ulama fikih, dan kecenderungan umat Islam generasi pertama dalam sejarah, adalah secara tidak langsung  atau melalui perwakilan. Ini, dari segi fungsionalnya, sama seperti Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) di Indonesia sebagai lembaga tertinggi Negara dan perwakilan  yang personal-personalnya merupakan wakil-wakil rakyat yang dipilih rakyat dalam pemilu, dan salah satu tugasnya adalah memilih presiden (sebagai kepala Negara dan kepala peerintahan). Namun dalam beberapa segi lain, antara ahl- al-hall wa al-aqd dan MPR tidak identik.
Segaimana yang diseut di atas, ahl- al-hall wa al-aqd adalaah orang-orang yang mendapat kepercyaan sebagai wakil rakyat. Tapi pernyataan dia atas masih abstrak. Belum disebut secara konkret kelompok-kelompok sosial yang mana saja yang dapat dikategorikan sebagai ahl- al-hall wa al-aqd. Apa kualifikasinya, bagaimana hubungannyadengan rakyat dan mekanisme apa yang digunakan untuk memperoleh kedudukan terhormt itu.
Jawaban untuk pertanyaan pertama dikemukakan beberapa pendapat. Menurut Al-Nawawi dalam Al-Minhaj, ahl- al-hall wa al-aqd adalah para ulama, para kepala, para pemuka masyarakat sebagai unsur-unsur masyarakat yang berusaha mewujudkan kemaslahatan rakyat.  Muhammad Abdullah menyamakan ahl- al-hall wa al-aqd dengan ulil amri yang disebut dalam AL-qur’an surat An-Nisa’ aya 59 yang menyatakan:”Hai orang-orang beriman taatilah Allah, dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu”.
Pendapat dari ahli takwil dan tafsir tentang ulil amri yang tidak mengaitkannya dengan ahl- al-hall wa al-aqd dikutip oleh Al-Tabari dan Al-Razi. Penafsirannya bergm, yaitu: 1) para pemimpin; 2) para pemuka sahabat di masa Nabi; 3) mereka yang ahli ilmu dan fikih; 4) fuqaha dan ulama; 5) para sahabat Rasul; 6) para pemimpin dan penguasa yang taat kepada Allah dan Rasul serta memperhatikan kemaslahatan umat Islam; 7) khalifah yang empat; 8) para ulama yang membuat fatwa dalam hukum syariat dan mengajarkan agama kepada manusia; 9) para imam yang ma’shum. Dan Ibnu Taimiyah menafsirkan dengan para pembesar dan para ulama yang menjadi panutan masyarkat.
Dengan demikian, ahl- al-hall wa al-aqd terdiri dari beragai kelompok sosial yang memiiki propesi dan keahlian yang berbeda, baik dari birokrat pemerintahan ataupun tidak yang lazim disebut pemimpin formal dan pemimpin informal.
Adapun tugas ahl- al-hall wa al-aqd disamping punya hak pilih, menurut Rida, adalah menjatuhkan khalifah jika terdapat hal-hal  yang mengharuskan pemecatannya. Al-Wardi  juga berpendapat jika kepala Negara melakukan tindakan yang bertentangan dengan agama, rakyat dan ahl- al-hall wa al-aqd berhak untuk menyampaikan “mosi tidak percaya” kepadanya.
Dan sejauh ini belum ditemui penjelasan tentang hak-hak lain ahl- al-hall wa al-aqd seperti pembatasan kekuasaan khalifah, mekanisme pembentukan lembaga itu, hak control dan sebagainya. Apalagi ahl- al-hall wa al-aqd, sekalipun mereka mewakili rakyat, menurud Rasyid, tidak identic dengan parlemen di zaman modern yang memiliki kekuasan legislative, dan berhak membatasi kekuasan kepala Negara melalui undang-undang. Sementara khalifah adalah kepala Negara yang memegang kekuasaan legislative, eksekutif dan yudikatif. Dengan demikian konsep ahl- al-hall wa al-aqd masih kabur. Namun hal ini bukan hal prinsip, namun persoalaan teknis dan temporer yang dapat berubah sesuai dengan tuntutan situasi dan kebutuhan masyarakat[29].


BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
A.    Persoalan Bai’at
Istilah bai’at berasal dari kata ba’a yang berarti “menjual”. Bai’at mengandung makna perjanjian; janji setia atau saling berjanji dan setia. Dalam pelaksanaan bai’at selalu melibatkan dua pihak secara suka rela. Maka bai’at secara istilah adalah ungkapan perjanjian antara dua pihak yang seakan-akan salah satu pihak menjual apa yang dimilikinya dan menyerahkan dirinya kepada pihak kedua secara ikhlas dalam hal urusannya. Kata-kata (lafal) bai’at pun ternyata tidak selamanya sama. Oleh karena itu, lafal bai’at dapat dibuat sesuai dengan kebutuhan dan sesuai lingkungannya asalkan tidak bertentangan dengan semangat dan prinsip-pinsip Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw.
B.    Persoalan Waliy Al-Ahdi: Sumber Kekuasaan dan Kriteria Imam
Imamah itu dapat terjadi dengan salah satu cara dari dua cara: pertama dengan pemilihan ahl al-hall wa al-aqdi dan kedua dengan janji (penyerahan kekuasaan) imam yang sebelumnya. Satu hal barangkali perlu diingat bahwa memilih pemimpin yang terbaik di antara yang baik adalah tidak terlalu sukar, akan tetapi yang sulit adalah memilih pemimpin yang baik diantara yang tidak baik. Sebab bagaimanapun juga pemimpin itu harus ada di antara kelompok manusia. Bahkan di dalam hadis dinyatakan: Apabila tiga orang berpergian, maka salah seorang daripadanya hendaklah menjadi pemimpinnya.” Jadi wilayah al-ahd dapat saja terjadi dan sah asal diakui oleh ahl al-hall wa al-aqdi dan memenuhi persyaratan sebagai al-imam al-adham.
C.    Persoalan Perwakilan dan Ahl Al-Hall Wa Al-‘Aqdi
1)     Persoalan Perwakilan
Sudah lebih dari 1400 tahun yang lalu batu sendi pembentukan masyarakat islam telah diletakkan di kota makkah di bawah situasi dan kondisi yang sangat tidak bersahabat dan memusuhi. Memulai dan kemudian secara bertahap mengembangkan suatu masyarakat islami,di dalam sistem yang bertolak belakang inilah yang merupakan tujuan seumur hidup Rasulullah Saw. Ketika masyarakat Islam mencapai kemerdekaan politiknya,juga setelah organisasi-organisasinya maju, Rasulullah diangkat menjadi kepala Negara Pertama. Beliau tidak dipilih oleh siapapun kecuali dipilih langsung oleh Allah yang Maha Kuasa. Hingga akhirnya beliau wafat.
Selepas beliau wafat, Rasul tidak memberikan perintah-perintah yang jelas untuk calon penggantinya. Karena tidak adanya syarat-syarat yang jelas ini, dan dengan mengambil dasar perintah Al-Qur’an segala urusan umat diselesaikan dengan caara musyawarah. Para sahabat menunjukan bahwa untuk memilih kepala Negara telah diserahkan kepada kehendak pemilihan dari kaum muslimin yang harus dilaksanakan sejalan dengan jiwa perintah Al-Qur’an tersebut.
Dalam mengkaji hal diatas, inilah konvensi dalam pemilihan khalifah dan tindakan kolektif para sahabat untuk masalah yang sangat penting. Sebagian besar hal tersebut didasarkan kepada diamnya Rasulullah untuk menunjuk pengganti beliau dan berdasarkan perintah Al-Qur’an bahwa semua keputusan yang menyangkut kepentingan orang banyak haruslah diambil secara musyawarah.
2)     Ahl Al-Hall Wa Al-‘Aqdi
Ahl Al-Hall Wa Al-‘Aqd (ahlul wal ‘aqdi) yang artinya orang-orang yang mempunyai wewenang untuk melonggarkan, memutuskan, dan mengikat. Tugasnya antara lain memilih khalifah, imam, kepala Negara secara langsung. Karena itu ahl al-hall wa al-‘aqd juga disebut oleh al-Mawardi sebagai ahl al-ikhtiyar (golongan yang berhak memilih). Peran golongan ini sangat penting untuk memilih salah seorang diantara ahl al-imamat ( golongan yang berhak dipilih) untuk menjaddi khalifah.
Dapat dikatakan bahwa ahl- al-hall wa al-aqd merupakan suatu lebaga pemilih. Orang-orang yang berkedudukan  sebagai wakil-wakil rakyat, dan salah satu tugasnya memlih khalifah atau kepala Negara. Ini menunjukan bahwa sistem pemilihan khalifah dalam perspektif pemikiran ulama fikih, dan kecenderungan umat Islam generasi pertama dalam sejarah, adalah secara tidak langsung  atau melalui perwakilan.

B. Saran
Demikianlah makalah yang kami buat, semoga dapat bermanfaat bagi pembaca. Apabila terdapat kesalahan dalam penulisan mohon dapat memaafkan dan memakluminya, karena kami adalah hamba Allah yang tak luput dari salah, khilaf, alfa dan lupa.
















DAFTAR PUSTAKA
J. Suyuthi, Pulungan. 1995. Fiqih Siyasah. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
------------------------. 2014. Fiqih Siyasah. Yogyakarta: Perpustakaan Nasional.
Djazuli, H.A. 2017.  Fiqih Siyasah. Jakarta: Kencana.
Taimiyah, Ibnu. 2002. Risalah Bai’at. Jakarta: Pustaka At-Tauhid.
Zaidan, Abdul Karim. 1987. Individu dan Negara menurut Pandangan Islam, alih bahasa Jamaluddin Kafie. Surabaya: PT Bina Ilmu.
Dzajuli. H.A. 2003. Fiqih Siyasah (Implementasi Kemaslahatan Umat dalam Rambu-rambu Syariah). Jakarta: PT Fajar Interpratama Mandiri.
Djajuli. 2017. Fiqih Siyasah. Jakarta: Putra Grafika.
Abul A’la Maududi. 1975. Hukum dan konstitusi Islam, terjemahan dari The Islamic Law and Constitution,Pakistan. Bandung: Mizan.
Al-Idrisyyah. 2012. Bai’at dalam Pandangan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Diakses dari www.idrisiyyah.or.id/read/article/348/baiat-dalam-pandangan-al-quran-dan-as-sunnah-bag1 pada tanggal 21 September 2017 pukul 09.45 WIB.
Cooza, Arief. 2013. BAI’AT. Diakses dari https://ariefcooza.blogspot.co.id/2013/02/baiat.html?m=1 pada tanggal 21 September 2017 pukul 10.30 WIB. 



[1] Pulungan, J. Suyuthi, Fiqih Siyasah (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1995), hlm. 72.
[2] Ibid.
[3] Ibid.
[4] Al-Idrisyyah, “Bai’at dalam Pandangan Al-Qur’an dan As-Sunnah”, diakses dari www.idrisiyyah.or.id/read/article/348/baiat-dalam-pandangan-al-quran-dan-as-sunnah-bag1 pada tanggal 21 September 2017 pukul 09.45 WIB.
[5] Ibid.
[6] Ibid.
[7] Ibnu Taimiyah, Risalah Bai’at  (Jakarta: Pustaka At-Tauhid, 2002), hlm. 23.
[8] Arief Cooza, “BAI’AT”, diakses dari https://ariefcooza.blogspot.co.id/2013/02/baiat.html?m=1 pada tanggal 21 September 2017 pukul 10.30 WIB.  
[9] H.A. Djazuli, Fiqih Siyasah (Jakarta: Kencana, 2017), hlm. 66.
[10] Ibid.
[11] Ibid., hlm. 67.
[12] Ibid.
[13] Ibid., hlm. 68.
[14] Muhammad Husein Haikal, Op. cit., hlm. 206.
[15] Al-Hanbali al-Qadli Abu Ja’la, Al-Ahkam al-Sulthaniyah, Musthafa al-Babi al-Halabi, Mesir, cetakan I, 1938, hlm. 9.
[16] Hasbi, Op. cit., hlm. 126.
[17] Hasbi, Op. cit., hlm. 134.
[18] Yusuf Musa, Op. cit., hlm. 132.                         
[19] Abu Ja’la, Op. cit., hlm. 4.
[20] Abdul Wahab Khalaf, Op. cit., hlm. 56.
[21] Yusuf Musa, Op. cit., hlm. 68.
[22] Abdul Qadir Audah, Al-Islam wa Audha’una Al-Siyasiyah, Darul Kitab al-Arabi, Kairo, 1951, hlm. 101-104.
[23] HR. Abu Dawud.
[24] Abul A’la Maududi, 1975 Hukum dan konstitusi islam terjemahan dari the islamic law and constitution,pakistan. Diterbitkan di Bandung. Mizan.
[25] Prof. Dzajuli.H.A, 2003,Fiqih Siyasah implementasi kemaslahatan umat dalam rambu-rambu syariah, Jakarta, PT Fajar Interpratama Mandiri
[26] Abul A’la Maududi, 1975 Hukum dan konstitusi islam terjemahan dari the islamic law and constitution,pakistan. Diterbitkan di Bandung. Mizan.
[27] Abdul Karim Zaidan, Individu dan Negara menurut Pandangan Islam, Pt Bina Ilmu, Surabaya, 1987, hlm. 147 terjemahan Jamaluddin Kafie
[28] Djajuli, Fiqih Siyasah, Jakarta, Putra Grafika, 2017, hlm. 76
[29] Suyuthi Pulungan, Fikih Siyasah, Yogyakarta, Perpustakaan Nasional, 2014, hlm. 72