BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan kajian terhadap
ayat-ayat al-Quran mendorong timbulnya corak baru terhadap tafsir al-Quran.
Satu ayat al-Quran menafsirkan ayat yang lain disepakati oleh para ulama
sebagai jenis penafsiran yang terbaik. Cikal bakal ilmu ini sebenarnya telah
ada sejak zaman nabi dan para sahabat masih hidup seperti; Pertanyaan sahabat kepada
Rasulullah tentang kata "zhulm" dalam firman Allah: "alladzîna
âmanû wa lam yalbisû îmânahum bi zhulmin ulâ-ika lahumu-l- amnu wa hum
muhtadûn" (orang-orang yang beriman dan tidak menodai keimanannya
dengan kezaliman maka mereka akan mendapat ketenangan dan mereka adalah
orang-orang yang mendapat petunjuk) [Qs. Al-An'âm: 82], pertanyaan mereka
diperkuat dengan pendapat mereka bahwa setiap manusia pasti pernah berbuat
kezaliman: "Siapa di antara kami yang tidak pernah berbuat zalim
?". Menjawab pertanyaan ini Rasulullah membacakan ayat al-Quran
berkenaan nasehat Luqman kepada anaknya: "yâ bunayya lâ tusyrik billâhi
inna sy-syirka lazhulmun 'azhîm" (wahai anakku janganlah engkau
menyekutukan Allah! Sesungguhnya syirik adalah kazaliman yang besar) [Qs.
Luqman: 13]. Makna kezaliman yang dipertanyakan sahabat disini adalah syirik.
Jenis penafsiran di atas
menambah khazanah dan inspirasi ulama-ulama muslim untuk mengembangkan ilmu
tafsir, diantara mereka ada yang memfokuskan pada tema tertentu dari tema yang
ada pada al-Quran atau tema lain seperti tema-tema kehidupan, kemudian
mengumpulkan dan menyusun ayat-ayatnya sesuai asbab nuzul jika ada. Kemudian
melakukan penafsiran terhadap ayat-ayat tersebut dengan melihat korelasi
antara ayat, penafsiran jenis ini dikenal dengan nama al-tafsîr al-mawdhû'î
\/al-tafsîr al-tawhîdî (tafsir tematik atau tafsir penyatuan).
Sejalan dengan perkembangan
ilmu pengetahuan pengkajian ayat-ayat al-Quran tidak berhenti pada pembahasan
tafsir tematik semata, tema kemukjizatan al-Quran misalnya yang dikolerasikan
dengan perkembangan ilmu pengetahuan menjadi corak tersendiri dalam ilmu
tafsir, yang dinamakan dengan tafsir 'ilmi.
Dalam makalah ini kami mencoba untuk
menjelaskan mengenai pengertian
tafsir ilmi, bagaimana perkembangan tafsir ilmi, bagaimana pandangan para ahli
mufassir terhadap tafsir ilmi, contoh ayat al-Qur’an yang mengandungan tafsir
ilmi, dan apa saja kelebihan dan kekurangan dari tafsir ilmi.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian tafsir Ilmi ?
2. Bagaimana Perkembangan tafsir ilmi ?
3. Bagaimana Pandangan Para Mufassir Terhadap Tafsir 'Ilmi ?
4. Bagaimana Contoh ayat al-Qur’an dengan tafsir Ilmi ?
5. Apa saja kelebihan dan kekurangan dari
tafsir Ilmi ?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian tafsir Ilmi
2. Untuk mengetahui Perkembangan tafsir ilmi
3. Untuk mengetahui Pandangan Para Mufassir Terhadap Tafsir 'Ilmi
4. Untuk mengetahui Contoh ayat al-Qur’an dengan tafsir Ilmi
5. Untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan
dari tafsir Ilmi
D. Sistematis Penulisan
Makalah
ini tersusun atas tiga bab yaitu:
1. BAB
I pendahuluan yang terdiri dari:
a. Latar
Belakang
b. Rumusan
Masalah
c. Tujuan
d. Metode
2. BAB
II yang terdiri dari pembahasan.
3. BAB
III yang terdiri dari kesimpulan.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Tafsir Ilmi
Tafsir ilmi ialah tafsir yang memperkenalkan istilah-istilah ilmiah dari al-Qur’an dan
ditandai dengan adanya usaha untuk menggali aneka ilmu dan pandangan filsafat
dari al-Qur’an. Bagi pendukung tafsir ilmiah, al-Qur’an mengandung berbagai
ilmu yang meliputi ilmu-ilmu agama, teologi, dan ilmu-ilmu praktis serta
ilmu-ilmu lainnya yang beraneka ragam. [1]
Sedangkan
makna "tafsir 'Ilmi" secara terminologi para ulama mengungkapkan beberapa
pendapat diantaranya adalah:
1. Menurut
Fahd al-Rumi "tafsir ilmi" yaitu: Ijtihad seorang mufassir dalam
menemukan hubungan antara ayat-ayat kauniyah (kosmos) al-Quran dengan penemuan
ilmu-ilmu eksperimen yang bertujuan untuk mengungkapkan kemukjizatan al-Quran
sebagai sumber ilmu yang sesuai dan sejalan di setiap waktu dan tempat.
2. Menurut
Abd al-Rahmân al-'Ik "tafsir ilmi" yaitu : Tafsir al-Quran yang
berlandaskan uraian dan keterangan isyarat al-Quran yang menunjukkan keagungan
Allah swt. dalam mengatur ciptaan-Nya.
3. Menurut
Muhammad Husein al-Dzahabi "tafsir ilmi" yaitu : Tafsir yang
dilakukan untuk menentukan istilah-istilah keilmuan dalam ayat-ayat al-Quran
dan berijtihad guna memunculkan beberapa ilmu dan pandangan filsafat dari
ayat-ayat tersebut. [2]
Dari beberapa perbedaan defenisi diatas
dapat disimpulkan bahwa tafsir ilmi adalah upaya menafsirkan ayat-ayat al-Quran
yang dikolerasikan dengan ilmu-ilmu pengetahuan (ilmu eksperimen) guna
mengungkapkan kemukjizatan al-Quran.[3]
B. Perkembangan
Tafsir Ilmi
Pada
awal Islam belum banyak muslim yang menguasai ilmu tulis dan baca, sedangkan
al-Quran yang turun di tengah mereka merupakan mukjizat Nabi Muhammad yang
selalu mengajak mereka untuk menuntut ilmu, membangkitkan mereka dari tidur
diatas ranjang kejahilah. Ayat-ayat al-Quran banyak mengajak umat Muhammad
untuk menggunakan akal pikiran serta mendalami tanda-tanda kebesaran Allah pada
penciptaan langit dan bumi. [4]
Abad
pertama hijrah yaitu saat pembukaan kota-kota Islam telah mengenalkan muslimin
kepada nuansa pemikiran baru, berbaur dengan umat agama lain yang memiliki
latar belakang pemikiran berbeda, dengan demikian terjadilah proses asimilasi
di antara mereka, tukar menukar kebudayaan juga merupakan hal yang dapat
menambah khazanah kebudayaan umat saat itu seperti, dengan Yunani, Romawi, Iran
(Persia) dan sebagainya.[5]
Perkembangan ini terus berjalan hingga pada masa kajayaan Islam
dan bani Abbasiyah di Iraq. Salah seorang raja terkenal dinasti ini adalah
Harun al-Rasyid yaitu seorang yang memiliki komitmen tinggi terhadap ilmu
pengetahuan, di masanya banyak ilmu pengetahuan diterjemahkan dari bahasa asing
ke dalam bahasa Arab seperti ilmu kedokteran, matematika, astronomi, biologi,
fisik, dan filsafat. [6]
Tidak hanya mentransfer ilmu pengetahuan dari luar saja, umat
Islam saat itu bahkan dapat mengembangkan pengetahuan melebihi dari apa yang
didapatkan, mereka dapat mengarang buku dan menguraikan apa yang belum pernah
dipahami oleh orang-orang terdahulu. [7]
Pada abad ketiga hijrah perkembangan ilmu pengetahuan dapat
dibuktikan dengan munculnya buku-buku karya ilmuan-ilmuan muslim seperti :
al-Qanûn (cannon) dalam bidang kedokteran karya Ibn Sina (Avicena), dalam
bidang filsafat buku Ihsha' al-Ulum karya al-Farabî yang dikenal dengan gelar
al-mu'allim al-tsânî setelah filosuf Yunani Aristoteles.[8]
Begitu pesat perkembangan ilmu pengetahuan dikalangan umat,
membangkitkan ulama-ulama muslim untuk melindungi agamanya, mereka membatasi
pergerakan pengetahuan yang bertentangan dengan agama saat itu dengan mengemukakan
dua cara:
a. Menolak pemikiran menyimpang dan sesat dari ilmu pengetahuan, hal
ini disebabkan pemikiran filsafat yang berasal dari Yunani banyak berlandaskan
keilmuan yang tidak benar, bertentangan dengan akidah Islam. Mengantisipasi hal
yang demikian terbitlah buku Tahâfut al-Falâsifah karya Abu Hâmid al-Ghazalî.
b. Meski demikian masih ada terdapat kesesuaian ilmu Yunani dengan
ayat-ayat al-Quran, hal ini malah memperkuat validitas mukjizat Muhammad.
Seperti yang dikatakan oleh filosuf Yunani tentang tujuh macam Planet dalam
ilmu astronomi, yang kemudian dalam penafsiran al-Quran disebut dengan
al-samâwât al-sab'u (tujuh tingkatan langit). [9]
Perkembangan tafsîr ilmî ini berlangsung selama beberapa periode,
akan tetapi para ulama tafsir membaginya ke dalam tiga priode perkembangan tafsîr
ilmî, yaitu:
1.
Priode Pertama di mulai
dari abad kedua hingga kelima hijrah, berbarengan dengan penerjemahan buku-buku
peninggalan Yunani ke dalam bahasa Arab. Para ulama Muslim seperti Ibn Sina
(Avicena) yang berusaha mendalami kesesuaian sebagian ayat-ayat al-Quran
terhadap teori-teori Ptolemeus.
2.
Priode Kedua yang dimulai
dari abad ke enam hijrah, yaitu ketika ulama-ulama Muslim mulai berusaha untuk
memisahkan ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani dari ajaran al-Quran al-Karim,
demikian itu disebabkan adanya dakhil terhadap ajaran Islam. Diantara pelopor
gerakan ini adalah Abu Hâmid al-Ghazâlî.
3.
Priode Ketiga dimulai
sejak abad kedelapan belas Masehi, yaitu masa perkembangan ilmu pengetahuan di
Eropa, pada masa ini banyak terdapat buku-buku yang diterjemahkan ke dalam
bahasa Eropa seperti fisika, kimia dan kedokteran. Perkembangan ilmu
pengetahuan ini berdampak adanya pemisahan antara ilmu pengetahuan dan agama
yang dianut oleh masyarakat Eropa saat itu. Teori-teori pengetahuan yang
ditemukan oleh ilmuan barat selalu berseberangan dengan pendapat gereja
sehingga tidak sedikit dari mereka yang harus mati di tiang gantungan.
Buku-buku agama menurut mereka hanya berisikan khisah tahayul dan doktrin yang
tidak masuk akal menjadikan mereka terkungkung dalam kebodohan. [10]
Perkembangan ini membawa dampak yang besar di belahan dunia Islam
dan muslimin. Para ulama dituntut untuk menjaga otentisitas ajaran agama yang
tidak bertentangan dengan ilmu pengetahuan. Mereka mengembangkan tafsir ilmi
guna membuktikan kemukjizatan al-Quran. Terbukti bahwa Islam dapat menjawab
segala tantangan yang ada.[11]
Kegiatan menafsirkan al-Quran dengan menggunakan ilmu eksperimen
telah menghasilkan buku-buku tafsir ilmi yang menjadi rujukan, namun demikian
tidak menutup kemungkinan perkembangan ini menyebabkan adanya pergeseran fungsi
al-Quran sebagai kitab petunjuk (hidayah) menjadi kitab ilmu pengetahuan yang
ditakwilkan oleh sebagian mufassir yang terpengaruh oleh kebudayaan asing,
sehingga penafsiran disandarkan kepada ra'yi (pendapat murni) dan keluar dari
kaidah-kaidah penafsiran yang benar. Kejadian ini menjadi problem baru bagi
perkembangan ilmu tafsir, ulama-ulama tafsir di Mesir dan Syam terdorong untuk
menentukan posisi tafsir ilmi yang benar dari tafsir-tafsir ilmi yang salah. [12]
C. Pandangan Para Mufassir Terhadap Tafsir 'Ilmi
Dengan perkembangan ilmu pengetahuan mengantar ulama-ulama Islam
kepada perbedaan pandangan terhadap perkembangan tafsir ilmi. Diantara mereka
ada yang membenarkan tafsir ini dan ada yang tidak, ada juga kelompok ketiga
yaitu kelompok pertengahan yaitu kelompok yang membuat pengecualian dengan
syarat tertentu. Kelompok ulama yang mendukung keberadaan tafsir ilmi di
antaranya:
1.
Imam Abu Hamid al-Ghazali (w.
505 H), ia menyakini adanya ilmu pengetahuan di dalam al-Quran, dia mengutip
pendapat ulama bahwa al-Quran itu mencakup 77.000.200 ilmu di dalamnya. Setiap
kata mengandung ilmu yang berlipat empat kali, setiap kata al-Quran itu
mengandung makna zahir dan batin. Dan di dalam kitabnya Jawahir al-Quran, dia
menguraikan dalam fasal kelima bahwa ilmu pengetahuan banyak terdapat di dalam
al-Quran seperti : ilmu kedokteran, ilmu astronomi, ilmu alam, ilmu anatomi
tubuh bahkan ilmu sihir berasal dari al-Quran. Banyak contoh lain dari al-Quran
yang ia kolerasikan dengan ilmu-ilmu lain.
2. Imam Fakhruddin al-Râzi (w. 606 H): Seorang ulama tafsir yang
berusaha menyelaraskan masalah-masalah ilmu dengan al-Quran, Ia menggunakan
dalil bumi itu diam, dengan ayat Qs. al-Baqarah: 22 : "alladzî ja'ala
lakum ul-ardha firâsya" (yang telah menciptakan bagimu bumi sebagai
hamparan), Dalam uraian ayat ini ia berusaha mendiskusikan pendapat-pendapat
astronom lama seperti Ptolemeus dari barat, dan ulama-ulama India, China, Mesir
kuno, Babilonia, Romawi dalam menafsirkan ayat Qs. Al-Baqarah: 164,
3.
Jalaluddin al-Suyûtî (w. 911
H): Seorang ulama dan penulis buku al-Itqân fî ulûm al-Quran, ia berkeyakinan
bahwa al-Quran itu mencakup seluruh ilmu pengetahuan termasuk ilmu tentang ajal
Rasulullah saw.. Ia memberi contoh ayat al-Quran surah al-Munâfiqûn: "wa
lan yuakhkhir Allâhu nafsan idzâ jâ-a ajaluhâ" (Allah tidak akan menunda
kematian satu jiwapun jika ajalnya sudah datang) ayat ini adalah ayat ke 11
surah al-Munafiqûn, yaitu surah yang ke 63, menurutnya ini memberitakan bahwa
umur Nabi saw. berjumlah 63 tahun sudah diuraikan jauh sebelum nabi meninggal
dunia (Jalaludin, 1407H : 271-282).
4.
Allamah al-Majlisi (w. 1111
H). Seorang ulama Syiah yang mengarang kitab "Bihâr al-Anwâr", di
salah satu bagian dari kitabnya ini ia menguraikan tafsir ilmi, dan tidak
adanya pertentangan pada kata "al-samâwât al-sab'u" (tujuh langit)
dalam al-Quran surah al-Baqarah: 29, dengan ilmu astronomi tentang
"al-aflâk al-tis'ah" (sembilan planet). Karena yang dimaksud dengan
"aflâk" sembilan menurut bahasa al-Quran disini adalah kursi atau
arsy dan bukan langit (Muhammad Baqir, 1358H: 5). [13]
Mereka yang menyetujui tafsir ilmi telah berusaha untuk mengangkat
ilmu pengetahuan dari al-Quran, dan tetap berpendapat bahwa dalil-dalil al-Quran
itu meliputi seluruh ilmu pengetahuan yang dapat dicapai dengan cara perenungan
terhadap ayat-ayatnya yang dikolerasikan dengan berbagai ilmu. Atau cara
sebaliknya yang mereka lakukan untuk membuktikan bahwa al-Quran itu selaras
dengan perkembangan ilmu pengetahuan yaitu dengan menarik teori-teori ilmu
pengetahuan yang dikolerasikan dengan ayat-ayat al-Quran. [14]
Namun demikian ada juga di antara ulama yang tidak setuju dengan
adanya tafsir ilmi ini, mereka itu diantaranya adalah:
1. Abu Ishaq al-Syâtibî (w. 790 H) seorang ahli fiqh Andalusia
bermadzhab Maliki, beralasan bahwa ilmu pengetahuan sebenarnya sudah dikenal
oleh masyarakat Arab sebelum al-Quran diturunkan, seperti: ilmu astronomi, ilmu
meteorologi dan geofisika, ilmu kedokteran, ilmu retorik, ilmu ramal dan
perdukunan. Sedangkan agama Islam telah membagi ilmu pengetahuan itu menjadi
dua bagian yaitu ilmu yang benar dan ilmu yang sesat, serta Islam sudah
menguraikan manfaat dan bahaya dari ilmu-ilmu itu. Hubungan antara ilmu
pengetahuan dan al-Quran, al-Syatibi menambahkan bahwa ulama-ulama terdahulu
(salaf) tidak pernah mengolerasikan ilmu-ilmu pengetahuan dengan al-Quran, dan
tujuan diturunkan al-Quran untuk menguraikan hukum-hukum dan segala yang
berkenaan dengan akhirat.
Dengan itu al-Syatibi membantah penafsiran
orang-orang yang mengakui keberadaan "tafsir ilmi" yang berdalilkan
ayat 89 dari surah al-Nahl : "tibyânan likulli syai' " (pengurai dari
segala sesuatu) dan ayat 38 dari surah al-An'âm : "mâ farrathnâ fî l-kitâbi
min syai' " (tidak ada satupun yang Kami luputkan di dalam kitab) dengan
pendapatnya : bahwa kata kullu syai' pada ayat diatas tidak berhubungan dengan
ilmu pengetahuan akan tetapi berkaitan dengan taklif (beban syariat) dari Allah
dan ibadah, sedangkan maksud kata al-kitab pada ayat 38 surah al-An'âm diatas
adalah bukan al-Quran akan tetapi lauh al-mahfûzh (Muhammad Husein, 1409H:
489). Maka menurut dia ayat-ayat diatas yang digunakan untuk memperkuat alasan
keberadaan tafsir ilmi tidak tepat.
2.
Al-Syaikh Mahmûd Syaltût (w.
1964 M) seorang syekh al-Azhar, beranggapan bahwa: Sesungguhnya pandangan
tentang tafsir ilmi pada ayat-ayat al-Quran ini adalah salah besar. Al-Quran
diturunkan dan berbicara kepada semua manusia bukan untuk menguatkan
teori-teori keilmuan, karena hal yang demikian dapat mengajak pelakunya
tenggelam kepada penakwilan al-Quran tanpa dilandasi kebenaran dan menafikan
kemukjizatan al-Quran itu sendiri. Selain itu menjadikan al-Quran sibuk
memaparkan ilmu pengetahuan yang saat ini boleh jadi benar akan tetapi belum
tentu dikemudian hari. karena ilmu pengetahuan itu selalu berkembang dan tidak
tetap. [15]
Di tengah perdebatan keabsahan dan tidak tafsir ilmi membuat para
ulama Islam agar lebih selektif melihat jenis-jenis penafsiran yang absah. Di
satu sisi al-Quran telah memberikan jawaban tepat terhadap permasalahan yang
timbul dari perkembangan ilmu pengetahuan, dan keberadaan tafsir ilmi memberi
kotribusi baik bagi pemahaman dan peningkatan keimanan terhadap al-Quran
sebagai pedoman hidup manusia. Di sisi lain penafsiran dengan corak ilmi ini
telah membawa mufassir terperangkap kepada penafsiran bi al-ra'yi (pendapat
murni) yang dapat menjadikan firman Allah itu kehilangan nilai kewahyuannya. [16]
Berkenaan dengan hal ini para mufassir kontemporer dapat memaklumi
keberadaan tafsir ilmi. Mereka lebih moderat dalam menyikapi perkembangan ilmu
pengetahuan yang dikolerasikan dengan teks-teks al-Quran. Di antara mereka itu
ialah:
1.
Muhammad Musthafa al-Maraghi
(w. 1945 M). Salah seorang syekh al-Azhar, Ia berkomentar dalam pengantar buku
al-Islâm wa al-Thibb al-Hadîts karya Abd al-'Aziz Ismail, pendapatnya: al-Quran
bukanlah kitab suci yang mencakup segala ilmu pengetahuan secara terperinci
dengan metode pengajarannya yang terkenal, akan tetapi sesungguhnya al-Quran
itu meliputi kaidah dasar umum yang sangat urgen untuk diketahui oleh setiap
manusia agar dapat mencapai kesempurnaan jiwa dan raga. Menurutnya al-Quran
telah membuka pintu yang luas bagi ahlinya untuk menguasai berbagai ilmu
pengetahuan agar dapat diuraikan kepada semua orang secara terperinci, sesuai
dengan zaman sang mufassir itu hidup. Akan tetapi ia mengingatkan tidak
dibolehkan bagi seorang mufassir menarik ayat-ayat al-Quran kemudian
menggunakannya untuk menguraikan kebenaran ilmu pengetahuan, atau sebaliknya menarik
ilmu pengetahuan untuk menafsirkan ayat-ayat al-Quran, akan tetapi jika
terdapat kesesuaian antara ilmu pengetahuan yang sudah tetap dan pasti dengan
zahir ayat-ayat al-Quran maka tidak mengapa menafsirkan al-Quran dengan bantuan
ilmu pengetahuan ini.
2.
Ahmad Umar Abu Hajar penulis
buku al-Tafsîr al-'Ilmiy fî al-Mîzân. Ia mengungkapkan alasannya setelah
memperhatikan perbedaan pendapat para ulama terhadap tafsir ilmi, dan
menurutnya mereka yang beranggapan bahwa al-Quran jauh dari pada tafsir ilmi
telah melakukan suatu kebenaran jika tafsir yang dimaksud berlandaskan pada
ilmu pengetahuan yang bersifat perkiraan dan tidak pasti atau ilmu itu hanya
berlandaskan pendapat murni tanpa bukti otentik penelitian ilmiyah, akan tetapi
jika berlandaskan ilmu yang sudah pasti kebenarannya maka tidak ada halangan
untuk mengambil manfaat kebenaran ilmu ini guna menjelaskan al-Quran. Dia juga
menambahkan bahwa al-Quran merupakan kalam Allah, sedangkan alam adalah bagian
dari ciptaan-Nya, maka pasti ayat-ayat al-Quran tidak bertentangan dengan
kebenaran ilmu pengetahuan.
3. Ayatullah Makarem al-Syirâzî salah seorang mufassir Iran
bermadzhab Syiah Imamiyah. Ia termasuk ulama yang moderat dalam menanggapi
keberadaan tafsir ilmi ini. Dalam bukunya tafsir al-amtsâl ia menggunakan
sebagian tafsir ilmi untuk mengungkapkan kemukjizatan al-Quran dari sisi
keilmuannya. Ia beranggapan bahwa ilmu pengetahuan saat ini telah mengambil
posisinya dalam menafsirkan al-Quran, dan yang dimaksud ilmu disini adalah ilmu
yang sudah pasti dan tidak berubah dengan perubahan zaman. Ilmu yang selalu
berubah menurutnya tidak dapat menjelaskan al-Quran yang sudah tetap. Adapun
ilmu pengetahuan seperti ilmu biologi dan astronomi yang mengkaji alam dan
pergerakan bumi menurutnya adalah jenis ilmu yang telah terbukti kebenarannya
dan sudah tetap, jenis ilmu inilah yang dapat diterima untuk menguraikan
al-Quran.
4.
Ayatullah Ja'far Subhani,
salah seorang mufassir yang moderat dalam menanggapi keberadaan tafsir ilmi. Ia
menetapkan syarat seorang mufassir itu harus memperhatikan teori-teori keilmuan
guna membuka pemikiran luas manusia untuk mencapai pemahaman yang dinamis
tehadap ayat-ayat al-Quran. Menurutnya: ilmu-ilmu pengetahuan ini dicapai oleh
karena kekuatan pikiran filsafat, keilmuan manusia dan terbukanya pemahaman
mufassir sehingga memberikan kemampuan sempurna untuk mengambil manfaat dari
ayat-ayat al-Quran. Akan tetapi tidak bermaksud untuk menafsirkan ayat-ayat
al-Quran menggunakan ilmu filsafat Yunani atau Islam, atau menafsirkan
ayat-ayat al-Quran menggunakan ilmu-ilmu modern yang belum pasti kebenarannya
lalu mencocok-cocokkannya dengan al-Quran, tidak. Karena hal seperti ini
dianggap sebagai jenis tafsir bi al-ra'yi (tafsir dengan pendapat murni) yang
sudah jelas dilarang oleh agama dan tidak sejalan dengan akal. [17]
Pendapat para mufassir kontemporer moderat di atas menghasilkan
beberapa kriteria untuk tafsir ilmi yang diakui keberadaannya. Setidaknya ada
dua kriteria yang dapat dijadikan pedoman yaitu kriteria umum dan khusus.
Kriteria
Umum yaitu yang harus dimiliki oleh setiap mufassir diantaranya:
a.
Bagi seorang mufassir harus menguasai
segenap ilmu yang biasa digunakan dalam menafsirkan ayat-ayat al-Quran seperti:
ilmu bahasa, ilmu kondisi turunnya ayat (asbab al-nuzûl), ilmu sirah nabi
Muhammad dalam batasan yang berkaitan dengan ayat-ayat al-Quran, ilmu nasikh wa
mansukh al-ayat, mengetahuai hadis dan ilmu hadis serta menguasai kaidah dasar
hukum (ushul) dan ilmu fiqh, Menguasai kaidah-kaidah ilmu pengetahuan sosial
dan ilmu pasti serta mengetahuai pendapat-pendapat para filosuf, menjauhi diri
dari bertaklid kepada pendapat para mufassir yang menggunakan ra'yi (pendapat
murni).
b.
Hendaklah bagi seorang mufassir
memperhatikan tafsir al-Quran yang diakui. Seperti : menggunakan metode yang
benar, tidak menghilangkan sunnah nabi dan menghindari dari pengaruh pemikiran
yang sesat, dan hendaklah penafsiran tidak bertentangan dengan hukum akal atau
ayat-ayat al-Quran yang lain dengan merujuk kepada sumber-sumber tafsir yang
benar.
c.
Hendaklah seorang mufassir selalu membandingkan segala sesuatu yang dapat
dijadikan pelajaran dengan dalil-dalil naqli dan aqli sebelum ia menafsirkan
ayat-ayat.[18]
D. Contoh
Tafsir ‘Imi
1. Penciptaan
Alam Semesta
QS. Al-An’am : 101
ßìƒÏ‰t/
ÏNºuq»yJ¡¡9$#
ÇÚö‘F{$#ur
( 4’¯Tr&
ãbqä3tƒ
¼çms9
Ó$s!ur
óOs9ur
`ä3s?
¼ã&©!
×pt6Ås»|¹
( t,n=yzur
¨@ä.
&äóÓx«
( uqèdur
Èe@ä3Î/
>äóÓx«
×LìÎ=tæ
ÇÊÉÊÈ
Artinya : “Dia Pencipta langit dan bumi.
bagaimana Dia mempunyai anak Padahal Dia tidak mempunyai isteri. Dia
menciptakan segala sesuatu; dan Dia mengetahui segala sesuatu”
QS. Al-Ankabut : 44
t,n=y{
ª!$#
ÏNºuq»yJ¡¡9$#
uÚö‘F{$#ur
Èd,ysø9$$Î/
4 žcÎ)
’Îû
šÏ9ºsŒ
ZptƒUy
šúüÏZÏB÷sßJù=Ïj9
ÇÍÍÈ
Artinya : “ Allah menciptakan langit dan bumi
dengan hak. Sesungguhnya
pada yang demikian itu terdapat
tanda-tanda kekuasaan Alla
bagi orang-orang mukmin.
Informasi yang diberikan
al-Qur’an ini sepenuhnya sesuai dengan temuan sains masa kini. Harun Yahya
sebagai ilmuwan kontemporer berpendapat bahwa kesimpulan yang dicapai
astrofisika saat ini adalah bahwa seluruh alam semesta, bersamaan dengan
dimensi dan waktu, muncul sebagai akibat dari ledakan besar yang terjadi dalam
ketiadaan waktu,. Peristiwa ini, yang dikenal sebagai “Big Bang”, membuktikan
bahwa alam semesta telah diciptaka ketiadaan sebagai hasil ledakan satu titik
tunggal. Kalangan ilmu moderen sependapat bahwa “Big Bang” adalah satusatunya
untuk permulaan dan penciptaan alam semesta.
2. Meluasnya
Alam Semesta
QS. Az-Zariat : 47
uä!$uK¡¡9$#ur $yg»oYø‹t^t/
7‰&‹÷ƒr'Î/
$¯RÎ)ur
tbqãèÅ™qßJs9
ÇÍÐÈ
Artinya : “Dan langit itu Kami bangun
dengan kekuasaan (Kami) dan Sesungguhnya Kami benar-benar berkuasa”[19]
Para ahli tafsir menafsirkan berbeda
beda pada lafad “wa inna lamusi’un” Ibnu Abbas menafsirkannya sebagai
“laqdirun” artimya yang kuasa, ada juga yang menafsirkannya dengan “ladzu
sa’ah” (yang mempunyai keluasan), maksudnya Allah tidak akan kesulitan untuk
menciptakan langit atau yang lain yang diinginkannya, dan ada pula yang
mengartikan sebagai “lamusi’un ar-rizqi ‘ala kholiqina” artinya Allah adalah
yang meluaskan rizqi atas makhluknya.
Harun Yahya dalam bukunya menjelaskan
kata langit. Menurut beliau, kata langit, seperti yang dinyatakan dalam ayat
diatas, digunakan di berbagai tempat dalam al-Qur’an dengan arti ruang angkasa
dan alam semesta mengalami perluasan, dan ini tepat sama dengan kesimpulan yang
dicapai saat ini.
E. Kelebihan dan Kekurangan Tafsir Ilmi
Pada era
perkembangan ini, arah perdebatan banyak berkutat pada sekitar persoalan apakah
ilmu pengetahuan non-Islam dan non-Arab dari Barat dapat diterima dikalangan
muslim, atau apakah pemakaian mesin-mesin teknik Eropa diperbolehkan menurut
hukum Islam dan sebagainya. Ada juga yang berupaya mengembalikan kejayaan Islam
dalam mengembangkan berbagi ilmu pengetahuan, juga kondisi ekonomi,
sosial dan politik sebagaimana periode keemasan Islam pada masa dinasti
Abbasiyah sebagai bentuk upaya menyaingi kemajuan teknologi Barat dan Eropa.
Lebih jauh,
Muhammad Abduh sebagaimana dikutip Ignaz Golziher menyatakan bahwa kajian
terhadap berbagai ilmu pengetahuan merupakan tujuan utama dalam bentuk praksis
yang terkait langsung dengan posisi politik dunia Islam. Menurutnya memerangi
kelompok non-muslim adalah sebuah kewajiban ketika dunia Islam diperangi. Hal
itu hanya dapat diwujudkan melalui sistem pertahanan dan militer yang kuat
termasuk persenjataan yang memadai, semisal penangkal rudal, kapal-kapal
perang, tank dan sebagainya yang memerlukan pengetahuan-pengetahuan modern.
Dengan asumsi bahwa tidak mungkin al-Qur’an mengandung suatu ajaran yang
bertentangan dengan hakekat ilmu pengetahuan, maka menafsirkan al-Qur’an
terbebas dari aturan-aturan dan hukum-hukum klasik dan mengembangkan teknologi
secara mandiri adalah sebuah keniscayaan bagi dunia Islam.[20]
Dari sekilas pembacaan di atas,
gagasan-gagasan yang berupaya menghubungkan atau mencari relevansi antara
berbagai ilmu pengetahuan dengan pemahaman atau penafsiran al-Qur’an terus
mengalami perkembangan hingga abad 14 H/ 20 M dengan berbagai motivasi dan
latar belakang.
Sayangnya
perhatian intelektual Islam terhadap pemikiran-pemikiran tersebut sangat minim,
sementara di sisi lain kebutuhan terhadap ilmu pengetahuan seperti yang
ditunjukkan dalam ayat-ayat yang berbicara tentang hewan, tumbuh-tumbuhan,
langit dan bumi juga tidak bisa dinafikan disamping kebutuhan terhadap hukum
dan sebagainya.[21]
Salah satu
tokoh yang kontra dengan penafsiran model ini adalah Abu Ishaq as-Syatibi (w.
790 H/ 1388 M), menurutnya al-Qur’an diturunkan mempertimbangkan kemaslahatan
penerimanya dengan menunjukkan berbagai ilmu yang berguna dan mampu diterima
oleh rasionalitas masyarakat Arab waktu itu. Syari’at tersebut menyempurnakan
hal-hal yang telah ada sebelumnya dan membatalkan yang batil di dalamnya,
termasuk menjelaskan yang bermanfaat dan yang tidak bermanfaat bagi mereka.
Menurut as-Syatibi, ramal dan perdukunan merupakan pengetahuan yang tergolong
batil. Sementara di antara ilmu-ilmu yang bermanfaat bagi masyarakat Arab waktu
itu, diantaranya:
1. Astronomi
“QS. al-An’am (6): 97, QS. an-Nah}l (16): 16, QS. Yasin (36): 39-40, QS. Yunus
(10): 5, QS. al-Isra’ (17): 12, QS. al-Mulk (67): 5, QS. al-Baqarah (2): 189”
yang dapat menjadi petunjuk di darat dan laut, perbedaan waktu dan yang
berhubungan.
2. Meteorologi
“QS. ar-Ra’d (13): 12-13, QS. al-Waqi’ah (56): 68-69, QS. Fatir (35): 9” untuk
mengetahui peralihan musim, waktu turunnya hujan, terjadinya awan, angin ribut.
3. Sejarah “QS.
Ali ‘Imran (3): 44, QS.Hud (11): 49” untuk mengetahui informasi umat terdahulu.
Senada dengan hal
itu, Az-Zahabi juga menunjukkan beberapa kelemahan dalam dalam penafsiran
model tafsir ilmi ini, diantaranya:
1. Aspek
Bahasa: Bahasa selalu mengalami perkembangan, sehingga sebuah kata tidak hanya
memiliki satu makna akan tetapi memiliki berbagai makna termasuk penggunaannya
dari waktu ke waktu. Meskipun demikian, pada umumnya ayat-ayat al-Qur’an
dipahami dengan tetap memperhatikan latar belakang pemaknaan pada saat ayat itu
turun, yang di antaranya diketahui melalui informasi para Sahabat dan
masyarakat Arab pada waktu itu. Memperluas pemaknaan sebuah ayat dengan
istilah-istilah baru sains tanpa memperhatikan latar belakang pemaknaan,
sementara hal itu tidak pernah dikenal sebelumnya dinilai merupakan sesuatu
yang tidak rasional.
2. Aspek
Retoris: Al-Qur’an dikenal memiliki nilai dan kualitas retorika yang tinggi
sehingga selalu terdapat korelasi dalam sebuah ayat dengan ayat-ayat yang
lainnya termasuk dari aspek pemaknaannya. Adanya anggapan bahwa al-Qur’an
mencakup seluruh ilmu pengetahuan, bahkan mengaitkan ayat-ayat al-Qur’an dengan
istilah-istilah sains dan ilmu pengetahuan tanpa memperhatikan korelasinya
dengan ayat-ayat yang lain adalah sesuatu yang mengurangi ketinggian nilai
al-Qur’an.
3. Aspek
Aqidah: Al-Qur’an adalah kebenaran mutlak yang diturunkan kepada seluruh
manusia secara sempurna, tidak akan pernah lekang dimakan waktu sehingga selalu
dapat di dipahami dan diaplikasikan sepanjang masa. Sementara kebenaran temuan
ilmiah adalah sesuatu yang bersifat tentatif dan relatif, dalam arti bahwa
teori-teori sains tersebut dapat diruntuhkan oleh teori lain sebagaimana
dikenal dalam dunia saintifik. Mensejajarkan ayat-ayat al-Qur’an dengan teori
dan temuan-temuan saintifik dengan demikian merupakan sesuatu yang tidak bisa
diterima karena jika teori-teori tersebut runtuh maka kebenaran al-Qur’an
seolah-olah juga runtuh.[22]
BAB III
KESIMPULAN
Dengan
munculnya berbagai ilmu pengetahuan dan semakin meningkatnya ilmu pengetahuan
tersebut, baik ilmu kealaman maupun ilmu sosial menuntut kita agar memahami dan
menafsirkan al-Qur’an tidak hanya secara harfiah saja, tetapi haruslah dengan
cara pendekatan teoritis. Demikian halnya ketika kita memahami dan menafsirkan
al-Qur’an yang dianggap sebagai realitas, sebagai wujud ketentuan-ketentuan
Tuhan yang pasti dan jelas tertulis.
DAFTAR
PUSTAKA
Juhaya, Tafsir Hikmah, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2000
Ignaz Goldziher, Mazahib
at-Tafsir al Islam terj. ‘Abdul Halim an-Najar Mesir: Maktabah al-Khanji,
1955
Manna’
al-Qattan, Mabahis fi ‘Ulum al-Qur’an Kairo: Maktabah Wahbah,
2000
Yuliarto Udi, “Al- Tafsîr Al-' Ilmî Antara Pengakuan Dan
Penolakan”, Vol. 1 No. 1, 2011
Muhammad
Husain az-Zahabi, at-Tafsir wa al-Mufassirun Beirut: Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1976, Jilid II
PERTANYAAN
1.
Riki
Tafsir
ilmi di perbolehkan di lihat dari sisi apa?
2.
Tia
Penafsiran
dari ayat tersebut?
3.
Tanti
Bagaimana
kita sebagai umat islam apabila al-Qur’an di teliti oleh non muslim? Apakah
boleh?
[1]
Juhaya S Praja, Tafsir Hikmah, PT Remaja Rosdakarya, Bandung,
2000, hlm. 18
[19]
Markanefendi.blogspot.co.id/2017/03/tafsir-ilmi-html
[20]
Ignaz
Goldziher, Mazahib at-Tafsir al Islam terj. ‘Abdul Halim
an-Najar (Mesir: Maktabah al-Khanji, 1955), hlm. 381.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar