Minggu, 19 Mei 2019

Tafsir ilmi


BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Perkembangan kajian terhadap ayat-ayat al-Quran mendorong timbulnya corak baru terhadap tafsir al-Quran. Satu ayat al-Quran menafsirkan ayat yang lain disepakati oleh para ulama sebagai jenis penafsiran yang terbaik. Cikal bakal ilmu ini sebenarnya telah ada sejak zaman nabi dan para sahabat masih hidup seperti; Pertanyaan sahabat kepada Rasulullah tentang kata "zhulm" dalam firman Allah: "alladzîna âmanû wa lam yalbisû îmânahum bi zhulmin ulâ-ika lahumu-l- amnu wa hum muhtadûn" (orang-orang yang beriman dan tidak menodai keimanannya dengan kezaliman maka mereka akan mendapat ketenangan dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk) [Qs. Al-An'âm: 82], pertanyaan mereka diperkuat dengan pendapat mereka bahwa setiap manusia pasti pernah berbuat kezaliman: "Siapa di antara kami yang tidak pernah berbuat zalim ?". Menjawab pertanyaan ini Rasulullah membacakan ayat al-Quran berkenaan nasehat Luqman kepada anaknya: "yâ bunayya lâ tusyrik billâhi inna sy-syirka lazhulmun 'azhîm" (wahai anakku janganlah engkau menyekutukan Allah! Sesungguhnya syirik adalah kazaliman yang besar) [Qs. Luqman: 13]. Makna kezaliman yang dipertanyakan sahabat disini adalah syirik.  
Jenis penafsiran di atas menambah khazanah dan inspirasi ulama-ulama muslim untuk mengembangkan ilmu tafsir, diantara mereka ada yang memfokuskan pada tema tertentu dari tema yang ada pada al-Quran atau tema lain seperti tema-tema kehidupan, kemudian mengumpulkan dan menyusun ayat-ayatnya sesuai asbab nuzul jika ada. Kemudian melakukan penafsiran terhadap ayat-ayat tersebut dengan melihat korelasi antara ayat, penafsiran jenis ini dikenal dengan nama al-tafsîr al-mawdhû'î \/al-tafsîr al-tawhîdî (tafsir tematik atau tafsir penyatuan).


Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan pengkajian ayat-ayat al-Quran tidak berhenti pada pembahasan tafsir tematik semata, tema kemukjizatan al-Quran misalnya yang dikolerasikan dengan perkembangan ilmu pengetahuan menjadi corak tersendiri dalam ilmu tafsir, yang dinamakan dengan tafsir 'ilmi.
Dalam makalah ini kami mencoba untuk menjelaskan mengenai pengertian tafsir ilmi, bagaimana perkembangan tafsir ilmi, bagaimana pandangan para ahli mufassir terhadap tafsir ilmi, contoh ayat al-Qur’an yang mengandungan tafsir ilmi, dan apa saja kelebihan dan kekurangan dari tafsir ilmi. 
B.  Rumusan Masalah
1.   Apa pengertian tafsir Ilmi ?
2.   Bagaimana Perkembangan tafsir ilmi ?
3.   Bagaimana Pandangan Para Mufassir Terhadap Tafsir 'Ilmi ?
4.   Bagaimana Contoh ayat al-Qur’an dengan tafsir Ilmi ?
5.   Apa saja kelebihan dan kekurangan dari tafsir Ilmi ?

C.  Tujuan
1.   Untuk mengetahui pengertian tafsir Ilmi
2.   Untuk mengetahui Perkembangan tafsir ilmi
3.   Untuk mengetahui Pandangan Para Mufassir Terhadap Tafsir 'Ilmi
4.   Untuk mengetahui Contoh ayat al-Qur’an dengan tafsir Ilmi
5.   Untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan dari tafsir Ilmi







D.  Sistematis Penulisan
Makalah ini tersusun atas tiga bab yaitu:
1.     BAB I pendahuluan yang terdiri dari:
a.      Latar Belakang
b.     Rumusan Masalah
c.      Tujuan
d.     Metode
2.     BAB II yang terdiri dari pembahasan.
3.     BAB III yang terdiri dari kesimpulan.










BAB II
PEMBAHASAN
A.  Pengertian Tafsir Ilmi
Tafsir ilmi ialah tafsir yang memperkenalkan istilah-istilah ilmiah dari al-Qur’an dan ditandai dengan adanya usaha untuk menggali aneka ilmu dan pandangan filsafat dari al-Qur’an. Bagi pendukung tafsir ilmiah, al-Qur’an mengandung berbagai ilmu yang meliputi ilmu-ilmu agama, teologi, dan ilmu-ilmu praktis serta ilmu-ilmu lainnya yang beraneka ragam. [1]
Sedangkan makna "tafsir 'Ilmi" secara terminologi para ulama mengungkapkan beberapa pendapat diantaranya adalah:
1.   Menurut Fahd al-Rumi "tafsir ilmi" yaitu: Ijtihad seorang mufassir dalam menemukan hubungan antara ayat-ayat kauniyah (kosmos) al-Quran dengan penemuan ilmu-ilmu eksperimen yang bertujuan untuk mengungkapkan kemukjizatan al-Quran sebagai sumber ilmu yang sesuai dan sejalan di setiap waktu dan tempat.
2.   Menurut Abd al-Rahmân al-'Ik "tafsir ilmi" yaitu : Tafsir al-Quran yang berlandaskan uraian dan keterangan isyarat al-Quran yang menunjukkan keagungan Allah swt. dalam mengatur ciptaan-Nya.
3.   Menurut Muhammad Husein al-Dzahabi "tafsir ilmi" yaitu : Tafsir yang dilakukan untuk menentukan istilah-istilah keilmuan dalam ayat-ayat al-Quran dan berijtihad guna memunculkan beberapa ilmu dan pandangan filsafat dari ayat-ayat tersebut. [2]
Dari beberapa perbedaan defenisi diatas dapat disimpulkan bahwa tafsir ilmi adalah upaya menafsirkan ayat-ayat al-Quran yang dikolerasikan dengan ilmu-ilmu pengetahuan (ilmu eksperimen) guna mengungkapkan kemukjizatan al-Quran.[3]
B.  Perkembangan Tafsir Ilmi
Pada awal Islam belum banyak muslim yang menguasai ilmu tulis dan baca, sedangkan al-Quran yang turun di tengah mereka merupakan mukjizat Nabi Muhammad yang selalu mengajak mereka untuk menuntut ilmu, membangkitkan mereka dari tidur diatas ranjang kejahilah. Ayat-ayat al-Quran banyak mengajak umat Muhammad untuk menggunakan akal pikiran serta mendalami tanda-tanda kebesaran Allah pada penciptaan langit dan bumi. [4]
Abad pertama hijrah yaitu saat pembukaan kota-kota Islam telah mengenalkan muslimin kepada nuansa pemikiran baru, berbaur dengan umat agama lain yang memiliki latar belakang pemikiran berbeda, dengan demikian terjadilah proses asimilasi di antara mereka, tukar menukar kebudayaan juga merupakan hal yang dapat menambah khazanah kebudayaan umat saat itu seperti, dengan Yunani, Romawi, Iran (Persia) dan sebagainya.[5]
Perkembangan ini terus berjalan hingga pada masa kajayaan Islam dan bani Abbasiyah di Iraq. Salah seorang raja terkenal dinasti ini adalah Harun al-Rasyid yaitu seorang yang memiliki komitmen tinggi terhadap ilmu pengetahuan, di masanya banyak ilmu pengetahuan diterjemahkan dari bahasa asing ke dalam bahasa Arab seperti ilmu kedokteran, matematika, astronomi, biologi, fisik, dan filsafat. [6]
Tidak hanya mentransfer ilmu pengetahuan dari luar saja, umat Islam saat itu bahkan dapat mengembangkan pengetahuan melebihi dari apa yang didapatkan, mereka dapat mengarang buku dan menguraikan apa yang belum pernah dipahami oleh orang-orang terdahulu. [7]




Pada abad ketiga hijrah perkembangan ilmu pengetahuan dapat dibuktikan dengan munculnya buku-buku karya ilmuan-ilmuan muslim seperti : al-Qanûn (cannon) dalam bidang kedokteran karya Ibn Sina (Avicena), dalam bidang filsafat buku Ihsha' al-Ulum karya al-Farabî yang dikenal dengan gelar al-mu'allim al-tsânî setelah filosuf Yunani Aristoteles.[8]
Begitu pesat perkembangan ilmu pengetahuan dikalangan umat, membangkitkan ulama-ulama muslim untuk melindungi agamanya, mereka membatasi pergerakan pengetahuan yang bertentangan dengan agama saat itu dengan mengemukakan dua cara:
a.    Menolak pemikiran menyimpang dan sesat dari ilmu pengetahuan, hal ini disebabkan pemikiran filsafat yang berasal dari Yunani banyak berlandaskan keilmuan yang tidak benar, bertentangan dengan akidah Islam. Mengantisipasi hal yang demikian terbitlah buku Tahâfut al-Falâsifah karya Abu Hâmid al-Ghazalî.
b.   Meski demikian masih ada terdapat kesesuaian ilmu Yunani dengan ayat-ayat al-Quran, hal ini malah memperkuat validitas mukjizat Muhammad. Seperti yang dikatakan oleh filosuf Yunani tentang tujuh macam Planet dalam ilmu astronomi, yang kemudian dalam penafsiran al-Quran disebut dengan al-samâwât al-sab'u (tujuh tingkatan langit). [9]
Perkembangan tafsîr ilmî ini berlangsung selama beberapa periode, akan tetapi para ulama tafsir membaginya ke dalam tiga priode perkembangan tafsîr ilmî, yaitu:
1.   Priode Pertama di mulai dari abad kedua hingga kelima hijrah, berbarengan dengan penerjemahan buku-buku peninggalan Yunani ke dalam bahasa Arab. Para ulama Muslim seperti Ibn Sina (Avicena) yang berusaha mendalami kesesuaian sebagian ayat-ayat al-Quran terhadap teori-teori Ptolemeus.
2.   Priode Kedua yang dimulai dari abad ke enam hijrah, yaitu ketika ulama-ulama Muslim mulai berusaha untuk memisahkan ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani dari ajaran al-Quran al-Karim, demikian itu disebabkan adanya dakhil terhadap ajaran Islam. Diantara pelopor gerakan ini adalah Abu Hâmid al-Ghazâlî.
3.   Priode Ketiga dimulai sejak abad kedelapan belas Masehi, yaitu masa perkembangan ilmu pengetahuan di Eropa, pada masa ini banyak terdapat buku-buku yang diterjemahkan ke dalam bahasa Eropa seperti fisika, kimia dan kedokteran. Perkembangan ilmu pengetahuan ini berdampak adanya pemisahan antara ilmu pengetahuan dan agama yang dianut oleh masyarakat Eropa saat itu. Teori-teori pengetahuan yang ditemukan oleh ilmuan barat selalu berseberangan dengan pendapat gereja sehingga tidak sedikit dari mereka yang harus mati di tiang gantungan. Buku-buku agama menurut mereka hanya berisikan khisah tahayul dan doktrin yang tidak masuk akal menjadikan mereka terkungkung dalam kebodohan. [10]
Perkembangan ini membawa dampak yang besar di belahan dunia Islam dan muslimin. Para ulama dituntut untuk menjaga otentisitas ajaran agama yang tidak bertentangan dengan ilmu pengetahuan. Mereka mengembangkan tafsir ilmi guna membuktikan kemukjizatan al-Quran. Terbukti bahwa Islam dapat menjawab segala tantangan yang ada.[11]








Kegiatan menafsirkan al-Quran dengan menggunakan ilmu eksperimen telah menghasilkan buku-buku tafsir ilmi yang menjadi rujukan, namun demikian tidak menutup kemungkinan perkembangan ini menyebabkan adanya pergeseran fungsi al-Quran sebagai kitab petunjuk (hidayah) menjadi kitab ilmu pengetahuan yang ditakwilkan oleh sebagian mufassir yang terpengaruh oleh kebudayaan asing, sehingga penafsiran disandarkan kepada ra'yi (pendapat murni) dan keluar dari kaidah-kaidah penafsiran yang benar. Kejadian ini menjadi problem baru bagi perkembangan ilmu tafsir, ulama-ulama tafsir di Mesir dan Syam terdorong untuk menentukan posisi tafsir ilmi yang benar dari tafsir-tafsir ilmi yang salah. [12]
C.  Pandangan Para Mufassir Terhadap Tafsir 'Ilmi
Dengan perkembangan ilmu pengetahuan mengantar ulama-ulama Islam kepada perbedaan pandangan terhadap perkembangan tafsir ilmi. Diantara mereka ada yang membenarkan tafsir ini dan ada yang tidak, ada juga kelompok ketiga yaitu kelompok pertengahan yaitu kelompok yang membuat pengecualian dengan syarat tertentu. Kelompok ulama yang mendukung keberadaan tafsir ilmi di antaranya:
1.       Imam Abu Hamid al-Ghazali (w. 505 H), ia menyakini adanya ilmu pengetahuan di dalam al-Quran, dia mengutip pendapat ulama bahwa al-Quran itu mencakup 77.000.200 ilmu di dalamnya. Setiap kata mengandung ilmu yang berlipat empat kali, setiap kata al-Quran itu mengandung makna zahir dan batin. Dan di dalam kitabnya Jawahir al-Quran, dia menguraikan dalam fasal kelima bahwa ilmu pengetahuan banyak terdapat di dalam al-Quran seperti : ilmu kedokteran, ilmu astronomi, ilmu alam, ilmu anatomi tubuh bahkan ilmu sihir berasal dari al-Quran. Banyak contoh lain dari al-Quran yang ia kolerasikan dengan ilmu-ilmu lain.

2.       Imam Fakhruddin al-Râzi (w. 606 H): Seorang ulama tafsir yang berusaha menyelaraskan masalah-masalah ilmu dengan al-Quran, Ia menggunakan dalil bumi itu diam, dengan ayat Qs. al-Baqarah: 22 : "alladzî ja'ala lakum ul-ardha firâsya" (yang telah menciptakan bagimu bumi sebagai hamparan), Dalam uraian ayat ini ia berusaha mendiskusikan pendapat-pendapat astronom lama seperti Ptolemeus dari barat, dan ulama-ulama India, China, Mesir kuno, Babilonia, Romawi dalam menafsirkan ayat Qs. Al-Baqarah: 164,
3.       Jalaluddin al-Suyûtî (w. 911 H): Seorang ulama dan penulis buku al-Itqân fî ulûm al-Quran, ia berkeyakinan bahwa al-Quran itu mencakup seluruh ilmu pengetahuan termasuk ilmu tentang ajal Rasulullah saw.. Ia memberi contoh ayat al-Quran surah al-Munâfiqûn: "wa lan yuakhkhir Allâhu nafsan idzâ jâ-a ajaluhâ" (Allah tidak akan menunda kematian satu jiwapun jika ajalnya sudah datang) ayat ini adalah ayat ke 11 surah al-Munafiqûn, yaitu surah yang ke 63, menurutnya ini memberitakan bahwa umur Nabi saw. berjumlah 63 tahun sudah diuraikan jauh sebelum nabi meninggal dunia (Jalaludin, 1407H : 271-282).
4.       Allamah al-Majlisi (w. 1111 H). Seorang ulama Syiah yang mengarang kitab "Bihâr al-Anwâr", di salah satu bagian dari kitabnya ini ia menguraikan tafsir ilmi, dan tidak adanya pertentangan pada kata "al-samâwât al-sab'u" (tujuh langit) dalam al-Quran surah al-Baqarah: 29, dengan ilmu astronomi tentang "al-aflâk al-tis'ah" (sembilan planet). Karena yang dimaksud dengan "aflâk" sembilan menurut bahasa al-Quran disini adalah kursi atau arsy dan bukan langit (Muhammad Baqir, 1358H: 5). [13]



Mereka yang menyetujui tafsir ilmi telah berusaha untuk mengangkat ilmu pengetahuan dari al-Quran, dan tetap berpendapat bahwa dalil-dalil al-Quran itu meliputi seluruh ilmu pengetahuan yang dapat dicapai dengan cara perenungan terhadap ayat-ayatnya yang dikolerasikan dengan berbagai ilmu. Atau cara sebaliknya yang mereka lakukan untuk membuktikan bahwa al-Quran itu selaras dengan perkembangan ilmu pengetahuan yaitu dengan menarik teori-teori ilmu pengetahuan yang dikolerasikan dengan ayat-ayat al-Quran. [14]
Namun demikian ada juga di antara ulama yang tidak setuju dengan adanya tafsir ilmi ini, mereka itu diantaranya adalah:
1.   Abu Ishaq al-Syâtibî (w. 790 H) seorang ahli fiqh Andalusia bermadzhab Maliki, beralasan bahwa ilmu pengetahuan sebenarnya sudah dikenal oleh masyarakat Arab sebelum al-Quran diturunkan, seperti: ilmu astronomi, ilmu meteorologi dan geofisika, ilmu kedokteran, ilmu retorik, ilmu ramal dan perdukunan. Sedangkan agama Islam telah membagi ilmu pengetahuan itu menjadi dua bagian yaitu ilmu yang benar dan ilmu yang sesat, serta Islam sudah menguraikan manfaat dan bahaya dari ilmu-ilmu itu. Hubungan antara ilmu pengetahuan dan al-Quran, al-Syatibi menambahkan bahwa ulama-ulama terdahulu (salaf) tidak pernah mengolerasikan ilmu-ilmu pengetahuan dengan al-Quran, dan tujuan diturunkan al-Quran untuk menguraikan hukum-hukum dan segala yang berkenaan dengan akhirat.
Dengan itu al-Syatibi membantah penafsiran orang-orang yang mengakui keberadaan "tafsir ilmi" yang berdalilkan ayat 89 dari surah al-Nahl : "tibyânan likulli syai' " (pengurai dari segala sesuatu) dan ayat 38 dari surah al-An'âm : "mâ farrathnâ fî l-kitâbi min syai' " (tidak ada satupun yang Kami luputkan di dalam kitab) dengan pendapatnya : bahwa kata kullu syai' pada ayat diatas tidak berhubungan dengan ilmu pengetahuan akan tetapi berkaitan dengan taklif (beban syariat) dari Allah dan ibadah, sedangkan maksud kata al-kitab pada ayat 38 surah al-An'âm diatas adalah bukan al-Quran akan tetapi lauh al-mahfûzh (Muhammad Husein, 1409H: 489). Maka menurut dia ayat-ayat diatas yang digunakan untuk memperkuat alasan keberadaan tafsir ilmi tidak tepat.
2.       Al-Syaikh Mahmûd Syaltût (w. 1964 M) seorang syekh al-Azhar, beranggapan bahwa: Sesungguhnya pandangan tentang tafsir ilmi pada ayat-ayat al-Quran ini adalah salah besar. Al-Quran diturunkan dan berbicara kepada semua manusia bukan untuk menguatkan teori-teori keilmuan, karena hal yang demikian dapat mengajak pelakunya tenggelam kepada penakwilan al-Quran tanpa dilandasi kebenaran dan menafikan kemukjizatan al-Quran itu sendiri. Selain itu menjadikan al-Quran sibuk memaparkan ilmu pengetahuan yang saat ini boleh jadi benar akan tetapi belum tentu dikemudian hari. karena ilmu pengetahuan itu selalu berkembang dan tidak tetap. [15]
Di tengah perdebatan keabsahan dan tidak tafsir ilmi membuat para ulama Islam agar lebih selektif melihat jenis-jenis penafsiran yang absah. Di satu sisi al-Quran telah memberikan jawaban tepat terhadap permasalahan yang timbul dari perkembangan ilmu pengetahuan, dan keberadaan tafsir ilmi memberi kotribusi baik bagi pemahaman dan peningkatan keimanan terhadap al-Quran sebagai pedoman hidup manusia. Di sisi lain penafsiran dengan corak ilmi ini telah membawa mufassir terperangkap kepada penafsiran bi al-ra'yi (pendapat murni) yang dapat menjadikan firman Allah itu kehilangan nilai kewahyuannya. [16]
Berkenaan dengan hal ini para mufassir kontemporer dapat memaklumi keberadaan tafsir ilmi. Mereka lebih moderat dalam menyikapi perkembangan ilmu pengetahuan yang dikolerasikan dengan teks-teks al-Quran. Di antara mereka itu ialah:
1.       Muhammad Musthafa al-Maraghi (w. 1945 M). Salah seorang syekh al-Azhar, Ia berkomentar dalam pengantar buku al-Islâm wa al-Thibb al-Hadîts karya Abd al-'Aziz Ismail, pendapatnya: al-Quran bukanlah kitab suci yang mencakup segala ilmu pengetahuan secara terperinci dengan metode pengajarannya yang terkenal, akan tetapi sesungguhnya al-Quran itu meliputi kaidah dasar umum yang sangat urgen untuk diketahui oleh setiap manusia agar dapat mencapai kesempurnaan jiwa dan raga. Menurutnya al-Quran telah membuka pintu yang luas bagi ahlinya untuk menguasai berbagai ilmu pengetahuan agar dapat diuraikan kepada semua orang secara terperinci, sesuai dengan zaman sang mufassir itu hidup. Akan tetapi ia mengingatkan tidak dibolehkan bagi seorang mufassir menarik ayat-ayat al-Quran kemudian menggunakannya untuk menguraikan kebenaran ilmu pengetahuan, atau sebaliknya menarik ilmu pengetahuan untuk menafsirkan ayat-ayat al-Quran, akan tetapi jika terdapat kesesuaian antara ilmu pengetahuan yang sudah tetap dan pasti dengan zahir ayat-ayat al-Quran maka tidak mengapa menafsirkan al-Quran dengan bantuan ilmu pengetahuan ini.
2.       Ahmad Umar Abu Hajar penulis buku al-Tafsîr al-'Ilmiy fî al-Mîzân. Ia mengungkapkan alasannya setelah memperhatikan perbedaan pendapat para ulama terhadap tafsir ilmi, dan menurutnya mereka yang beranggapan bahwa al-Quran jauh dari pada tafsir ilmi telah melakukan suatu kebenaran jika tafsir yang dimaksud berlandaskan pada ilmu pengetahuan yang bersifat perkiraan dan tidak pasti atau ilmu itu hanya berlandaskan pendapat murni tanpa bukti otentik penelitian ilmiyah, akan tetapi jika berlandaskan ilmu yang sudah pasti kebenarannya maka tidak ada halangan untuk mengambil manfaat kebenaran ilmu ini guna menjelaskan al-Quran. Dia juga menambahkan bahwa al-Quran merupakan kalam Allah, sedangkan alam adalah bagian dari ciptaan-Nya, maka pasti ayat-ayat al-Quran tidak bertentangan dengan kebenaran ilmu pengetahuan.
3.       Ayatullah Makarem al-Syirâzî salah seorang mufassir Iran bermadzhab Syiah Imamiyah. Ia termasuk ulama yang moderat dalam menanggapi keberadaan tafsir ilmi ini. Dalam bukunya tafsir al-amtsâl ia menggunakan sebagian tafsir ilmi untuk mengungkapkan kemukjizatan al-Quran dari sisi keilmuannya. Ia beranggapan bahwa ilmu pengetahuan saat ini telah mengambil posisinya dalam menafsirkan al-Quran, dan yang dimaksud ilmu disini adalah ilmu yang sudah pasti dan tidak berubah dengan perubahan zaman. Ilmu yang selalu berubah menurutnya tidak dapat menjelaskan al-Quran yang sudah tetap. Adapun ilmu pengetahuan seperti ilmu biologi dan astronomi yang mengkaji alam dan pergerakan bumi menurutnya adalah jenis ilmu yang telah terbukti kebenarannya dan sudah tetap, jenis ilmu inilah yang dapat diterima untuk menguraikan al-Quran.
4.       Ayatullah Ja'far Subhani, salah seorang mufassir yang moderat dalam menanggapi keberadaan tafsir ilmi. Ia menetapkan syarat seorang mufassir itu harus memperhatikan teori-teori keilmuan guna membuka pemikiran luas manusia untuk mencapai pemahaman yang dinamis tehadap ayat-ayat al-Quran. Menurutnya: ilmu-ilmu pengetahuan ini dicapai oleh karena kekuatan pikiran filsafat, keilmuan manusia dan terbukanya pemahaman mufassir sehingga memberikan kemampuan sempurna untuk mengambil manfaat dari ayat-ayat al-Quran. Akan tetapi tidak bermaksud untuk menafsirkan ayat-ayat al-Quran menggunakan ilmu filsafat Yunani atau Islam, atau menafsirkan ayat-ayat al-Quran menggunakan ilmu-ilmu modern yang belum pasti kebenarannya lalu mencocok-cocokkannya dengan al-Quran, tidak. Karena hal seperti ini dianggap sebagai jenis tafsir bi al-ra'yi (tafsir dengan pendapat murni) yang sudah jelas dilarang oleh agama dan tidak sejalan dengan akal. [17]
Pendapat para mufassir kontemporer moderat di atas menghasilkan beberapa kriteria untuk tafsir ilmi yang diakui keberadaannya. Setidaknya ada dua kriteria yang dapat dijadikan pedoman yaitu kriteria umum dan khusus.
Kriteria Umum yaitu yang harus dimiliki oleh setiap mufassir diantaranya:
a.       Bagi seorang mufassir harus menguasai segenap ilmu yang biasa digunakan dalam menafsirkan ayat-ayat al-Quran seperti: ilmu bahasa, ilmu kondisi turunnya ayat (asbab al-nuzûl), ilmu sirah nabi Muhammad dalam batasan yang berkaitan dengan ayat-ayat al-Quran, ilmu nasikh wa mansukh al-ayat, mengetahuai hadis dan ilmu hadis serta menguasai kaidah dasar hukum (ushul) dan ilmu fiqh, Menguasai kaidah-kaidah ilmu pengetahuan sosial dan ilmu pasti serta mengetahuai pendapat-pendapat para filosuf, menjauhi diri dari bertaklid kepada pendapat para mufassir yang menggunakan ra'yi (pendapat murni).
b.       Hendaklah bagi seorang mufassir memperhatikan tafsir al-Quran yang diakui. Seperti : menggunakan metode yang benar, tidak menghilangkan sunnah nabi dan menghindari dari pengaruh pemikiran yang sesat, dan hendaklah penafsiran tidak bertentangan dengan hukum akal atau ayat-ayat al-Quran yang lain dengan merujuk kepada sumber-sumber tafsir yang benar.
c. Hendaklah seorang mufassir selalu membandingkan segala sesuatu yang dapat dijadikan pelajaran dengan dalil-dalil naqli dan aqli sebelum ia menafsirkan ayat-ayat.[18]
D.  Contoh Tafsir ‘Imi
1.     Penciptaan Alam Semesta
QS. Al-An’am : 101
ßìƒÏt/ ÏNºuq»yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur ( 4¯Tr& ãbqä3tƒ ¼çms9 Ó$s!ur óOs9ur `ä3s? ¼ã&©! ×pt6Ås»|¹ ( t,n=yzur ¨@ä. &äóÓx« ( uqèdur Èe@ä3Î/ >äóÓx« ×LìÎ=tæ ÇÊÉÊÈ  
Artinya : Dia Pencipta langit dan bumi. bagaimana Dia mempunyai anak Padahal Dia tidak mempunyai isteri. Dia menciptakan segala sesuatu; dan Dia mengetahui segala sesuatu
QS. Al-Ankabut : 44
t,n=y{ ª!$# ÏNºuq»yJ¡¡9$# uÚöF{$#ur Èd,ysø9$$Î/ 4 žcÎ) Îû šÏ9ºsŒ ZptƒUy šúüÏZÏB÷sßJù=Ïj9 ÇÍÍÈ  
Artinya :Allah menciptakan langit dan bumi dengan hak. Sesungguhnya
                pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Alla
                bagi orang-orang mukmin.
Informasi yang diberikan al-Qur’an ini sepenuhnya sesuai dengan temuan sains masa kini. Harun Yahya sebagai ilmuwan kontemporer berpendapat bahwa kesimpulan yang dicapai astrofisika saat ini adalah bahwa seluruh alam semesta, bersamaan dengan dimensi dan waktu, muncul sebagai akibat dari ledakan besar yang terjadi dalam ketiadaan waktu,. Peristiwa ini, yang dikenal sebagai “Big Bang”, membuktikan bahwa alam semesta telah diciptaka ketiadaan sebagai hasil ledakan satu titik tunggal. Kalangan ilmu moderen sependapat bahwa “Big Bang” adalah satusatunya untuk permulaan dan penciptaan alam semesta.
2.     Meluasnya Alam Semesta
QS. Az-Zariat : 47
uä!$uK¡¡9$#ur $yg»oYøt^t/ 7&÷ƒr'Î/ $¯RÎ)ur tbqãèÅqßJs9 ÇÍÐÈ          
Artinya : “Dan langit itu Kami bangun dengan kekuasaan (Kami) dan Sesungguhnya Kami benar-benar berkuasa[19]
         Para ahli tafsir menafsirkan berbeda beda pada lafad “wa inna lamusi’un” Ibnu Abbas menafsirkannya sebagai “laqdirun” artimya yang kuasa, ada juga yang menafsirkannya dengan “ladzu sa’ah” (yang mempunyai keluasan), maksudnya Allah tidak akan kesulitan untuk menciptakan langit atau yang lain yang diinginkannya, dan ada pula yang mengartikan sebagai “lamusi’un ar-rizqi ‘ala kholiqina” artinya Allah adalah yang meluaskan rizqi atas makhluknya.
        Harun Yahya dalam bukunya menjelaskan kata langit. Menurut beliau, kata langit, seperti yang dinyatakan dalam ayat diatas, digunakan di berbagai tempat dalam al-Qur’an dengan arti ruang angkasa dan alam semesta mengalami perluasan, dan ini tepat sama dengan kesimpulan yang dicapai saat ini.
E. Kelebihan dan Kekurangan Tafsir Ilmi
Pada era perkembangan ini, arah perdebatan banyak berkutat pada sekitar persoalan apakah ilmu pengetahuan non-Islam dan non-Arab dari Barat dapat diterima dikalangan muslim, atau apakah pemakaian mesin-mesin teknik Eropa diperbolehkan menurut hukum Islam dan sebagainya. Ada juga yang berupaya mengembalikan kejayaan Islam dalam mengembangkan berbagi  ilmu pengetahuan, juga kondisi ekonomi, sosial dan politik sebagaimana periode keemasan Islam pada masa dinasti Abbasiyah sebagai bentuk upaya menyaingi kemajuan teknologi Barat dan Eropa.
Lebih jauh, Muhammad Abduh sebagaimana dikutip Ignaz Golziher menyatakan bahwa kajian terhadap berbagai ilmu pengetahuan merupakan tujuan utama dalam bentuk praksis yang terkait langsung dengan posisi politik dunia Islam. Menurutnya memerangi kelompok non-muslim adalah sebuah kewajiban ketika dunia Islam diperangi. Hal itu hanya dapat diwujudkan melalui sistem pertahanan dan militer yang kuat termasuk persenjataan yang memadai, semisal penangkal rudal, kapal-kapal perang, tank dan sebagainya yang memerlukan pengetahuan-pengetahuan modern. Dengan asumsi bahwa tidak mungkin al-Qur’an mengandung suatu ajaran yang bertentangan dengan hakekat ilmu pengetahuan, maka menafsirkan al-Qur’an terbebas dari aturan-aturan dan hukum-hukum klasik dan mengembangkan teknologi secara mandiri adalah sebuah keniscayaan bagi dunia Islam.[20]
Dari sekilas pembacaan di atas, gagasan-gagasan yang berupaya menghubungkan atau mencari relevansi antara berbagai ilmu pengetahuan dengan pemahaman atau penafsiran al-Qur’an terus mengalami perkembangan hingga abad 14 H/ 20 M dengan berbagai motivasi dan latar belakang.
Sayangnya perhatian intelektual Islam terhadap pemikiran-pemikiran tersebut sangat minim, sementara di sisi lain kebutuhan terhadap ilmu pengetahuan seperti yang ditunjukkan dalam ayat-ayat yang berbicara tentang hewan, tumbuh-tumbuhan, langit dan bumi juga tidak bisa dinafikan disamping kebutuhan terhadap hukum dan sebagainya.[21]
Salah satu tokoh yang kontra dengan penafsiran model ini adalah Abu Ishaq as-Syatibi (w. 790 H/ 1388 M), menurutnya al-Qur’an diturunkan mempertimbangkan kemaslahatan penerimanya dengan menunjukkan berbagai ilmu yang berguna dan mampu diterima oleh rasionalitas masyarakat Arab waktu itu. Syari’at tersebut menyempurnakan hal-hal yang telah ada sebelumnya dan membatalkan yang batil di dalamnya, termasuk menjelaskan yang bermanfaat dan yang tidak bermanfaat bagi mereka. Menurut as-Syatibi, ramal dan perdukunan merupakan pengetahuan yang tergolong batil. Sementara di antara ilmu-ilmu yang bermanfaat bagi masyarakat Arab waktu itu, diantaranya:
1.      Astronomi “QS. al-An’am (6): 97, QS. an-Nah}l (16): 16, QS. Yasin (36): 39-40, QS. Yunus (10): 5, QS. al-Isra’ (17): 12, QS. al-Mulk (67): 5, QS. al-Baqarah (2): 189” yang dapat menjadi petunjuk di darat dan laut, perbedaan waktu dan yang berhubungan.
2.      Meteorologi “QS. ar-Ra’d (13): 12-13, QS. al-Waqi’ah (56): 68-69, QS. Fatir (35): 9” untuk mengetahui peralihan musim, waktu turunnya hujan, terjadinya awan, angin ribut.
3.      Sejarah “QS. Ali ‘Imran (3): 44, QS.Hud (11): 49” untuk mengetahui informasi umat terdahulu.
Senada dengan hal itu, Az-Zahabi juga menunjukkan beberapa kelemahan dalam dalam penafsiran model tafsir ilmi ini, diantaranya:
1.      Aspek Bahasa: Bahasa selalu mengalami perkembangan, sehingga sebuah kata tidak hanya memiliki satu makna akan tetapi memiliki berbagai makna termasuk penggunaannya dari waktu ke waktu. Meskipun demikian, pada umumnya ayat-ayat al-Qur’an dipahami dengan tetap memperhatikan latar belakang pemaknaan pada saat ayat itu turun, yang di antaranya diketahui melalui informasi para Sahabat dan masyarakat Arab pada waktu itu. Memperluas pemaknaan sebuah ayat dengan istilah-istilah baru sains tanpa memperhatikan latar belakang pemaknaan, sementara hal itu tidak pernah dikenal sebelumnya dinilai merupakan sesuatu yang tidak rasional.
2.      Aspek Retoris: Al-Qur’an dikenal memiliki nilai dan kualitas retorika yang tinggi sehingga selalu terdapat  korelasi dalam sebuah ayat dengan ayat-ayat yang lainnya termasuk dari aspek pemaknaannya. Adanya anggapan bahwa al-Qur’an mencakup seluruh ilmu pengetahuan, bahkan mengaitkan ayat-ayat al-Qur’an dengan istilah-istilah sains dan ilmu pengetahuan tanpa memperhatikan korelasinya dengan ayat-ayat yang lain adalah sesuatu yang mengurangi ketinggian nilai al-Qur’an.
3.      Aspek Aqidah: Al-Qur’an adalah kebenaran mutlak yang diturunkan kepada seluruh manusia secara sempurna, tidak akan pernah lekang dimakan waktu sehingga selalu dapat di dipahami dan diaplikasikan sepanjang masa. Sementara kebenaran temuan ilmiah adalah sesuatu yang bersifat tentatif dan relatif, dalam arti bahwa teori-teori sains tersebut dapat diruntuhkan oleh teori lain sebagaimana dikenal dalam dunia saintifik. Mensejajarkan ayat-ayat al-Qur’an dengan teori dan temuan-temuan saintifik dengan demikian merupakan sesuatu yang tidak bisa diterima karena jika teori-teori tersebut runtuh maka kebenaran al-Qur’an seolah-olah juga runtuh.[22]

















BAB III
KESIMPULAN
Dengan munculnya berbagai ilmu pengetahuan dan semakin meningkatnya ilmu pengetahuan tersebut, baik ilmu kealaman maupun ilmu sosial menuntut kita agar memahami dan menafsirkan al-Qur’an tidak hanya secara harfiah saja, tetapi haruslah dengan cara pendekatan teoritis. Demikian halnya ketika kita memahami dan menafsirkan al-Qur’an yang dianggap sebagai realitas, sebagai wujud ketentuan-ketentuan Tuhan yang pasti dan jelas tertulis.






















DAFTAR PUSTAKA
Juhaya, Tafsir Hikmah, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2000
Ignaz Goldziher, Mazahib at-Tafsir al Islam terj. ‘Abdul Halim an-Najar Mesir: Maktabah al-Khanji, 1955
Manna’ al-Qattan, Mabahis fi ‘Ulum al-Qur’an Kairo: Maktabah Wahbah, 2000
Yuliarto Udi, “Al- Tafsîr Al-' Ilmî Antara Pengakuan Dan Penolakan”, Vol. 1 No. 1, 2011
Muhammad Husain az-Zahabi, at-Tafsir  wa al-Mufassirun Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1976, Jilid II

















PERTANYAAN
1.     Riki
Tafsir ilmi di perbolehkan di lihat dari sisi apa?
2.     Tia
Penafsiran dari ayat tersebut?
3.     Tanti
Bagaimana kita sebagai umat islam apabila al-Qur’an di teliti oleh non muslim? Apakah boleh?


[1] Juhaya S Praja, Tafsir Hikmah, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 2000, hlm. 18
[2] Udi Yuliarto,Al- Tafsîr Al-' Ilmî, hlm 35-36
[3] Udi Yuliarto, “Al- Tafsîr Al-' Ilmî, hlm 36
[4] Udi Yuliarto, “Al- Tafsîr Al-' Ilmî, hlm 36
[5] Udi Yuliarto, “Al- Tafsîr Al-' Ilmî ,hlm 36
[6] Udi Yuliarto, “Al- Tafsîr Al-' Ilmî , hlm 36
[7] Udi Yuliarto, “Al- Tafsîr Al-' Ilmî, hlm 36
[8] Udi Yuliarto, “Al- Tafsîr Al-' Ilmî, hlm 36-37
[9] Udi Yuliarto, “Al- Tafsîr Al-' Ilmî , hlm 37
[10] Udi Yuliarto, “Al- Tafsîr Al-' Ilmî , hlm 37
[11] Udi Yuliarto, “Al- Tafsîr Al-' Ilmî , hlm 37
[12] Udi Yuliarto, “Al- Tafsîr Al-' Ilmî ,hlm 38
[13] Udi Yuliarto, “Al- Tafsîr Al-' Ilmî , hlm 38-39
[14] Udi Yuliarto, “Al- Tafsîr Al-' Ilmî,  hlm 39
[15] Udi Yuliarto, “Al- Tafsîr Al-' Ilmî,  hlm 39-40
[16] Udi Yuliarto, “Al- Tafsîr Al-' Ilmî ,hlm 40
[17] Udi Yuliarto, “Al- Tafsîr Al-' Ilmî , hlm 40-41
[18] Udi Yuliarto, “Al- Tafsîr Al-' Ilmî , hlm 41
[19] Markanefendi.blogspot.co.id/2017/03/tafsir-ilmi-html

[20] Ignaz Goldziher, Mazahib at-Tafsir al Islam terj. ‘Abdul Halim an-Najar (Mesir: Maktabah al-Khanji, 1955), hlm. 381.

[21] Manna’ al-Qattan, Mabahis fi ‘Ulum al-Qur’an (Kairo: Maktabah Wahbah, 2000), hlm. 360
[22] Muhammad Husain az-Zahabi, at-Tafsir  wa al-Mufassirun, hlm. 349.


Tidak ada komentar: