BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Al-Quran yang diturunkan kepada
Rasulullah SAW memiliki ayat-ayat hukum fiqhi yang berkaitan erat dengan
kemaslahatan ibadah di dunia dan akhirat. Pada zaman Rasulullah permasalahan
fiqh yang muncul langsung disodorkan kepada Rasulullah SAW. Namun menjelang
beliau wafat permasalahan tersebut dikembalikan kepada Al-Quran sebagai kitab
suci umat Islam dan jika belum menemukan solusinya maka hal tersebut
dikembalikan kepada sunnah Rasul namun jika tiak ditemukan juga maka ijtihadpun
dituntut berperan penting sebagai jalan terakhir dalam menyelesaikan masalah
fiqhi.
Tidak jarang perdebatan pendapat
dalam beristibath ini banyak ditemukan dikalangan para sahabat. Situasi ini
terus berkembang hingga munculnya empat ulama madzhab yang menjadi patokan umum
dalam mengambil keputusan hukum oleh sebagian umat Islam. Mereka adalah Imam
Hanafi, Imam Syafi’i, Imam Maliki, Imam Hanbali. Ini yang menjadi latar
munculnya corak fiqh.
B. Rumusan
Masalah
1. Apa pengertian Tafsir Fiqhi ?
2. Bagaimana sejarah Tafsir Fiqhi ?
3. Sistematika apa saja yang ada pada tafsir fiqhi ?
4. Apa kelebihan dan kekurangan tafsir fiqhi ?
C. Tujuan
1. Lebih memahami tafsir fiqhi secara mendalam
2. Mengetahui sejarah tafsir fiqhi
3. Mengetahui kelebihan dan kekurangan tafsir fiqhi.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Tafsir Fiqhi
Tafsir adalah ilmu yang disgunakan untuk memahami kitab Allah yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, untuk mengetahui penjelasan makna-maknanya
serta hukum-hukum dan hikmah yang terkandung di dalamnya.
Tafsir fiqhi adalah corak tafsir yang menitikberatkan kepada
pembahasan masalah-masalah fiqhiyyah dan cabang-cabangnya serta membahas
perdebatan atau perbedaan pendapat seputar pendapat-pendapat imam madzhab.
Tafsir fiqhi ini juga dikenal dengan tafsir ahkam, yaitu tafsir yang lebih
berorientasi kepada ayat-ayat hukum dalam Al-Quran (ayat-ayat ahkam). Tafsir
fiqhi lebih populer dengan sebutan tafsir ahkam karena lebih berorientasi pada
ayat-ayat hukum dalam Al-Quran. Orang yang pertama berhak menyandang predikat
mufassir adalah Rasulullah SAW, kemudian para sahabat.
Setelah ini periode
mufassir tabi’in, kemudian periode mufassir tabi’it tabi’in dan orang-orang
yang setelahnya, yang pada periode mereka ini dinamakan periode tadwin
(pengodifikasian). Seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dengan
cabang-cabangnya tafsirpun terus berkembang sampai periode mutakhirin. Di masa
Rasulullah para sahabat memahami Al-Quran dengan kepekaan hati kearaban mereka.
Jika terjadi kesulitan dalam memahami suatu ayat, mereka kembali kepada
Rasulullah SAW lalu beliau menjelaskan kepada mereka. Setelah Rasulullah SAW
wafat, para fuqaha dari kalangan sahabat mengendalikan umat di bawah
kepemimpinan Khulafaur Rasyidin. Jika terdapat persoalan-persoalan baru yang
belum pernah terjadi sebelumnya, maka Al-Quran merupakan tempat kembali mereka
dalam mengistinbathkan hukum-hukum syara’nya.[1]
B. Sejarah Tafsir Fiqhi
Dari berbagai macam atau
metode tafsir, salah satu yang paling terkenal adalah tafsir AlQurtubi yang
dalam kalangan ulama menyebutnya sebagai tafsir fiqhi atau tafsir corak hukum.
Bila ditengok ke belakang, kemunculan tafsir ini bersamaan dengan corak tafsir
bil Ma’tsur, yaitu sejak zaman Nabi SAW, karena sama-sama dinukil dari Nabi SAW.
pada masa itu, ketika salah seorang sahabat menemukan kesulitan dalam memahami
hukum suatu ayat, mereka langsung bertanya kepada Nabi. Kejadian seperti ini
disatu pihak, dari sisi sumber disebut sebagai tafsir bi Al-Ma’tsur dan di
pihak lain, disisi muatan diseut sebagai tafsir fiqhi.[2]
Setelah Nabi SAW meninggal dunia,
secara otomatis sandaran untuk menyatakan berbagai persoalan yang menyangkut
pemahaman suatu ayat sudah tidak ada lagi. Sehingga dituntut kemandirian dalam
memahami suatu ayat, maka tidak mengherankan apabila saat itu muncul berbagai perbedaan
pemahaman terhadap suatu ayat di kalangan para sahabat.
Tafsir yang bercorak
fiqh seperti ini terus berkembang bersama berkembangnya ijtihad. Perkembangan
ini mendorong munculnya madzhab-madzhab fiqh. Sehingga masa-masa sesudahnya
muncul beberapa tokoh yang mengkhusukan diri pada persoalan-persoalan fiqh
dengan sudut pandang masing-masing.
C. Sistematika Tafsir Fiqhi
Dalam sistematika penulisan kitab tafsir dikenal adanya 3
sistematika :
1. Mushafi
Mushafi yaitu penyusunan
kitab tafsir dengan berpedoman pada susunan ayat-ayat dan surat-surat dalam
mushaf dengan memulai dari Al-Fatihah, Al-Baqarah dan seterusnya sampai surat
An-Nas.
2. Nuzuli
Nuzuli yaitu dalam
menafsirkan Al-Quran berdasarkan kronologis turunnya surat-surat Al-Quran.
3. Maudhu’i
Maudhu’i yaitu menafsirkan
Al-Quran berdasarkan topik topik tertentu dengan mengumpulkan ayat-ayat yang
ada hubungannya dengan topik tertentu kemudian ditafsirkan.
Al-Qurtubi sebagai
representasi dari tafsir fiqhi dalam menulis kitab tafsirnya memulai dari surat
Al-Fatihah dan diakhiri dengan surat An-Nas. Dengan demikian ia memakai
sistematika Mushafi, yaitu dalam menafsirkan Al-Quran sesuai dengan urutan ayat
dan surat yang terdapat dalam mushaf.[3]
D. Langkah-langkah Tafsir Fiqhi
1. Memberikan kupasan dari bahasa.
2. Menyebutkan ayat-ayat lain yang berkaitan dan hadits-hadits dengan menyebutkan sumbernya sebagai dalil.
3. Mengutip pendapat ulama dengan menyebut sumbernya sebagai alat
untuk menjelaskan hukum-hukum yang berkaitan dengan pokok bahasan.
4. Menolak pendapat yang
dianggap tidak sesuai dengan ajaran-ajaran Islam.
5. Mendiskusikan pendapat ulama dengan argumentasi masing-masing,
setelah itu melakukan tarjih dan mengambil pendapat yang paling benar.
E. Contoh Tafsir Fiqhi
Al-Jami’ lil Ahkamil
Quran adalah karya Abdullah Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakar bin Farh
Al-anshari Al-Khazraji Al-Andalui seorang alim yang mumpuni dari kalangan
Maliki. Di dalam tafsirnya ini, Al-Qurtubi tidak membatasi kajiannya pada
ayat-ayat hukum semata, tetapi menafsirkan Al-Quran secara menyeluruh. Metode
tafsir yang digunakan ialah menyebutkan asbabun nuzul (sebab-sebab turunnya
ayat), mengemukakan ragam qira’at dan ‘irab, menjelaskan lafzdz-lafadz yang gharib,menghubungkan
berbagai pendapat kepada sumbernya, menyediakan paragraph khusus bagi kisah
para mufassir dan berita-berita dari para ulama terdahulu yang dapat dipercaya,
khususnya penulis kitab hukum. Misalnya, ia mengutip dari ibnu Jarir
Ath-Thabrani, Ibnu ‘Athiyah, Ibnu Arabi, Alkiya Harrasi dan Abu Bakr
Al-Jashash.
Al-Qurtubi sangat luas
dalam mengkaji ayat-ayat hukum. Ia mengetengahkan masalah-masalah khilafiyah,
hujjah bagi setiap pendapat lalu mengomentarinya. Dia tidak fanatik madzhab.
Q.s Al-Baqarah : 43
“Dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan rukuklah bersama
orang-orang yang rukuk”.
Dalam menagsirkan ayat
di atas, Al-Qurtubi membagi pembahasan ayat ini menajdi 34 masalah. Di antara
pembahasan yang menarik adalah masalah ke 16. Dia mendiskusikan berbagai
pendapat tentang status anak kecil yang menjadi imam shalat. Di antara tokokh
yang mengatakan tidak boleh adalah Al-Thawri, Malik dan Ashab Al-Ra’yi. Dalam
masalah ini Al-Qurtubi berbeda pendapat dengan madzhab yang dianutnya, menurutunya
anak kecil boleh menajdi imam jika memiliki bacaan yang baik. Selanjutnya dalam
Q.s Al-Baqarah:187
“Dihalalkan bagi kamu pada amlam hari bulan puasa bercampur dengan
isteri-isteri kamu”.
Al-Qurtubi membaginya menjadi 36 masalah. Pada pembahasan ke 12, ia
mendiskusikan makannya orang yang lupa pada siang hari di bulan Ramadhan. Ia
berpendapat orang tersebut tidak berkewajiban mengganti puasanya, berbeda dengan pendapat Malik sebagai imam
madzhabnya. [4]
Bila dicermati dari
beberapa contoh penafsiran di atas, di satu sisi menggambarkan betapa
Al-Qurtubi banyak mendiskusikan persoalan-persoalan hukum yang menjadikan
tafsir ini masuk ke dalam jajaran tafsir yang bercorak hukum. Di sisi lain,
dari contoh-contoh tersebut juga terlihat bahwa Al-Qurtubi yang bermadzhab
Maliki juga ternayata teguh dengan pendapat Imam madzhabnya.[5]
F. Kelebihan dan Kekurangan Tafsir Fiqhi
Kelebihan tafsir fiqhi yaitu :
1. Memberikan kejelasan terhadap umat Islam akan kandungan hukum
syari’at yang terdapat dalam Al-Quran, hal ini menjadi titik tolak pemahaman
umat bahwa sesungguhnya Al-Quran tidak hanya menjelaskan tentang aspek yang
bersifat transenden dan metafisik (aqidah), akan tetapi juga menjelaskan
tentang aspek syari’ah, disisi lain juga memberitahukan bahwa syari’ah atau
hukum bukan semata-mata merupakan produk fuqaha’ akan tetapi telah menjadi
bagian dari nash-nash Al-Quran bahkan lebih dominan yang mampu mengatur tatanan
hidup manusia baik individu maupun sosial.
2. Upaya untuk memberikan kesepakatan praktis yang bertujuan untuk
mempermudah manusia dalam mengaplikasikan seluruh bentuk hukum-hukum Allah yang
termaktub di dalam Al-Quran setelah terjebak ke dalam perbedaan madzhabi
dogmatis serius yang bersifat teoritis.
3. Tafsir Al-Quran dengan pendekatan fiqhi meskipun memberikan
peluang terjadinya perbedaan pemahaman terhadap teks-teks Quraniyyah tetap
memberikan sumbangsih pemikiran bahwa sesungguhnya seluruh bentuk aturan dan
hukum dalam kehidupan baik individu maupun sosial tetap harus tunduk kepada
Al-Musyarri’ Al-Awwal (Allah) melalui kalam-Nya yang mulia kemudian kepada
pembawa wahyu dan risalah yang kemudian dikenal sebagai Al-Musyarri’ Ats Tsany
ba’da (Rasulullah SAW) melalui sunnah beliau demi kemaslahatan manusia baik di
dunia maupun di akhirat.
4. Tafsir fiqhi berusaha untuk membumikan Al-Quran lewat pemahaman
ayat-ayat qauliyah kepada ayat-ayat kauniyah guna memberikan penyedaran,
pemberdayaan dan advokasi terhadap permasalahan kehidupan manusia.
5. Tafsir fiqhi kendatipun beragam tetapi memberikan kekayaan bagi
khazanah intelektual muslim dunia, sebab tanpa adanya penafsiran Al-Quran dalam
bentuk ini, maka umat Islam secara khusus dan manusia secara umum akan
kehilangan akar hukum dan perundang-undangan yang sesungguhnya.[6]
Kekurangan tafsir fiqhi
:
1. Tafsir fiqhi cenderung terjebak pada fanatik madzhab sehingga
memunculkan sikap ortodokdi, pembelaan dan pembenaran terhadap terhadap madzhab
tertentu dan menafikan keabsahan madzhab-madzhab lainnya. Sikap ini terwariskan
kepada berpuluh-puluh generasi hingga saat ini.
2. Tafsir fiqhi melakukan reduksi pada satu aspek tertentu dari
Al-Quran meliputi aqidah dan syari’ah, konsep dan sistem, teori dan praktek yang
membutuhkan pemahaman dan pnafsiran secara universal.[7]
BAB III
PENUTUP
Simpulan
Tafsir adalah ilmu yang digunakan untuk memahami kitab Allah yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, untuk mengetahui penjelasan makna-maknanya
serta hukum-hukum dan hikmah yang terkandung di dalamnya.
Tafsir fiqhi adalah corak tafsir yang menitikberatkan kepada
pembahasan masalah-masalah fiqhiyyah dan cabang-cabangnya serta membahas
perdebatan atau perbedaan pendapat seputar pendapat-pendapat imam madzhab.
Tafsir fiqhi ini juga dikenal dengan tafsir ahkam, yaitu tafsir yang lebih
berorientasi kepada ayat-ayat hukum dalam Al-Quran (ayat-ayat ahkam). Tafsir
fiqhi lebih populer dengan sebutan tafsir ahkam karena lebih berorientasi pada
ayat-ayat hukum dalam Al-Quran. Orang yang pertama berhak menyandang predikat
mufassir adalah Rasulullah SAW, kemudian para sahabat.
DAFTAR PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar