Minggu, 19 Mei 2019

Tafsir Fiqhi


BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Quran yang diturunkan kepada Rasulullah SAW memiliki ayat-ayat hukum fiqhi yang berkaitan erat dengan kemaslahatan ibadah di dunia dan akhirat. Pada zaman Rasulullah permasalahan fiqh yang muncul langsung disodorkan kepada Rasulullah SAW. Namun menjelang beliau wafat permasalahan tersebut dikembalikan kepada Al-Quran sebagai kitab suci umat Islam dan jika belum menemukan solusinya maka hal tersebut dikembalikan kepada sunnah Rasul namun jika tiak ditemukan juga maka ijtihadpun dituntut berperan penting sebagai jalan terakhir dalam menyelesaikan masalah fiqhi.
Tidak jarang perdebatan pendapat dalam beristibath ini banyak ditemukan dikalangan para sahabat. Situasi ini terus berkembang hingga munculnya empat ulama madzhab yang menjadi patokan umum dalam mengambil keputusan hukum oleh sebagian umat Islam. Mereka adalah Imam Hanafi, Imam Syafi’i, Imam Maliki, Imam Hanbali. Ini yang menjadi latar munculnya corak fiqh.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Tafsir Fiqhi ?
2. Bagaimana sejarah Tafsir Fiqhi ?
3. Sistematika apa saja yang ada pada tafsir fiqhi ?
4. Apa kelebihan dan kekurangan tafsir fiqhi ?



C. Tujuan
1. Lebih memahami tafsir fiqhi secara mendalam
2. Mengetahui sejarah tafsir fiqhi
3. Mengetahui kelebihan dan kekurangan tafsir fiqhi.

















BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Tafsir Fiqhi
       Tafsir adalah ilmu yang disgunakan untuk memahami kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, untuk mengetahui penjelasan makna-maknanya serta hukum-hukum dan hikmah yang terkandung di dalamnya.      
       Tafsir fiqhi adalah corak tafsir yang menitikberatkan kepada pembahasan masalah-masalah fiqhiyyah dan cabang-cabangnya serta membahas perdebatan atau perbedaan pendapat seputar pendapat-pendapat imam madzhab. Tafsir fiqhi ini juga dikenal dengan tafsir ahkam, yaitu tafsir yang lebih berorientasi kepada ayat-ayat hukum dalam Al-Quran (ayat-ayat ahkam). Tafsir fiqhi lebih populer dengan sebutan tafsir ahkam karena lebih berorientasi pada ayat-ayat hukum dalam Al-Quran. Orang yang pertama berhak menyandang predikat mufassir adalah Rasulullah SAW, kemudian para sahabat.
       Setelah ini periode mufassir tabi’in, kemudian periode mufassir tabi’it tabi’in dan orang-orang yang setelahnya, yang pada periode mereka ini dinamakan periode tadwin (pengodifikasian). Seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dengan cabang-cabangnya tafsirpun terus berkembang sampai periode mutakhirin. Di masa Rasulullah para sahabat memahami Al-Quran dengan kepekaan hati kearaban mereka. Jika terjadi kesulitan dalam memahami suatu ayat, mereka kembali kepada Rasulullah SAW lalu beliau menjelaskan kepada mereka. Setelah Rasulullah SAW wafat, para fuqaha dari kalangan sahabat mengendalikan umat di bawah kepemimpinan Khulafaur Rasyidin. Jika terdapat persoalan-persoalan baru yang belum pernah terjadi sebelumnya, maka Al-Quran merupakan tempat kembali mereka dalam mengistinbathkan hukum-hukum syara’nya.[1]
B. Sejarah Tafsir Fiqhi
      Dari berbagai macam atau metode tafsir, salah satu yang paling terkenal adalah tafsir AlQurtubi yang dalam kalangan ulama menyebutnya sebagai tafsir fiqhi atau tafsir corak hukum. Bila ditengok ke belakang, kemunculan tafsir ini bersamaan dengan corak tafsir bil Ma’tsur, yaitu sejak zaman Nabi SAW, karena sama-sama dinukil dari Nabi SAW. pada masa itu, ketika salah seorang sahabat menemukan kesulitan dalam memahami hukum suatu ayat, mereka langsung bertanya kepada Nabi. Kejadian seperti ini disatu pihak, dari sisi sumber disebut sebagai tafsir bi Al-Ma’tsur dan di pihak lain, disisi muatan diseut sebagai tafsir fiqhi.[2]
Setelah Nabi SAW meninggal dunia, secara otomatis sandaran untuk menyatakan berbagai persoalan yang menyangkut pemahaman suatu ayat sudah tidak ada lagi. Sehingga dituntut kemandirian dalam memahami suatu ayat, maka tidak mengherankan apabila saat itu muncul berbagai perbedaan pemahaman terhadap suatu ayat di kalangan para sahabat.
      Tafsir yang bercorak fiqh seperti ini terus berkembang bersama berkembangnya ijtihad. Perkembangan ini mendorong munculnya madzhab-madzhab fiqh. Sehingga masa-masa sesudahnya muncul beberapa tokoh yang mengkhusukan diri pada persoalan-persoalan fiqh dengan sudut pandang masing-masing.
C. Sistematika Tafsir Fiqhi
       Dalam sistematika penulisan kitab tafsir dikenal adanya 3 sistematika :
1. Mushafi
   Mushafi yaitu penyusunan kitab tafsir dengan berpedoman pada susunan ayat-ayat dan surat-surat dalam mushaf dengan memulai dari Al-Fatihah, Al-Baqarah dan seterusnya sampai surat An-Nas.
2. Nuzuli
   Nuzuli yaitu dalam menafsirkan Al-Quran berdasarkan kronologis turunnya surat-surat Al-Quran.
3. Maudhu’i
   Maudhu’i yaitu menafsirkan Al-Quran berdasarkan topik topik tertentu dengan mengumpulkan ayat-ayat yang ada hubungannya dengan topik tertentu kemudian ditafsirkan.
       Al-Qurtubi sebagai representasi dari tafsir fiqhi dalam menulis kitab tafsirnya memulai dari surat Al-Fatihah dan diakhiri dengan surat An-Nas. Dengan demikian ia memakai sistematika Mushafi, yaitu dalam menafsirkan Al-Quran sesuai dengan urutan ayat dan surat yang terdapat dalam mushaf.[3]
D. Langkah-langkah Tafsir Fiqhi
1. Memberikan kupasan dari bahasa.
2. Menyebutkan ayat-ayat lain yang berkaitan dan hadits-hadits dengan  menyebutkan sumbernya sebagai dalil.
3. Mengutip pendapat ulama dengan menyebut sumbernya sebagai alat untuk menjelaskan hukum-hukum yang berkaitan dengan pokok bahasan.
4.  Menolak pendapat yang dianggap tidak sesuai dengan ajaran-ajaran Islam.
5. Mendiskusikan pendapat ulama dengan argumentasi masing-masing, setelah itu melakukan tarjih dan mengambil pendapat yang paling benar.
E. Contoh Tafsir Fiqhi
       Al-Jami’ lil Ahkamil Quran adalah karya Abdullah Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakar bin Farh Al-anshari Al-Khazraji Al-Andalui seorang alim yang mumpuni dari kalangan Maliki. Di dalam tafsirnya ini, Al-Qurtubi tidak membatasi kajiannya pada ayat-ayat hukum semata, tetapi menafsirkan Al-Quran secara menyeluruh. Metode tafsir yang digunakan ialah menyebutkan asbabun nuzul (sebab-sebab turunnya ayat), mengemukakan ragam qira’at dan ‘irab, menjelaskan lafzdz-lafadz yang gharib,menghubungkan berbagai pendapat kepada sumbernya, menyediakan paragraph khusus bagi kisah para mufassir dan berita-berita dari para ulama terdahulu yang dapat dipercaya, khususnya penulis kitab hukum. Misalnya, ia mengutip dari ibnu Jarir Ath-Thabrani, Ibnu ‘Athiyah, Ibnu Arabi, Alkiya Harrasi dan Abu Bakr Al-Jashash.
       Al-Qurtubi sangat luas dalam mengkaji ayat-ayat hukum. Ia mengetengahkan masalah-masalah khilafiyah, hujjah bagi setiap pendapat lalu mengomentarinya. Dia tidak fanatik madzhab.
Q.s Al-Baqarah : 43

“Dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan rukuklah bersama orang-orang yang rukuk”.
       Dalam menagsirkan ayat di atas, Al-Qurtubi membagi pembahasan ayat ini menajdi 34 masalah. Di antara pembahasan yang menarik adalah masalah ke 16. Dia mendiskusikan berbagai pendapat tentang status anak kecil yang menjadi imam shalat. Di antara tokokh yang mengatakan tidak boleh adalah Al-Thawri, Malik dan Ashab Al-Ra’yi. Dalam masalah ini Al-Qurtubi berbeda pendapat dengan madzhab yang dianutnya, menurutunya anak kecil boleh menajdi imam jika memiliki bacaan yang baik. Selanjutnya dalam Q.s Al-Baqarah:187
“Dihalalkan bagi kamu pada amlam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu”.
Al-Qurtubi membaginya menjadi 36 masalah. Pada pembahasan ke 12, ia mendiskusikan makannya orang yang lupa pada siang hari di bulan Ramadhan. Ia berpendapat orang tersebut tidak berkewajiban mengganti puasanya, berbeda  dengan pendapat Malik sebagai imam madzhabnya. [4]
       Bila dicermati dari beberapa contoh penafsiran di atas, di satu sisi menggambarkan betapa Al-Qurtubi banyak mendiskusikan persoalan-persoalan hukum yang menjadikan tafsir ini masuk ke dalam jajaran tafsir yang bercorak hukum. Di sisi lain, dari contoh-contoh tersebut juga terlihat bahwa Al-Qurtubi yang bermadzhab Maliki juga ternayata teguh dengan pendapat Imam madzhabnya.[5]
F. Kelebihan dan Kekurangan Tafsir Fiqhi
            Kelebihan tafsir fiqhi yaitu :
1. Memberikan kejelasan terhadap umat Islam akan kandungan hukum syari’at yang terdapat dalam Al-Quran, hal ini menjadi titik tolak pemahaman umat bahwa sesungguhnya Al-Quran tidak hanya menjelaskan tentang aspek yang bersifat transenden dan metafisik (aqidah), akan tetapi juga menjelaskan tentang aspek syari’ah, disisi lain juga memberitahukan bahwa syari’ah atau hukum bukan semata-mata merupakan produk fuqaha’ akan tetapi telah menjadi bagian dari nash-nash Al-Quran bahkan lebih dominan yang mampu mengatur tatanan hidup manusia baik individu maupun sosial.
2. Upaya untuk memberikan kesepakatan praktis yang bertujuan untuk mempermudah manusia dalam mengaplikasikan seluruh bentuk hukum-hukum Allah yang termaktub di dalam Al-Quran setelah terjebak ke dalam perbedaan madzhabi dogmatis serius yang bersifat teoritis.
3. Tafsir Al-Quran dengan pendekatan fiqhi meskipun memberikan peluang terjadinya perbedaan pemahaman terhadap teks-teks Quraniyyah tetap memberikan sumbangsih pemikiran bahwa sesungguhnya seluruh bentuk aturan dan hukum dalam kehidupan baik individu maupun sosial tetap harus tunduk kepada Al-Musyarri’ Al-Awwal (Allah) melalui kalam-Nya yang mulia kemudian kepada pembawa wahyu dan risalah yang kemudian dikenal sebagai Al-Musyarri’ Ats Tsany ba’da (Rasulullah SAW) melalui sunnah beliau demi kemaslahatan manusia baik di dunia maupun di akhirat.
4. Tafsir fiqhi berusaha untuk membumikan Al-Quran lewat pemahaman ayat-ayat qauliyah kepada ayat-ayat kauniyah guna memberikan penyedaran, pemberdayaan dan advokasi terhadap permasalahan kehidupan manusia.
5. Tafsir fiqhi kendatipun beragam tetapi memberikan kekayaan bagi khazanah intelektual muslim dunia, sebab tanpa adanya penafsiran Al-Quran dalam bentuk ini, maka umat Islam secara khusus dan manusia secara umum akan kehilangan akar hukum dan perundang-undangan yang sesungguhnya.[6]
       Kekurangan tafsir fiqhi :
1. Tafsir fiqhi cenderung terjebak pada fanatik madzhab sehingga memunculkan sikap ortodokdi, pembelaan dan pembenaran terhadap terhadap madzhab tertentu dan menafikan keabsahan madzhab-madzhab lainnya. Sikap ini terwariskan kepada berpuluh-puluh generasi hingga saat ini.
2. Tafsir fiqhi melakukan reduksi pada satu aspek tertentu dari Al-Quran meliputi aqidah dan syari’ah, konsep dan sistem, teori dan praktek yang membutuhkan pemahaman dan pnafsiran secara universal.[7]
















BAB III
PENUTUP
Simpulan
Tafsir adalah ilmu yang digunakan untuk memahami kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, untuk mengetahui penjelasan makna-maknanya serta hukum-hukum dan hikmah yang terkandung di dalamnya.           
            Tafsir fiqhi adalah corak tafsir yang menitikberatkan kepada pembahasan masalah-masalah fiqhiyyah dan cabang-cabangnya serta membahas perdebatan atau perbedaan pendapat seputar pendapat-pendapat imam madzhab. Tafsir fiqhi ini juga dikenal dengan tafsir ahkam, yaitu tafsir yang lebih berorientasi kepada ayat-ayat hukum dalam Al-Quran (ayat-ayat ahkam). Tafsir fiqhi lebih populer dengan sebutan tafsir ahkam karena lebih berorientasi pada ayat-ayat hukum dalam Al-Quran. Orang yang pertama berhak menyandang predikat mufassir adalah Rasulullah SAW, kemudian para sahabat.










DAFTAR PUSTAKA



Tidak ada komentar: