BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam sejarah perkembangan tafsir, pada mulanya penafsiran
ayat-ayat al-Qur’an berdasarkan ijtihad masih sangat sedikit dan terikat oleh
kaidah bahasa serta arti-arti yang dikandung oleh suatu kosa-kata. Tetapi pada
perkembangan selanjutnya, seiring dengan berkembangnya pengetahuan masyarakat
maka muncul berbagai kitab atau penafsiran al-Qur’an yang beraneka ragam
coraknya, yang merupakan konsekuensi logis dari perkembangan zaman dan
penengetahuan, karena dalam al-Qur’an sendiri memberikan
kemungkinan-kemungkinan arti yang tidak terbatas. Adanya corak-corak penafsiran
yang beragam adalah sebagai bukti akan kebebasan penafsiran al-Qur’an.
Penulis
akan mengangkat sekilas tentang masalah tafsir perspektif orang golongan ahli
sufi. Perkembangan sufisme yang kian marak
di dunia Islam ditandai oleh praktik-praktik asketisme dan askapisme yang
dilakukan oleh generasi awal Islam. Hal ini dimulai sejak munculnya konflik
politis sepeninggal nabi Muhammad SAW. Praktik
seperti terus berkembang pada masa berikutnya, seiring berkembangnya aliran sufi.
Pada umumnya kaum sufi memahami ayat-ayat alqur’an bukan sekedar dari lahir
yang tersurat saja. Namun mereka memahaminya secara bathin atau yang tersirat.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang di atas, dapat dirumuskan masalah sebagai berikut :
1.
Apa pengertian dari Tafsir Shufi?
2.
Apa saja jenis-jenis tafsir Shufi?
3.
Apa Perbedaan tafsir shufi nadhari dan sufi isyari?
4.
Apa kekurangan dan kelebihan sufi isyari?
C.
Tujuan Penulisan Makalah
Berdasarkan rumusan masalah di atas, dapat tujuan sebagai berikut :
1.
Untuk mengetahui pengertian dari Tafsir Shufi.
2.
Untuk mengetahui jenis-jenis tafsir Shufi.
3.
Untuk mengetahui Perbedaan
antara
tafsir sufi nadhari dan sufi isyari.
4.
Untuk mengetahui kekurangan dan kelebihan sufi isyari.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Tafsir Shufi
Kata suf (صوف)
berasal dari madzi dan mudlari’ صاف يصوف
yang mempunyai arti tenunan dari bulu domba (wol), merujuk pada jubah yang
dikenakan oleh orang muslim yang bergaya hidup sederhana. Sebagian ulama
berpendapat bahwa kata sufi berasal dari madzi dan mudlari’ صفا يصفو yang mempunyai arti jernih, bersih. Hal
ini menaruh penekanan pada memurnian hati dan jiwa.Yang dimaksud dengan tafsir
sufi adalah tafsir yang ditulis oleh para sufiMenururt Al-Zarqani tafsir sufi
adalah “menafsirkan Al-Qur’an tidak dengan makna zahir, melainkan dengan makna
batin, karena ada isyarat yang tersembunyi yang terlihat oeh para sufi. Namun
demikian tafsir batin tersebut masih dapat dikompromikan dengan makna zahirnya.
B. Jenis Tafsir Shufi
Sesuai dengan pembagian dalam tafsir ini
dibagi menjadi dua yaitu tafsir yang sejalan dengan tasawufan Nadzari disebut
Tafsir al Shufi al Nadzri, dan yang sejalan dengan tashawwuf amali disebut
tafsir al isyari.
1.
Tafsir Sufi Nadhari
Tafsir sufi nadhari adalah tafsir sufi yang dibangun untuk
mempromosikan dan memperkuat teori-teori mistik yang dianut mufassir. Az-Zahabi
mengatakan bahwa tafsir sufi nadhari dalam praktiknya adalah penafsiran
al-Qur’an yang tidak memeperhatikan segi bahasa serta apa yang dimaksudkan oleh
syara.
Ulama yang dianggap
kompeten dalam tafsir tasawuf teoritis (nadhari) yaitu Muhyiddin Ibn al-‘Arabi.
Ibn ‘Arabi dianggap sebagai ulama tafsir sufi nadhari yang meyandarkan bebarapa
teori-teori tasawufnya dengan al-Qur’an. Karya tafsir Ibn al-‘Arabi di
antaranya al-Futuhat al-Makiyat dan al-Fushush. Adapun Karakteristik Tafsir Sufi Nadhari, az-Zahabi menjelaskan
karekteristik atau ciri-ciri dalam penafsiran nadhari sebagai berikut :
Pertama, dalam penafsiran ayat-ayat
al-Qur’an tafsir nadhari sangat besar dipengaruhi oleh filsafat. Kedua, di dalam tafsir nadhari, hal-hal
yang gaib dibawa ke dalam sesuatu yang nyata atau tampak dengan perkataan lain
meng-qiyas-kan yang gaib pada kenyataan. Ketiga,
terkadang tidak memperhatikan kaidah-kaidah nahwu dan hanya menafsirkan apa
yang sejalan dengan ruh dan jiwa sang mufassir.
Contoh Tafsir Sufi Nadhari
a.
Al-Qur’an surat al-Baqarah
ayat 186:
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ
الدَّاعِي إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ
يَرْشُدُونَ
Artinya: “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang
Aku, Maka (jawablah), bahwasanya aku adalah dekat. aku mengabulkan permohonan
orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, Maka hendaklah mereka itu
memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar
mereka selalu berada dalam kebenaran”. Kata do’a yang terdapat dalam ayat
tersebut oleh sufi diartikan bukan berdo’a dalam arti lazim dipakai. Kata itu
bagi golongan ini adalah mengandung arti berseru atau memanggil. Tuhan mereka
panggil dan Tuhan melihat dirinya kepada mereka. Dengan perkataan lain, mereka
berseru agar Tuhan membuka hijab dan menampakkan dirinya kepada mereka.
b.
Surat Al-Baqarah 115:
وَلِلَّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ
وَجْهُ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ وَاسِعُ عَلِيمُُ{115}
Artinya: “Timur dan Barat kepunyaan Allah, maka kemana saja kamu
berpaling di situ wajah Allah”.Kaum sufi menafsirkannya dengan di mana saja
Tuhan ada, dan dimana saja Tuhan dapat dijumpai. Sehingga untuk mencari Tuhan
tidak perlu jauh-jauh, dan Tuhan dapat dijumpai di mana saja dan Dia selalu
ada.
c.
Surat Qaf ayat 16:
وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنسَانَ وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهِ
نَفْسُهُ وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ
Artinya: “Dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan
mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya
daripada urat lehernya”, Para ahli tasawuf menafsirkan ayat itu sebagai
gambaran bahwa untuk mencari Tuhan orang tak perlu pergi jauh-jauh. Untuk itu
ia cukup kembali ke dalam dirinya sendiri. Dengan perkataan lain bahwa Tuhan
bukan berada di luar diri manusia, tetapi Tuhan berada di dalam diri manusia. dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya. (Qaf: 16)
Yakni malaikat-malaikat Allah Swt.
lebih dekat kepada manusia dari pada urat lehernya. Dan menurut pendapat ulama
yang menakwilkannya dengan pengertian ilmu Allah, sesungguhnya yang dimaksud
hanyalah untuk menghapuskan pengertian dugaan adanya bertempat atau
kemanunggalan, karena kedua sifat tersebut merupakan hal yang mustahil bagi
Allah Swt. menurut kesepakatan semua ulama, Maha suci Allah dari keduanya. Akan
tetapi bila ditinjau dari segi teks, ayat tidak menunjukkan ke arah pengertian
pengetahuan Allah, karena Allah Swt. tidak mengatakan, "Aku lebih dekat
kepadanya daripada urat lehernya.
2.
Tafsir Sufi Isyari
Tafsir sufi isyari adalah
pentakwilan ayat-ayat al-Qur’an yang berbeda dengan makna lahirnya sesuai
dengan petunjuk khusus yang diterima para tokoh sufisme tetapi di antara kedua
makna tersebut dapat dikompromikan. Metode yang dipakai dalam tafsir tasawuf
secara umum adalah metode isyarat (Isyarah). Isyarat di sini maksudnya adalah
menyingkap apa yang ada di dalam makna lahir suatu ayat untuk mengetahui
hikmah-hikmahnya.
Semua tafsir isyari tidak
bisa begitu saja diterima tetapi harus memenuhi syarat-syarat yang tidak boleh
ditinggalkan oleh mufasir. Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut :
a. Penafsiran Isyari tidak boleh menafikan apa yang dimaksudkan makna
zhahir.
b. Harus ada nas lain yang menguatkannya.
c. Tidak bertentangan dengan syara’ dan akal.
d. Harus diawali dengan penafsiran terhadap makna lahir, dan
memungkinkan adanya makna lain selain makan zhahir.
Contoh Tafsir Sufi Isyari
Contoh penafsiran isyari yang dapat
diterima karena telah memenuhi syarat-syarat tersebut di atas, yaitu penafsiran
al-Tastary ketika menafsirkan ayat 22 dari surat al-Baqarah : فلا تجعلوا لله اندادا Al-Tastary
menafsirkan andadan yaitu nafsu amarah yang jelek. Jadi maksud andadan disini
bukan hanya patung-patung, setan atau jiwa tetapi nafsu amarah yang sering
dijadikan Tuhan oleh manusia adalah perihal yang dimaksud dari ayat tersebut,
karena manusia selalu menyekutukan Tuhannya dengan selalu menjadi hamba bagi
nafsu amarahnya.
Menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an
dengan melihat isyarat yang ada di dalamnya telah banyak dilakukan oleh para
sahabat Nabi, diantaranya penafsiran isyari sahabat yaitu ketika para sahabat
mendengar ayat pertama dari surat al-Nasr ayat 1 yang bunyinya: اذا جاء نصر الله والفتح Artinya: “Apabila
telah datang pertolongan Allah dan kemenangan” (QS. Al-Nasr:1) di antara mereka
ada yang mencoba memberikan penafsiran ayat tersebut dengan mengatakan bahwa
ayat tersebut memerintahkan kepada mereka untuk bersyukur kepada Allah dan
meminta ampunannya. Tetapi berbeda dengan Ibn Abbas yang mengatakan bahwa ayat
tersebut adalah sebagai tanda ajal Rasulullah saw.
C. Perbedaan Tafsir Sufi Nadhari dan Sufi Isyari
Az-Zahabi memeberikan penjelasan mengenai
perbedaan antara tafsir sufi nadzari dengan tafsir sufi isyari sebagai berikut
:
Tafsir sufi nadzari dibangun atas dasar pengetahuan ilmu
sebelumnya yang ada dalam seorang sufi yang kemudian menafsirkan al-Qur’an yang
dijadikan sebagai landasan tasawufnya. Adapun tafsir sufi isyari bukan
didasarkan pada adanya pengetahuan ilmu sebelumnya, tetapi didasari oleh
ketulusan hati seorang sufi yang mencapai derajat tertentu sehingga
tersingkapnya isyarat-isyarat al-Qur’an.
Dalam tafsir sufi nadzari seorang sufi
berpendapat bahwa semua ayat al-Qur’an mempunyai makna-makna tertentu dan bukan
makna lain yang di balik ayat. Adapun dalam tafsir sufi isyari asumsi dasarnya
bahwa ayat-ayat al-Qur’an mempunyai makna lain yang ada di balik makna lahir.
Dengan perkataan lain bahwa al-Qur’an terdiri dari makna zahir dan batin.
Contoh
Penafsiran Yang Lain
1.
al-Ghazali menafsirkan
potongan ayat (QS:20;12) ( فَاخْلَعْ نَعْلَيْلَكَ)
yang secara zahir “tinggalkanlah (Wahai Musa) kedua sandalmu”. Menurut
al-Ghazali makna batin dari ayat ini adalah “Tanggalkan (Hai Musa) kedua
alammu, baik alam dunia mupun akhirat. Yakni, janganlah engkau memikirkan
keuntungan duniawi dan jangan pula mencari pahala ukhrawi, tapi carilah wajah
Allah semata”.
2. Az-Zahabi memberikan contoh tafsir nadhari yang dipengaruhi
filasafat yaitu penafsiran Ibn al’Arabi terhadap ayat 57 dari surat Maryam :وَرَفَعْنَٰهُ مَكَانًا عَلِيًّا Artinya: “Dan
Kami telah mengangkatnya ke martabat yang tinggi”. Menurut az-Zahabi
penafsiran Ibn al-’Arabi tersebut sangat dipengaruhi oleh pemikiran filasafat
alam yaitu dengan menafsirkan lafazh makanan ‘aliyyan dengan antariksa (alam
bintang).
3. kaum Bathiniyah Al-Taftazani, Dengan dalih bahwa di balik makna
zahir Al-Qur’an tersimpan makna batin, mereka mengembangkan tafsir batin yang
disesuaikan dengan ajaran-ajaran mereka sendiri. Misalnya saja ketika menafsirkan surat al-Hijr ayat 99وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّىٰ يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ ﴿الحجر٩٩ }
Menurut pendapat jumhur, ayat itu berarti “sembahlah Tuhanmu
sampai ajal tiba”. Namun kaum Bathiniyah mengembangkan penafsiran sendiri.
Menurut mereka makna ayat itu adalah “barangsiapa telah mengerti makna ibadah,
maka gugurlah kewajiban baginya”.
D.
Kitab-kitab Tafsir Shufi
1.
Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim, karya Imam
At-Tutsuri (w.283 H)
2.
Haqa’iq At-Tafsir, karya Al-Allamah
As-Sulami (w.412 H)
3. Arais Al-Bayan fi Haqa’iq Al-Qur’an, karya Imam As-Syirazi (w.606 H).
E. Tokoh –tokoh Shufi
1. Ibn al-‘Arabi
2.
F.
Kekurangan Dan Kelebihan Tafsir Sufi Isyari
1.
Kekurangan Tafsir Sufi Isyari
Disini
terlihat beberapa kelemahan yang dimiliki tafsir Sufi Isyari,
yaitu sebagai berikut :
a.
Apabila Tafsir ini, tidak memenuhi syarat-syarat sebagaimana
telah di sebutkan diatas, maka tafsir ini dapat dikatakan tafsir
dengan hawa nafsu atau rasio bertentangan dengan lahir ayat yang dilarang oleh
Allah.
b.
Tidak
memperhatikan beberapa persyaratan yang telah ditetapkan Ulama sehingga
berjalan bagaikan unta yang buta, yang akhirnya orang yang awam berani
mencecerkan kitab Allah, menakwilkan menurut bisikan hawa nafsunya atau menurut
bisikan setan. Orang-orang tersebut menduga bahwa hal itu termasuk
tafsir akibat kebodohan dan kesesatan mereka karena
telah menyelewengkan kitab Allah dan berjalan di atas pengaruh
aliran kebatinan dan atas. Hal
semacam itu kalaupun bukan merupakan penyelewengan terhadap arti.
c. Kadang-kadang maknanya sangat jauh dari
ketentuan-ketentuan agama yang sudah qath`i atau pasti keharamannya. Seperti
anggapan Ibnu `Arabi terhadap orang-orang musyrik yang menyembah patung.
Menurutnya mereka pada hakikatnya menyembah Allah bukan menyembah patung dan
patung adalah sebagai pengganti Allah.
d. Penafsiran
al-Qur’an yang tidak memeperhatikan segi bahasa serta apa yang dimaksudkan oleh
syara.
2.
Kelebihan Sufi Isyari
secara Isyari terlihat beberapa kelebihan yang
dimiliki tafsir al-Isyari, yaitu :
1. Tafsir Isyari mempunyai kekuatan hukum dari
Syara` sebagaimana telah dijelaskan mengenai beberapa contoh penafsiran secara
Isyari, seperti penafsiran Ibnu `Abbas terhadap firman Allah Q.S. Al-`Nashr :1.
Sehingga hampir semua sahabat dalam kasus tersebut tidak ada yang memahami
maknanya melainkan makna secara zahir atau tekstual.
2. Apabila Tafsir Isyari ini, memenuhi
syarat-syarat tafsir sebagaimana yang telah disepakati para ulama tafsir, maka
akan bertambah wawasan dan pengetahuan terhadap isi kandungan Al-Qur`an dan
Hadits.
3. Penafsiran secara Isyari tidaklah menjadi aneh
kalau Allah melimpahkan ilmu pengetahuan kepada orang yang ia kehendaki serta
memberikan pemahaman kepada orang-orang pilihan, seperti Abu Bakar, Umar, Ibnu
`Abbas dan Nabi Khidhir AS.
4. Penafsiran Isyari mempunyai
pengertian-pengertian yang tidak mudah dijangkau sembarangan ahli tafsir
kecuali bagi mereka yang memiliki sifat kesempurnaan Iman dan kemurnian
ma`rifat.
5. Tafsir Isyari atau tafsir golongan yang
ma`rifat kepada Allah jelas telah memahami makna tekstual atau makna lahir dari
al-Qur`an, sebelum menuju kepada makna secara isyarat. Hal ini mereka memiliki
dua kelebihan, yaitu:
Pertama, menguasai makna lahir ayat atau hadith.
Kedua, memahami makna isyaratnya.
BAB 3
PENUTUP
Kesimpulan
Tafsir shufi adalah tafsir yang ditulis oleh para sufi
yang mereka lebih mementingkan bathinnya lafal dari pada lahirnya. Dalam tafsir shufi terdapat dua corak
tafsir, yaitu; tafsir sufi nazhari dan tafsir sufi isy’ari. Tafsir sufi nazhari adalah tafsir produk
sufi teoritis, sedangkan tafsir sufi isyari adalah tafsir produk sufi praktis. Tafsir
sufi seharusnya steril dari dimensi sektarianisme, karena ia diklaim bersumber
dari Tuhan yang adalah sumber dari segala kebenaran.
Tafsir sufi nadzari mempunyai makna-makna tertentu dan bukan makna
lain yang di balik ayat. Dalam
tafsir sufi isyari asumsi dasarnya makna lain yang ada di balik
makna lahir. Dengan perkataan lain bahwa al-Qur’an terdiri dari makna zahir dan
batin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar