BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Al-Qur’an sebagai pedoman hidup sehari-hari bagi
setiap umat muslim sepanjang massa. Oleh karenanya setiap muslim diwajibkan
untuk berusaha mengamalkannya, baik dalam hal kehidupan duniawi terlebih lagi
untuk masalah ukhrawi. Dan sebuah bukti kekuasaan Allah Subhanahu wa ta’ala bahwa Al-Qur’an sampai saat ini masih relevan
dan justru banyak dari Al-Qur’an yang terbukti secara ilmiah, dan menjadi dasar
hukum dalam pengembangan sains.
Hal ini tentu tidak terlepas dariproses penafsiran
Al-Qur’an dengan ijtihad para ulama yang benar-benar maupun kapasitasnya
sebagai seorang mufassir, sehingga di hasilkan penafsiran yang tidak
bertentangan dengan syari’at.
Namun demikian, tidak menutup kemungkinan tafsir
Bir-Ra’yi akan menghasilkan penafsiran yang melenceng dari syari’at dan tersebar ke masyarakat
umum.
B.
Rumusan
Masalah
1. Apa
yang dimaksud dengan Tafsir Bir-Ra’yi?
2. Bagaimana
pembagian Tafsir Bir-ra’yi?
3. Bagaimana
contoh penafsiran Tafsir Bir-Ra’yi?
4. Bagaimana
pendapat para ulama tentang Tafsir Bir-Ra’yi?
5. Apa
saja kitab-kitab Tasir Bir-Ra’yi?
C.
Tujuan
Penulisan
Tujuan
dari penulisan makalah ini dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Memahami
Tafsir Bir-Ra’yi;
2. Mengetahui
pembagian Tafsir Bir-Ra’yi;
3. Mengetahui
contoh penafsiran;
4. Mengetahui
bagaimana pendapat para ulama tentang Tafsir Bir-Ra’yi;
5. Mengetahui
kitab-kitab Tafsir Bir-Ra’yi.
D.
Metode Penulisan
Metode yang di
gunakan adalah metode pustaka, dengan cara mempelajari dan mengumpulkan data
dalam yang berhubungan dengan materi ini, baik buku maupun sumber informasi
dari internet.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Tafsir Bir-Ra’yu
Kata
ra’yu dapat diartikan:
1. Al-i’tiqad
(keyakinan), misalnya dalam kalimat “inilah ra’yuku”, yang berarti “inilah
i’tiqad (keyakinan)ku.
2. Al-qiyas,
orang-orang yang suka mempergunakan qiyas disebut juga ashabur-ra’yi (orang-orang yang suka mempergunakan ra’yu).mereka
banyak menggunakan qiyas (analogi)
dalam berdalil.
Istilah ra’yu dekat
maknanya dengan ijtihad
(kebebasan penggunaan akal)
yang didasarkan atas prinsip-prinsip yang
benar, menggunakan akal
sehat dan persyaratan
yang ketat. Sandaran yang
dipakai adalah bahasa,
budaya Arab yang terkandung di dalamnya,
pengetahuan tentang gaya
bahasa sehari-hari dan
kesadaran akan pentingnya sains
yang amat diperlukan
oleh mereka yang
ingin menafsirkan al-Qur’an. Secara realita, setelah Rasulullah
wafat pada tahun 11 H (623 M), para sahabat makin giat mempelajari al-Qur‟an
dan memahami maknanya dengan jalan riwayat secara lisan dari sahabat yang satu
kepada sahabat yang lain, terutama mereka yang banyak mendengarkan hadis dan
tafsir dari Nabi. Penafsiran para sahabat pada mulanya didasarkan atas sumber
yang mereka terima dari Nabi. Mereka banyak mendengarkan tafsiran Nabi dan
memahaminya dengan baik. Mereka menyaksikan peristiwa yang melatar belakangi
turunnya ayat dan menguasai bahasa Arab secara baik. Mereka juga mengetahui dan
menghayati budaya serta adat istiadat bangsa Arab. Penafsiran sahabat pada
umumnya adalah menggunakan riwayat (ma’tsur). Akan tetapi penggunaan ra’yi
sebagai sumber tafsir pada kenyataannya juga sudah muncul pada masa-masa
sahabat.[2]
[1] Dr.
Basuni Mahmud, Tafsir-tafsir Al-Qur’an,
Bandung: Pustaka. Hal 62.
[2] Zaini
Muhammad, sumber-sumber Penafsiran Al-qur’an{Ebook}, Banda Aceh. Hal 32.
Petunjuk adanya penggunaan ra’yu oleh sahabat dalam memahami al-Qur’an
antara lain adalah sebagaimana kasus „Adi bin Hatim yang berkata: Ketika ayat
ini turun, “hatta yatabayyana lakum al-khaith al-abyadh min al-khaith
al-aswad...” (...hingga jelas bagimu benang putih dan benang hitam... Q.S.
al-Baqarah (2): 187), saya sengaja meletakkan iqal (semacam ikat kepala) hitam
dan iqal putih di bawah bantal. Pada malam harinya kulihat tentang seruan itu,
dan ternyata aku tidak mendapatkan kejelasan yang dimaksud. Pagi harinya aku
pergi menemui Rasulullah dan ku ceritakan peristiwa tersebut kepada beliau.
Rasulullah menjawab:”Sebenarnya yang dimaksud dengan hal itu adalah pekatnya
malam dan terangnya siang”.
Di samping riwayat di atas terdapat juga riwayat-riwayat yang
meng-isyaratkan bahwa para sahabat Nabi menafsirkan al-Qur’an dengan kemampuan
ra’yu. Walaupun demikian tafsir dengan ra’yu yang dilakukan para sahabat telah
mendapatkan pembenaran dari Nabi sendiri, baik melalui pengakuan (taqrir) atau pun
koreksi (tashih). Hal ini dapat dilihat antara lain riwayat yang menyata-kan
bahwa ketika terjadi perang Zat al-Salasil pada saat musim dingin, pada saat
itu Amr bin Ash menafsirkan ayat “...Wala Taqtulu Anfusakum...” (...dan
jangan-lah kamu membunuh dirimu..., Q.S. al-Nisa‟ (4):29) menjadi larangan
membunuh diri sendiri dengan mandi junub dalam keadaan cuaca amat
dingin.Penafsiran di atas berangkat dari pemahaman „Amr mengenai hadas besar
yang menimpanya sehingga mengharuskannya untuk mandi junub agar dapat menjadi imam
shalat shubuh. Saat itu udara sangat dingin, dalam keadaan berhadas besar, ia
hanya bertayamum untuk melaksanakan shalat. Sebab bila mandi khawatir akan mati
kedinginan. Peristiwa ini disampaikannya kepada Rasulullah, kemudian Rasulullah
membenarkan ijtihadnya tersebut. Berkenaan dengan sumber tafsir dengan ra’yu yang
telah diuraikan di atas, tidak ada perbedaan pendapat di antara para ulama
mengenai kebolehannya untuk dijadikan sumber tafsir. Pada masa-masa
selanjutnya, tafsir bi al-ra’yi selalu menjadi masalah aktual. Hal tersebut
disebabkan adanya pelarangan terhadap tafsir al-ra’yi. Pelarangan ini tentu
saja mewariskan rasa takut dan menyebabkan penghalang untuk mengkaji isi
kandungan al-Qur’an dan masalah-masalah peradaban yang menjadi salah satu bukti
kekalnya la-Qur’an.[1]
A. Pembagian Tafsir Bir-Ra’yi
Tafsir
bir-ra’yi terbagi menjadi dua bagian:
1. Tafsir Al-Mahmudah
(Terpuji)
Tafsir yang terpuji ( ) yaitu
penafsiran yang berpedoman kepada al-Quran dan Sunnah Rasulullah, yang mana
seorang mufasir adalah orang yang menguasai seluk-beluk bahasa Arab,serta
kaidah-kaidah yang berkaitan dengan memahami dan menjelaskan makna ayat
al-Quran.
Seorang mufasir pada tafsir bir-ra’yi
al-mahmud ini mengerahkan kemampuannya dalam memahami al-Quran mendasari ijtihadnya
dengan kaidah kebahasaan, nash serta dalil syariah. Jadi, tafsir bir-ra’yi
al-mahmud adalah penafsiran yang menggunakan ijtihad yang didasari kepada kaidah
kebahasaan dan kadiah penafsiran, atau mufassir tersebut telah memenuhi syarat
sebagai seorang mufassir, baik aspek pengetahuan maupun aspek kepribadian. Para
ulama menjelaskan bahwa hukum menggunakan dan berpedoman kepada tafsir bir-ra’yi
al-mahmudini adalah boleh, karena tidak terdapat hal yang menyalahi aturan yang
akan membawa kepada penafsiran yang menyimpang.
2.
Tafsir Al-Mazmumah (Tercela)
Tafsir yang tercela (mazmumah)
adalah penafsiran yang hanya berpedoman pada ra’yu semata, dan mengikuti hawa
nafsu. Maksudnya, penafsiran yang tidak berpegang kepada nash-nash syariah.
Sumber penafsirannya didominasi oleh pendapat akal semata, seperti yang
dilakukan oleh para ahli bid’ah dan mazhab-mazhab yang bathil, serta membawa
pemahaman ayat sesuai dengan keinginan dan kepentingan mereka.
Dari penjelasan di atas, maka dapat
dipahami bahwa tafsir bir-ra’yi al-mazmum muncul dari orang-orang yang
serampangan dalam memahami ayat al-Quran, serta orang-orang yang belum memenuhi
syarat menjadi seorang mufassir, baik aspek pengetahuan maupun aspek kepribadian. Para ulama
menjelaskan bahwa hukum menggunakan dan menyampaikan tafsir bir-ra’yi al-mazmu
tidak boleh atau haram, karena tafsir ini hanya berpedoman kepada akal semata
tanpa didasar kepada ilmu.[2]
Allah berfirman :
وَلَا تَقۡفُ مَا لَيۡسَ لَكَ
بِهِۦ عِلۡمٌۚ
“Dan janganlah kamu mengikuti apa-apa yang kamu tidak
mempunyai pengetahuan tentangnya”. (QS. Al Isra’: 36)[3]
Firman
Allah lagi:
قُلۡ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ ٱلۡفَوَٰحِشَ مَا
ظَهَرَ مِنۡهَا وَمَا بَطَنَ وَٱلۡإِثۡمَ وَٱلۡبَغۡيَ بِغَيۡرِ ٱلۡحَقِّ وَأَن
تُشۡرِكُواْ بِٱللَّهِ مَا لَمۡ يُنَزِّلۡ بِهِۦ سُلۡطَٰنٗا وَأَن تَقُولُواْ
عَلَى ٱللَّهِ مَا لَا تَعۡلَمُونَ ٣٣
Artinya:
“Katakanlah: Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan keji, baik yang tampak maupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa. Melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu. Dan (mengharamkan) kamu mengatakan terhadap Allah dengan sesuatu yang tidak kamu ketahui.” (Al A’raf: 33)
“Katakanlah: Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan keji, baik yang tampak maupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa. Melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu. Dan (mengharamkan) kamu mengatakan terhadap Allah dengan sesuatu yang tidak kamu ketahui.” (Al A’raf: 33)
Juga sabda Rasulullah saw:
Artinya:“
Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma dia berkata, bersabda Rasulullah saw: “Barang
siapa menafsirkan Al Qur’an dengan tanpa ilmu, maka siapkanlah tempatnya di
neraka”.[4]
B. Contoh-contoh Tafsir Bir-Ra’yi
1. Berikut
ini adalah contoh tafsir bir-ra’yi, dari tafsir Jalalain Surat Al-Fatihah:
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
(Dengan
nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang)
الحمد لله
جملة خبرية قصد بها الثناء على الله بمضمونها على أنه تعالى : مالك لجميع الحمد من
الخلق آو مستحق لأن يحمدوه والله علم على المعبود بحق رب
العالمين أي مالك جميع الخلق من الإنس والجن والملائكة والدواب وغيرهم
وكل منها يطلق عليه عالم يقال عالم الإنس وعالم الجن إلى غير ذلك وغلب في جمعه
بالياء والنون أولي العلم على غيرهم وهو من العلامة لأنه علامة على موجده
(Segala
puji bagi Allah) Lafal ayat ini merupakan kalimat berita, dimaksud sebagai
ungkapan pujian kepada Allah berikut pengertian yang terkandung di dalamnya,
yaitu bahwa Allah Taala adalah yang memiliki semua pujian yang diungkapkan oleh
semua hamba-Nya. Atau makna yang dimaksud ialah bahwa Allah Taala itu adalah
Zat yang harus mereka puji. [5]
Lafal
Allah merupakan nama bagi Zat yang berhak untuk disembah. (Tuhan semesta alam)
artinya Allah adalah yang memiliki pujian semua makhluk-Nya, yaitu terdiri dari
manusia, jin, malaikat, hewan-hewan melata dan lain-lainnya.Masing-masing
mereka disebut alam. Oleh karenanya ada alam manusia, alam jin dan lain
sebagainya. Lafal 'al-`aalamiin' merupakan bentuk jamak dari lafal '`aalam',
yaitu dengan memakai huruf ya dan huruf nun untuk menekankan makhluk
berakal/berilmu atas yang lainnya. Kata 'aalam berasal dari kata `alaamah
(tanda) mengingat ia adalah tanda bagi adanya yang menciptakannya).
الرحمن الرحيم
أي ذي الرحمة وهي إرادة الخير لأهله
(Yang
Maha Pemurah lagi Maha Penyayang) yaitu yang mempunyai rahmat. Rahmat ialah
menghendaki kebaikan bagi orang yang menerimanya).
مالك يوم الدين
أي الجزاء وهو يوم القيامة وخص بالذكر لأنه لا ملك ظاهرا فيه لأحد إلا لله تعالى
بدليل { لمن الملك اليوم ؟ لله } ومن قرأ مالك فمعناه مالك الأمر كله في يوم
القيامة أو هو موصوف بذلك دائما كغافر الذنب فصح وقوعه صفة لمعرفة
(Yang
menguasai hari pembalasan) di hari kiamat kelak. Lafal 'yaumuddiin' disebutkan
secara khusus, karena di hari itu tiada seorang pun yang mempunyai kekuasaan,
kecuali hanya Allah Taala semata, sesuai dengan firman Allah Taala yang
menyatakan, "Kepunyaan siapakah kerajaan pada hari ini (hari kiamat)?
Kepunyaan Allah Yang Maha Esa lagi Maha Mengalahkan." (Q.S. Al-Mukmin 16)
Bagi orang yang membacanya 'maaliki' maknanya menjadi "Dia Yang memiliki
semua perkara di hari kiamat". Atau Dia adalah Zat yang memiliki sifat ini
secara kekal, perihalnya sama dengan sifat-sifat-Nya yang lain, yaitu seperti
'ghaafiruz dzanbi' (Yang mengampuni dosa-dosa). Dengan demikian maka lafal
'maaliki yaumiddiin' ini sah menjadi sifat bagi Allah, karena sudah ma`rifah
(dikenal).[6]
إياك نعبد وإياك
نستعين أي نخصك بالعبادة من توحيد وغيره
ونطلب المعونة على العبادة وغيرها
(Hanya
Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan)
Artinya kami beribadah hanya kepada-Mu, seperti mengesakan dan lain-lainnya,
dan kami memohon pertolongan hanya kepada-Mu dalam menghadapi semua hamba-Mu
dan lain-lainnya).
اهدنا الصراط
المستقيم أي أرشدنا إليه ويبدل منه
(Tunjukilah
kami ke jalan yang lurus) Artinya bimbinglah kami ke jalan yang lurus, kemudian
dijelaskan pada ayat berikutnya, yaitu:
صِرَاطَ الذين
أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ بالهداية ويبدل من الذين
بصلته غَيْرِ المغضوب عَلَيْهِمْ وهم
اليهود وَلاَ وغير الضالين وهم النصارى ونكتة البدل إفادة أن المهتدين
ليسوا يهوداً ولا نصارى والله أعلم بالصواب، وإليه المرجع والمآب وصلى الله على
سيدنا محمد وعلى آله وصحبه وسلم تسليما كثيرا دائما أبدا، وحسبنا الله ونعم
الوكيل، ولا حول ولا قوة إلا بالله العلي العظيم
(Jalan
orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka), yaitu melalui
petunjuk dan hidayah-Mu. Kemudian diperjelas lagi maknanya oleh ayat berikut:
(Bukan (jalan) mereka yang dimurkai) Yang dimaksud adalah orang-orang Yahudi.
(Dan bukan pula) dan selain (mereka yang sesat.) Yang dimaksud adalah
orang-orang Kristen. Faedah adanya penjelasan tersebut tadi mempunyai
pengertian bahwa orang-orang yang mendapat hidayah itu bukanlah orang-orang
Yahudi dan bukan pula orang-orang Kristen. Hanya Allahlah Yang Maha Mengetahui
dan hanya kepada-Nyalah dikembalikan segala sesuatu. Semoga selawat dan
salam-Nya dicurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad saw. beserta keluarga
dan para sahabatnya, selawat dan salam yang banyak untuk selamanya. Cukuplah
bagi kita Allah sebagai penolong dan Dialah sebaik-baik penolong. Tiada daya
dan tiada kekuatan melainkan hanya berkat pertolongan Allah Yang Maha Tinggi
lagi Maha Besar.[7]
2. Berikut
ini adalah contoh tafsir bir-ra’yi dengan penafsiran yang keliru (mazmumah).
Ayat Al-Quran yang jika ditafsirkan oleh orang yang bodoh akan menjadi rusak
maksudnya.
وَمَن كَانَ فِي
هَٰذِهِۦٓ أَعۡمَىٰ فَهُوَ فِي ٱلۡأٓخِرَةِ أَعۡمَىٰ وَأَضَلُّ سَبِيلٗا ٧٢
“Barang
siapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia
akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan yang benar.” (Q.S.
Al-Isra : 72)
Pada
ayat ini, ditafsirkan bahwasanya setiap
orang yang buta (matanya) di dunia, maka di akhirat pun mereka tetap buta mata,
dan akan sengsara dan menderita di akhirat kelak dengan dimasukkannya mereka ke
dalam neraka. Padahal yang dimaksudkan dengan buta dalam ayat ini adalah buta
hati, dengan dalil firman Allah swt:
...
فَإِنَّهَا لَا تَعۡمَى ٱلۡأَبۡصَٰرُ وَلَٰكِن تَعۡمَى ٱلۡقُلُوبُ ٱلَّتِي فِي
ٱلصُّدُورِ ٤٦
“……..
Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati
dalam dada.” (Q.S. Al- Hajj : 46).[8]
C.
Pandangan
Ahli Tafsir Tentang Tafsir Bir-Ra’yi
Pemahaman ulama tafsir terhadap tafsir bir-ra’yi membagi mereka
dalam dua golongan, yaitu ulama tafsir yang melarang dan membolehkan tafsir bir-ra’yi.
Umumnya yang melarang melakukan penafsiran al-Qur’an dengan al-ra’yu
adalah golongan ulama salaf.
Menurut mereka yang tidak membolehkan, pada tafsir bir-ra’yi
seorang mufassir menerangkan makna-makna yang terkandung di balik teks
al-Qur’an hanya berpegang pada pemahaman sendiri dan penyimpulannya (istinbāṭ)
didasarkan pada akal semata. Dan landasan pemahamannya juga jauh dari ruh
syari’at dan nas-nasnya.[9]
Beberapa pendapat para ulama yang melarang adanya tafsir bir-ra’yi adalah
sebagai berikut:
Menafsirkan
Al-Qur’a dengan ra’yu (rasio) dan ijtihad semata tanpa ada dasar yang sahih adalah
haram, berdasarkan firman Allah,
وَلَا تَقۡفُ مَا
لَيۡسَ لَكَ بِهِۦ عِلۡمٌۚ إِنَّ ٱلسَّمۡعَ وَٱلۡبَصَرَ وَٱلۡفُؤَادَ كُلُّ
أُوْلَٰٓئِكَ كَانَ عَنۡهُ مَسُۡٔولٗا ٣٦
“Dan
janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.
Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta
pertanggungan jawabnya” (QS. Al-Isra: 36).
Juga
hadis nabi:
مَنْ
قَالَ فِي القُرأَنِ بِرَأْيِهِ –
أَوْ بِمَالَايَعْلَم – فَلْيَتَبَوَّأْ
مَقْعَدَهُ مِنَ النَّار
“Barangsiapa
berkata tentang Al-Qur’an menurut pendapatnya sendiri atau menurut apa yang
tidak di ketahuinya, hendaklah ia menempati tempat duduk di dalam neraka”
(HR. At-Tirmidzi).
Oleh sebab itu, para ulama terdahulu keberatan untuk
menafsirkan Al-Qur’an dengan sesuatu yang tidak mereka ketahui. Dari Yahya bin
Sa’id diriwayatkan dari Sa’id bin Musayyab. Apabila ia ditanya tentang tafsir
satu ayat Al-Qur’an maka ia menjawab, “Kami tidak akan berkomentar apapun tentang
Al-Qur’an. (HR. Imam Malik). Abu Ubaid Al-Qasim bin Sallam meriwayatkan, Abu
Bakar Ash-Shiddiq, pernah di tanya tentang maksud kata “abba” dalam
firman Allah “wa fakihatan wa abban” (QS. ‘Abasa : 31), beliau menjawab,
“Langit manakah yang akan menaungiku dan bumi manakah yang akan menyanggahku
untuk berpijak, jika aku mengatakan tentang kalamullah yang saya tidak tahu apa
maksudnya?” (HR. Ibnu Abi Syaibah).[10]
Menurut Ath-Thabari, menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an
yang tidak diketahui maknanya kecuali dengan penjelasan Rasulullah secara jelas
dan tegas, tidak seorangpun diizinkan untuk menafsirkannya menurut pendapatnya
sendiri. Bahkan apabila tepat dan benar sekalipun ia tetap di pandang telah
melakukan sebuah kesalahan. Orang yang mengatakan sesuatu tentang agama Allah
menurut dugaannya, berarti ia mengatakan sesuatu yang pada dasarnya tidak tahu.
Allah telah mengharamkan perbuatan demikian.
قُلۡ إِنَّمَا
حَرَّمَ رَبِّيَ ٱلۡفَوَٰحِشَ مَا ظَهَرَ مِنۡهَا وَمَا بَطَنَ وَٱلۡإِثۡمَ
وَٱلۡبَغۡيَ بِغَيۡرِ ٱلۡحَقِّ
وَأَن تُشۡرِكُواْ
بِٱللَّهِ مَا لَمۡ يُنَزِّلۡ بِهِۦ سُلۡطَٰنٗا وَأَن تَقُولُواْ عَلَى ٱللَّهِ
مَا لَا تَعۡلَمُونَ ٣٣
“Katakanlah:
"Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun
yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang
benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak
menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah
apa yang tidak kamu ketahui" (QS. Al-A’raaf 33)
Kemudian Ath-Thabari menjelaskan bahwa mufassir yang paling
berhak atas kebenaran dalam mentafsirkan Qur’an yang penafsirannya dapat
diketahui oleh manusia adalah mufassir yang paling tegas hujjahnya mengenai apa
yang ditafsirkan dan dita’wilkannya karena penafsirannya disandarkan kepada
Rasulullah, bukan kepada yang lain. Dan dapat di katakan handal yang dapat di
jamin keshahihan argumentasinya yaitu mereka yang menggunakan kaidah-kaidah
bahasa, baik menggunakan rujukan syair-syair Arab baku maupun dengan
memperhatikan tutur kata dan ungkapan mereka.[11]
Namun sebagian besar ulama membolehkan menafsirkan
dengan menggunakan metode tafsir bir-ra’yi. Dengan tingkat kehati-hatian
(ikhtiyāṭ) yang tinggi, mereka menempuh jalur al-jam’u wa
al-tafrīq (mengkompromikan dan memilah-milah) sehingga mereka memunculkan
beberapa syarat bagi mufassir sebagai ketentuan baku yang telah disepakati.[12]
Mereka, para ulama tafsir yang membolehkan, berpijak
pada al-Qur’an sendiri yang mendorong supaya berijtihad dan memikirkan
ayat-ayatnya, guna mengetahui hukum-hukum yang ada di balik rangkaian ayat-ayat
di dalamnya. Mereka bersandar pada firman Allah sebagai berikut:
a) Dalam
kitabullah banyak terdapat seruan dan anjuran untuk melakukan peninjauan
(nazhar) dan perenungan dan pemikiran (tafakur). Di antaranya adalah firman
Allah:
كِتَٰبٌ
أَنزَلۡنَٰهُ إِلَيۡكَ مُبَٰرَكٞ لِّيَدَّبَّرُوٓاْ ءَايَٰتِهِۦ وَلِيَتَذَكَّرَ
أُوْلُواْ ٱلۡأَلۡبَٰبِ ٢٩
“ini
adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya
mereka memperhatikan ayat-ayatNya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang
yang mempunyai fikiran” (QS. Shaad:29).[13]
b) Allah
SWT. membagi manusia dalam dua klasifikasi; kelompok awam dan kelompok
ulama (cerdik cendekiawan). Allah memerintahkan mengembalikan segala persoalan
kepada ulama yang bisa mengambil dasar hukum, firman Allah:
...ۖ
وَلَوۡ رَدُّوهُ إِلَى ٱلرَّسُولِ وَإِلَىٰٓ أُوْلِي ٱلۡأَمۡرِ مِنۡهُمۡ
لَعَلِمَهُ ٱلَّذِينَ يَسۡتَنۢبِطُونَهُۥ مِنۡهُمۡۗ ... ٨٣
“Dan kalau mereka menyerahkannya kepada
Rasul dan ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin
mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan ulil
Amri).” (QS. An-Nisa’:83)
c) Mereka
berpendapat, “bila penafsiran menurut ijtihad tidak dibenarkan maka ijtihad itu
sendiri niscaya tidak diperbolehkan. Akibatnya banyak hukum yang
terkatung-katung. Hal ini tidak mungkin karena bila seorang mujtahid berijtihad
dalam hukum syara’, ia akan mendapatkan pahala, baik benar maupun salah dalam
ijtihadnya.[14]
d) Pendapat
tentang larangan berbicara tentang Al-Qur’an berdasarkan ra’yinya karena
berdasarkan hadis nabi:
من قال في القرأن يرأيه فأصاب فقدأخطأ
“Siapa
yang berbicara tentang Al-Qur’an berdasarkan ra’yinya, kemudian benar,maka itu
tetap di anggap salah”. [15]
Kitab-kitab tafsir bi
al-ra’yi yang tergolong al-maḥmūdah yang banyak dikenal, antara lain,
adalah:
1) Mafatihul Ghaib,
oleh: Fakhr al-Dīn al-Rāziy
2) Anwār al-Tanzīl wa Asrār al-Ta’wīl,
oleh Al-Baiḍawi
3) Madārik al-Tanzīl wa Ḥaqā’iq
al-Ta’wīl, oleh: Al-Nasāfi
4) Al-Tafsīr al Jalālayn,
oleh: Jalāl al-Dīn Al-Maḥalliy dan Jalāl al-Dīn Al-Suyūṭi
6) Rūḥ al-Ma’āniy,
oleh Al-Alūsiy.
7) Lubāb
al-Ta’wīl fi Ma’ān al-Tanzīl, oleh: Al-Khāzin
8) Al-Bahr al-Muḥīṭ,
oleh: Abū Hayyān
9) Gharā’ib al-Qur’ān wa Raghā’ib al-Furqān,
oleh: Al-Naisabūriy
10) Al-Sirāj
al-Munīr, oleh: Al Khātib Al-Sharbiniy
BAB
III
PENUTUP
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, tafsir bi
al-ra’yi adalah upaya menjelaskan makna ayat al-Qur’an dengan menggunakan
kemampuan akal pikiran namun tetap dalam batasan yang tidak melenceng dari
shari’ah Islam dan syarat-syarat yang telah ditentukan oleh para ulama.
Para ulama berbeda pendapat tentang status hukum
tafsir bir-ra’yi, ada ulama yang membolehkan untuk menafsirkan Al-Qur’an, dan
ada yang melarang dengan keras menafsirkan Al-Qur’an dengan hadis. Namun jika
di cermati kedua ulama sebenarnya hanya perbedaan dalam hal lafzhi, intinya
kedua pendapat sama-sama melarang penafsiran Al-Qur’an bir-ra’yi tanpa
kaidah-kaidah khusus yang harus di kuasai seorang mufassir sebelum menafsir
Al-Qur’an.
DAFTAR
PUSTAKA
Basuni
Mahmud. 1987. Tafsir-tafsir Al-Qur’an. Bandung:
Pustaka.
AS
Mudzakir. 2013. Manna’ Khalil al-Qattan.
Bogor: Pustaka Litera AntarNusa.
Zaini
Muhammad. 2012. Sumber-sumber Penafsiran
Al-Qur’an {Ebook}. Banda Aceh.
Rani
Jani. 2012. Kelemahan-kelemahan dalam
Manahij Al-Mufassirin {Ebook}.
[1] Sumber-sumber Penafsiran {Ebook}, Halaman 32-33.
[2] Rani
Jani, Kelemahan-kelemahan dalam Manahij
Al-Mufassirin {Ebook}, Halaman
170-171.
[9] AS
Mudzakir, Manna Khalil al-Qattan,
Halaman 488-489.
[10] Manna Khalil al-Qattan, Halaman 489.
[11] Manna Khalil al-Qattan, Halaman 489-491.
[13] Tafsir-tafsir Al-Qur’an, Halaman 67.
[16] Tafsir-tafsir Al-Qur’an, halaman 78.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar