Minggu, 19 Mei 2019

Tafsir Bir-Ra’yi


BAB I

PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Al-Qur’an sebagai pedoman hidup sehari-hari bagi setiap umat muslim sepanjang massa. Oleh karenanya setiap muslim diwajibkan untuk berusaha mengamalkannya, baik dalam hal kehidupan duniawi terlebih lagi untuk masalah ukhrawi. Dan sebuah bukti kekuasaan Allah Subhanahu wa ta’ala bahwa Al-Qur’an sampai saat ini masih relevan dan justru banyak dari Al-Qur’an yang terbukti secara ilmiah, dan menjadi dasar hukum dalam pengembangan sains.
Hal ini tentu tidak terlepas dariproses penafsiran Al-Qur’an dengan ijtihad para ulama yang benar-benar maupun kapasitasnya sebagai seorang mufassir, sehingga di hasilkan penafsiran yang tidak bertentangan dengan syari’at.
Namun demikian, tidak menutup kemungkinan tafsir Bir-Ra’yi akan menghasilkan penafsiran yang melenceng  dari syari’at dan tersebar ke masyarakat umum.
B.    Rumusan Masalah
1.     Apa yang dimaksud dengan Tafsir Bir-Ra’yi?
2.     Bagaimana pembagian Tafsir Bir-ra’yi?
3.     Bagaimana contoh penafsiran Tafsir Bir-Ra’yi?
4.     Bagaimana pendapat para ulama tentang Tafsir Bir-Ra’yi?
5.     Apa saja kitab-kitab Tasir Bir-Ra’yi?
C.    Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.     Memahami Tafsir Bir-Ra’yi;
2.     Mengetahui pembagian Tafsir Bir-Ra’yi;
3.     Mengetahui contoh penafsiran;
4.     Mengetahui bagaimana pendapat para ulama tentang Tafsir Bir-Ra’yi;
5.     Mengetahui kitab-kitab Tafsir Bir-Ra’yi.
D.    Metode Penulisan
Metode yang di gunakan adalah metode pustaka, dengan cara mempelajari dan mengumpulkan data dalam yang berhubungan dengan materi ini, baik buku maupun sumber informasi dari internet.
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Tafsir Bir-Ra’yu
Kata ra’yu dapat diartikan:
1.     Al-i’tiqad (keyakinan), misalnya dalam kalimat “inilah ra’yuku”, yang berarti “inilah i’tiqad (keyakinan)ku.
2.     Al-qiyas, orang-orang yang suka mempergunakan qiyas disebut juga ashabur-ra’yi (orang-orang yang suka mempergunakan ra’yu).mereka banyak menggunakan qiyas (analogi) dalam berdalil.
3.     Al-ijtihad. Arti inilah yang dimaksudkan dengan istilah “ra’yu” dalam pembahasan ini.[1]
Istilah ra’yu dekat  maknanya  dengan  ijtihad  (kebebasan  penggunaan  akal)  yang  didasarkan atas  prinsip-prinsip  yang  benar,  menggunakan  akal  sehat  dan  persyaratan  yang ketat.  Sandaran  yang  dipakai  adalah  bahasa,  budaya  Arab  yang  terkandung  di dalamnya,  pengetahuan  tentang  gaya  bahasa  sehari-hari  dan  kesadaran  akan pentingnya  sains  yang  amat  diperlukan  oleh  mereka  yang  ingin  menafsirkan  al-Qur’an. Secara realita, setelah Rasulullah wafat pada tahun 11 H (623 M), para sahabat makin giat mempelajari al-Qur‟an dan memahami maknanya dengan jalan riwayat secara lisan dari sahabat yang satu kepada sahabat yang lain, terutama mereka yang banyak mendengarkan hadis dan tafsir dari Nabi. Penafsiran para sahabat pada mulanya didasarkan atas sumber yang mereka terima dari Nabi. Mereka banyak mendengarkan tafsiran Nabi dan memahaminya dengan baik. Mereka menyaksikan peristiwa yang melatar belakangi turunnya ayat dan menguasai bahasa Arab secara baik. Mereka juga mengetahui dan menghayati budaya serta adat istiadat bangsa Arab. Penafsiran sahabat pada umumnya adalah menggunakan riwayat (ma’tsur). Akan tetapi penggunaan ra’yi sebagai sumber tafsir pada kenyataannya juga sudah muncul pada masa-masa sahabat.[2]




[1] Dr. Basuni Mahmud, Tafsir-tafsir Al-Qur’an, Bandung: Pustaka. Hal 62.
[2] Zaini Muhammad, sumber-sumber Penafsiran Al-qur’an{Ebook}, Banda Aceh. Hal 32. 

Petunjuk adanya penggunaan ra’yu oleh sahabat dalam memahami al-Qur’an antara lain adalah sebagaimana kasus „Adi bin Hatim yang berkata: Ketika ayat ini turun, “hatta yatabayyana lakum al-khaith al-abyadh min al-khaith al-aswad...” (...hingga jelas bagimu benang putih dan benang hitam... Q.S. al-Baqarah (2): 187), saya sengaja meletakkan iqal (semacam ikat kepala) hitam dan iqal putih di bawah bantal. Pada malam harinya kulihat tentang seruan itu, dan ternyata aku tidak mendapatkan kejelasan yang dimaksud. Pagi harinya aku pergi menemui Rasulullah dan ku ceritakan peristiwa tersebut kepada beliau. Rasulullah menjawab:”Sebenarnya yang dimaksud dengan hal itu adalah pekatnya malam dan terangnya siang”.
Di samping riwayat di atas terdapat juga riwayat-riwayat yang meng-isyaratkan bahwa para sahabat Nabi menafsirkan al-Qur’an dengan kemampuan ra’yu. Walaupun demikian tafsir dengan ra’yu yang dilakukan para sahabat telah mendapatkan pembenaran dari Nabi sendiri, baik melalui pengakuan (taqrir) atau pun koreksi (tashih). Hal ini dapat dilihat antara lain riwayat yang menyata-kan bahwa ketika terjadi perang Zat al-Salasil pada saat musim dingin, pada saat itu Amr bin Ash menafsirkan ayat “...Wala Taqtulu Anfusakum...” (...dan jangan-lah kamu membunuh dirimu..., Q.S. al-Nisa‟ (4):29) menjadi larangan membunuh diri sendiri dengan mandi junub dalam keadaan cuaca amat dingin.Penafsiran di atas berangkat dari pemahaman „Amr mengenai hadas besar yang menimpanya sehingga mengharuskannya untuk mandi junub agar dapat menjadi imam shalat shubuh. Saat itu udara sangat dingin, dalam keadaan berhadas besar, ia hanya bertayamum untuk melaksanakan shalat. Sebab bila mandi khawatir akan mati kedinginan. Peristiwa ini disampaikannya kepada Rasulullah, kemudian Rasulullah membenarkan ijtihadnya tersebut. Berkenaan dengan sumber tafsir dengan ra’yu yang telah diuraikan di atas, tidak ada perbedaan pendapat di antara para ulama mengenai kebolehannya untuk dijadikan sumber tafsir. Pada masa-masa selanjutnya, tafsir bi al-ra’yi selalu menjadi masalah aktual. Hal tersebut disebabkan adanya pelarangan terhadap tafsir al-ra’yi. Pelarangan ini tentu saja mewariskan rasa takut dan menyebabkan penghalang untuk mengkaji isi kandungan al-Qur’an dan masalah-masalah peradaban yang menjadi salah satu bukti kekalnya la-Qur’an.[1]

A.    Pembagian Tafsir Bir-Ra’yi
Tafsir bir-ra’yi terbagi menjadi dua bagian:
1.     Tafsir Al-Mahmudah (Terpuji)
Tafsir yang terpuji ( ) yaitu penafsiran yang berpedoman kepada al-Quran dan Sunnah Rasulullah, yang mana seorang mufasir adalah orang yang menguasai seluk-beluk bahasa Arab,serta kaidah-kaidah yang berkaitan dengan memahami dan menjelaskan makna ayat al-Quran.
Seorang mufasir pada tafsir bir-ra’yi al-mahmud ini mengerahkan kemampuannya dalam memahami al-Quran mendasari ijtihadnya dengan kaidah kebahasaan, nash serta dalil syariah. Jadi, tafsir bir-ra’yi al-mahmud adalah penafsiran yang menggunakan ijtihad yang didasari kepada kaidah kebahasaan dan kadiah penafsiran, atau mufassir tersebut telah memenuhi syarat sebagai seorang mufassir, baik aspek pengetahuan maupun aspek kepribadian. Para ulama menjelaskan bahwa hukum menggunakan dan berpedoman kepada tafsir bir-ra’yi al-mahmudini adalah boleh, karena tidak terdapat hal yang menyalahi aturan yang akan membawa kepada penafsiran yang menyimpang.

2.     Tafsir Al-Mazmumah (Tercela)
Tafsir yang tercela (mazmumah) adalah penafsiran yang hanya berpedoman pada ra’yu semata, dan mengikuti hawa nafsu. Maksudnya, penafsiran yang tidak berpegang kepada nash-nash syariah. Sumber penafsirannya didominasi oleh pendapat akal semata, seperti yang dilakukan oleh para ahli bid’ah dan mazhab-mazhab yang bathil, serta membawa pemahaman ayat sesuai dengan keinginan dan kepentingan mereka.
Dari penjelasan di atas, maka dapat dipahami bahwa tafsir bir-ra’yi al-mazmum muncul dari orang-orang yang serampangan dalam memahami ayat al-Quran, serta orang-orang yang belum memenuhi syarat menjadi seorang mufassir, baik aspek pengetahuan maupun aspek kepribadian. Para ulama menjelaskan bahwa hukum menggunakan dan menyampaikan tafsir bir-ra’yi al-mazmu tidak boleh atau haram, karena tafsir ini hanya berpedoman kepada akal semata tanpa didasar kepada ilmu.[2]
Allah berfirman :   وَلَا تَقۡفُ مَا لَيۡسَ لَكَ بِهِۦ عِلۡمٌۚ
“Dan janganlah kamu mengikuti apa-apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya”. (QS. Al Isra’: 36)[3]

Firman Allah lagi:
قُلۡ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ ٱلۡفَوَٰحِشَ مَا ظَهَرَ مِنۡهَا وَمَا بَطَنَ وَٱلۡإِثۡمَ وَٱلۡبَغۡيَ بِغَيۡرِ ٱلۡحَقِّ وَأَن تُشۡرِكُواْ بِٱللَّهِ مَا لَمۡ يُنَزِّلۡ بِهِۦ سُلۡطَٰنٗا وَأَن تَقُولُواْ عَلَى ٱللَّهِ مَا لَا تَعۡلَمُونَ ٣٣
Artinya:
“Katakanlah: Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan keji, baik yang tampak maupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa. Melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu. Dan (mengharamkan) kamu mengatakan terhadap Allah dengan sesuatu yang tidak kamu ketahui.” (Al A’raf: 33)

Juga sabda Rasulullah saw:
Artinya:“ Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma dia berkata, bersabda Rasulullah saw: “Barang siapa menafsirkan Al Qur’an dengan tanpa ilmu, maka siapkanlah tempatnya di neraka”.[4]

B.    Contoh-contoh Tafsir Bir-Ra’yi
1.     Berikut ini adalah contoh tafsir bir-ra’yi, dari tafsir Jalalain Surat Al-Fatihah:
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
(Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang)
الحمد لله جملة خبرية قصد بها الثناء على الله بمضمونها على أنه تعالى : مالك لجميع الحمد من الخلق آو مستحق لأن يحمدوه والله علم على المعبود بحق رب العالمين أي مالك جميع الخلق من الإنس والجن والملائكة والدواب وغيرهم وكل منها يطلق عليه عالم يقال عالم الإنس وعالم الجن إلى غير ذلك وغلب في جمعه بالياء والنون أولي العلم على غيرهم وهو من العلامة لأنه علامة على موجده
(Segala puji bagi Allah) Lafal ayat ini merupakan kalimat berita, dimaksud sebagai ungkapan pujian kepada Allah berikut pengertian yang terkandung di dalamnya, yaitu bahwa Allah Taala adalah yang memiliki semua pujian yang diungkapkan oleh semua hamba-Nya. Atau makna yang dimaksud ialah bahwa Allah Taala itu adalah Zat yang harus mereka puji. [5]
Lafal Allah merupakan nama bagi Zat yang berhak untuk disembah. (Tuhan semesta alam) artinya Allah adalah yang memiliki pujian semua makhluk-Nya, yaitu terdiri dari manusia, jin, malaikat, hewan-hewan melata dan lain-lainnya.Masing-masing mereka disebut alam. Oleh karenanya ada alam manusia, alam jin dan lain sebagainya. Lafal 'al-`aalamiin' merupakan bentuk jamak dari lafal '`aalam', yaitu dengan memakai huruf ya dan huruf nun untuk menekankan makhluk berakal/berilmu atas yang lainnya. Kata 'aalam berasal dari kata `alaamah (tanda) mengingat ia adalah tanda bagi adanya yang menciptakannya).
الرحمن الرحيم أي ذي الرحمة وهي إرادة الخير لأهله
(Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang) yaitu yang mempunyai rahmat. Rahmat ialah menghendaki kebaikan bagi orang yang menerimanya).
مالك يوم الدين أي الجزاء وهو يوم القيامة وخص بالذكر لأنه لا ملك ظاهرا فيه لأحد إلا لله تعالى بدليل { لمن الملك اليوم ؟ لله } ومن قرأ مالك فمعناه مالك الأمر كله في يوم القيامة أو هو موصوف بذلك دائما كغافر الذنب فصح وقوعه صفة لمعرفة
(Yang menguasai hari pembalasan) di hari kiamat kelak. Lafal 'yaumuddiin' disebutkan secara khusus, karena di hari itu tiada seorang pun yang mempunyai kekuasaan, kecuali hanya Allah Taala semata, sesuai dengan firman Allah Taala yang menyatakan, "Kepunyaan siapakah kerajaan pada hari ini (hari kiamat)? Kepunyaan Allah Yang Maha Esa lagi Maha Mengalahkan." (Q.S. Al-Mukmin 16) Bagi orang yang membacanya 'maaliki' maknanya menjadi "Dia Yang memiliki semua perkara di hari kiamat". Atau Dia adalah Zat yang memiliki sifat ini secara kekal, perihalnya sama dengan sifat-sifat-Nya yang lain, yaitu seperti 'ghaafiruz dzanbi' (Yang mengampuni dosa-dosa). Dengan demikian maka lafal 'maaliki yaumiddiin' ini sah menjadi sifat bagi Allah, karena sudah ma`rifah (dikenal).[6]



إياك نعبد وإياك نستعين أي نخصك بالعبادة من توحيد وغيره ونطلب المعونة على العبادة وغيرها
(Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan) Artinya kami beribadah hanya kepada-Mu, seperti mengesakan dan lain-lainnya, dan kami memohon pertolongan hanya kepada-Mu dalam menghadapi semua hamba-Mu dan lain-lainnya).
اهدنا الصراط المستقيم أي أرشدنا إليه ويبدل منه
(Tunjukilah kami ke jalan yang lurus) Artinya bimbinglah kami ke jalan yang lurus, kemudian dijelaskan pada ayat berikutnya, yaitu:
صِرَاطَ الذين أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ بالهداية ويبدل من الذين بصلته غَيْرِ المغضوب عَلَيْهِمْ وهم اليهود وَلاَ وغير الضالين وهم النصارى ونكتة البدل إفادة أن المهتدين ليسوا يهوداً ولا نصارى والله أعلم بالصواب، وإليه المرجع والمآب وصلى الله على سيدنا محمد وعلى آله وصحبه وسلم تسليما كثيرا دائما أبدا، وحسبنا الله ونعم الوكيل، ولا حول ولا قوة إلا بالله العلي العظيم
(Jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka), yaitu melalui petunjuk dan hidayah-Mu. Kemudian diperjelas lagi maknanya oleh ayat berikut: (Bukan (jalan) mereka yang dimurkai) Yang dimaksud adalah orang-orang Yahudi. (Dan bukan pula) dan selain (mereka yang sesat.) Yang dimaksud adalah orang-orang Kristen. Faedah adanya penjelasan tersebut tadi mempunyai pengertian bahwa orang-orang yang mendapat hidayah itu bukanlah orang-orang Yahudi dan bukan pula orang-orang Kristen. Hanya Allahlah Yang Maha Mengetahui dan hanya kepada-Nyalah dikembalikan segala sesuatu. Semoga selawat dan salam-Nya dicurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad saw. beserta keluarga dan para sahabatnya, selawat dan salam yang banyak untuk selamanya. Cukuplah bagi kita Allah sebagai penolong dan Dialah sebaik-baik penolong. Tiada daya dan tiada kekuatan melainkan hanya berkat pertolongan Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar.[7]


2.    Berikut ini adalah contoh tafsir bir-ra’yi dengan penafsiran yang keliru (mazmumah). Ayat Al-Quran yang jika ditafsirkan oleh orang yang bodoh akan menjadi rusak maksudnya.
وَمَن كَانَ فِي هَٰذِهِۦٓ أَعۡمَىٰ فَهُوَ فِي ٱلۡأٓخِرَةِ أَعۡمَىٰ وَأَضَلُّ سَبِيلٗا ٧٢
“Barang siapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan  lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan yang benar.”  (Q.S. Al-Isra : 72)
Pada ayat ini, ditafsirkan  bahwasanya setiap orang yang buta (matanya) di dunia, maka di akhirat pun mereka tetap buta mata, dan akan sengsara dan menderita di akhirat kelak dengan dimasukkannya mereka ke dalam neraka. Padahal yang dimaksudkan dengan buta dalam ayat ini adalah buta hati, dengan dalil firman Allah swt:
... فَإِنَّهَا لَا تَعۡمَى ٱلۡأَبۡصَٰرُ وَلَٰكِن تَعۡمَى ٱلۡقُلُوبُ ٱلَّتِي فِي ٱلصُّدُورِ ٤٦
 “…….. Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati dalam dada.”  (Q.S. Al- Hajj : 46).[8]
C.    Pandangan Ahli  Tafsir Tentang Tafsir Bir-Ra’yi
Pemahaman ulama tafsir terhadap tafsir bir-ra’yi membagi mereka dalam dua golongan, yaitu ulama tafsir yang melarang dan membolehkan tafsir bir-ra’yi. Umumnya yang melarang melakukan penafsiran al-Qur’an dengan al-ra’yu adalah golongan ulama salaf.
Menurut mereka yang tidak membolehkan, pada tafsir bir-ra’yi seorang mufassir menerangkan makna-makna yang terkandung di balik teks al-Qur’an hanya berpegang pada pemahaman sendiri dan penyimpulannya (istinbāṭ) didasarkan pada akal semata. Dan landasan pemahamannya juga jauh dari ruh syari’at dan nas-nasnya.[9]
Beberapa pendapat para ulama yang melarang adanya tafsir bir-ra’yi adalah sebagai berikut:
Menafsirkan Al-Qur’a dengan ra’yu (rasio) dan ijtihad semata tanpa ada dasar yang sahih adalah haram, berdasarkan firman Allah,
وَلَا تَقۡفُ مَا لَيۡسَ لَكَ بِهِۦ عِلۡمٌۚ إِنَّ ٱلسَّمۡعَ وَٱلۡبَصَرَ وَٱلۡفُؤَادَ كُلُّ أُوْلَٰٓئِكَ كَانَ عَنۡهُ مَسۡ‍ُٔولٗا ٣٦
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya” (QS. Al-Isra: 36).
Juga hadis nabi:
مَنْ قَالَ فِي القُرأَنِ بِرَأْيِهِ أَوْ بِمَالَايَعْلَم فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّار
“Barangsiapa berkata tentang Al-Qur’an menurut pendapatnya sendiri atau menurut apa yang tidak di ketahuinya, hendaklah ia menempati tempat duduk di dalam neraka” (HR. At-Tirmidzi).
Oleh sebab itu, para ulama terdahulu keberatan untuk menafsirkan Al-Qur’an dengan sesuatu yang tidak mereka ketahui. Dari Yahya bin Sa’id diriwayatkan dari Sa’id bin Musayyab. Apabila ia ditanya tentang tafsir satu ayat Al-Qur’an maka ia menjawab, “Kami tidak akan berkomentar apapun tentang Al-Qur’an. (HR. Imam Malik). Abu Ubaid Al-Qasim bin Sallam meriwayatkan, Abu Bakar Ash-Shiddiq, pernah di tanya tentang maksud kata “abba” dalam firman Allah “wa fakihatan wa abban” (QS. ‘Abasa : 31), beliau menjawab, “Langit manakah yang akan menaungiku dan bumi manakah yang akan menyanggahku untuk berpijak, jika aku mengatakan tentang kalamullah yang saya tidak tahu apa maksudnya?” (HR. Ibnu Abi Syaibah).[10]



Menurut Ath-Thabari, menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an yang tidak diketahui maknanya kecuali dengan penjelasan Rasulullah secara jelas dan tegas, tidak seorangpun diizinkan untuk menafsirkannya menurut pendapatnya sendiri. Bahkan apabila tepat dan benar sekalipun ia tetap di pandang telah melakukan sebuah kesalahan. Orang yang mengatakan sesuatu tentang agama Allah menurut dugaannya, berarti ia mengatakan sesuatu yang pada dasarnya tidak tahu. Allah telah mengharamkan perbuatan demikian.
قُلۡ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ ٱلۡفَوَٰحِشَ مَا ظَهَرَ مِنۡهَا وَمَا بَطَنَ وَٱلۡإِثۡمَ وَٱلۡبَغۡيَ بِغَيۡرِ ٱلۡحَقِّ
وَأَن تُشۡرِكُواْ بِٱللَّهِ مَا لَمۡ يُنَزِّلۡ بِهِۦ سُلۡطَٰنٗا وَأَن تَقُولُواْ عَلَى ٱللَّهِ مَا لَا تَعۡلَمُونَ ٣٣
“Katakanlah: "Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui" (QS. Al-A’raaf 33)
Kemudian Ath-Thabari menjelaskan bahwa mufassir yang paling berhak atas kebenaran dalam mentafsirkan Qur’an yang penafsirannya dapat diketahui oleh manusia adalah mufassir yang paling tegas hujjahnya mengenai apa yang ditafsirkan dan dita’wilkannya karena penafsirannya disandarkan kepada Rasulullah, bukan kepada yang lain. Dan dapat di katakan handal yang dapat di jamin keshahihan argumentasinya yaitu mereka yang menggunakan kaidah-kaidah bahasa, baik menggunakan rujukan syair-syair Arab baku maupun dengan memperhatikan tutur kata dan ungkapan mereka.[11]
Namun sebagian besar ulama membolehkan menafsirkan dengan menggunakan metode tafsir bir-ra’yi. Dengan tingkat kehati-hatian (ikhtiyāṭ) yang tinggi, mereka menempuh jalur al-jam’u wa al-tafrīq (mengkompromikan dan memilah-milah) sehingga mereka memunculkan beberapa syarat bagi mufassir sebagai ketentuan baku yang telah disepakati.[12]
Mereka, para ulama tafsir yang membolehkan, berpijak pada al-Qur’an sendiri yang mendorong supaya berijtihad dan memikirkan ayat-ayatnya, guna mengetahui hukum-hukum yang ada di balik rangkaian ayat-ayat di dalamnya. Mereka bersandar pada firman Allah sebagai berikut:
a)     Dalam kitabullah banyak terdapat seruan dan anjuran untuk melakukan peninjauan (nazhar) dan perenungan dan pemikiran (tafakur). Di antaranya adalah firman Allah:
كِتَٰبٌ أَنزَلۡنَٰهُ إِلَيۡكَ مُبَٰرَكٞ لِّيَدَّبَّرُوٓاْ ءَايَٰتِهِۦ وَلِيَتَذَكَّرَ أُوْلُواْ ٱلۡأَلۡبَٰبِ ٢٩
“ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatNya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran” (QS. Shaad:29).[13]
b)     Allah SWT.  membagi manusia dalam dua klasifikasi; kelompok awam dan kelompok ulama (cerdik cendekiawan). Allah memerintahkan mengembalikan segala persoalan kepada ulama yang bisa mengambil dasar hukum, firman Allah
...ۖ وَلَوۡ رَدُّوهُ إِلَى ٱلرَّسُولِ وَإِلَىٰٓ أُوْلِي ٱلۡأَمۡرِ مِنۡهُمۡ لَعَلِمَهُ ٱلَّذِينَ يَسۡتَنۢبِطُونَهُۥ مِنۡهُمۡۗ ... ٨٣
“Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan ulil Amri).” (QS. An-Nisa’:83)
c)     Mereka berpendapat, “bila penafsiran menurut ijtihad tidak dibenarkan maka ijtihad itu sendiri niscaya tidak diperbolehkan. Akibatnya banyak hukum yang terkatung-katung. Hal ini tidak mungkin karena bila seorang mujtahid berijtihad dalam hukum syara’, ia akan mendapatkan pahala, baik benar maupun salah dalam ijtihadnya.[14]


d)     Pendapat tentang larangan berbicara tentang Al-Qur’an berdasarkan ra’yinya karena berdasarkan hadis nabi:
من قال في القرأن يرأيه فأصاب فقدأخطأ
“Siapa yang berbicara tentang Al-Qur’an berdasarkan ra’yinya, kemudian benar,maka itu tetap di anggap salah”. [15]
Kitab-kitab tafsir bi al-ra’yi yang tergolong al-maḥmūdah yang banyak dikenal, antara lain, adalah:
1)     Mafatihul Ghaib, oleh: Fakhr al-Dīn al-Rāziy
2)     Anwār al-Tanzīl wa Asrār al-Ta’wīl, oleh Al-Baiḍawi
3)     Madārik al-Tanzīl wa Ḥaqā’iq al-Ta’wīl, oleh: Al-Nasāfi
4)     Al-Tafsīr al Jalālayn, oleh: Jalāl al-Dīn Al-Maḥalliy dan Jalāl al-Dīn Al-Suyūṭi
5)     Irsyâd al-‘Aql as-Salîm, oleh: Abū al-Sa’ūd[16]
6)     Rūḥ al-Ma’āniy, oleh Al-Alūsiy.
7)     Lubāb al-Ta’wīl fi Ma’ān al-Tanzīl, oleh: Al-Khāzin
8)     Al-Bahr al-Muḥīṭ, oleh: Abū Hayyān
9)      Gharā’ib al-Qur’ān wa Raghā’ib al-Furqān, oleh: Al-Naisabūriy
10) Al-Sirāj al-Munīr, oleh: Al Khātib Al-Sharbiniy









BAB III
PENUTUP

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, tafsir bi al-ra’yi adalah upaya menjelaskan makna ayat al-Qur’an dengan menggunakan kemampuan akal pikiran namun tetap dalam batasan yang tidak melenceng dari shari’ah Islam dan syarat-syarat yang telah ditentukan oleh para ulama.
Para ulama berbeda pendapat tentang status hukum tafsir bir-ra’yi, ada ulama yang membolehkan untuk menafsirkan Al-Qur’an, dan ada yang melarang dengan keras menafsirkan Al-Qur’an dengan hadis. Namun jika di cermati kedua ulama sebenarnya hanya perbedaan dalam hal lafzhi, intinya kedua pendapat sama-sama melarang penafsiran Al-Qur’an bir-ra’yi tanpa kaidah-kaidah khusus yang harus di kuasai seorang mufassir sebelum menafsir Al-Qur’an.





















DAFTAR PUSTAKA
Basuni Mahmud. 1987. Tafsir-tafsir Al-Qur’an. Bandung: Pustaka.
AS Mudzakir. 2013. Manna’ Khalil al-Qattan. Bogor: Pustaka Litera AntarNusa.
Zaini Muhammad. 2012. Sumber-sumber Penafsiran Al-Qur’an {Ebook}. Banda Aceh.
Rani Jani. 2012. Kelemahan-kelemahan dalam Manahij Al-Mufassirin {Ebook}.













[1] Sumber-sumber Penafsiran {Ebook}, Halaman 32-33.
[2] Rani Jani, Kelemahan-kelemahan dalam Manahij Al-Mufassirin {Ebook}, Halaman 170-171.
[9] AS Mudzakir, Manna Khalil al-Qattan, Halaman 488-489.
[10] Manna Khalil al-Qattan, Halaman 489.
[11] Manna Khalil al-Qattan, Halaman 489-491.
[13] Tafsir-tafsir Al-Qur’an, Halaman 67.
[16] Tafsir-tafsir Al-Qur’an, halaman 78.

Tidak ada komentar: