Minggu, 19 Mei 2019

Tafsir Tahlili


BAB I
PENDAHULUAN


A.      Latar Belakang
Al-Qur’an adalah kallamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai pedoman hidup umat manusia agar bisa selamat di dunia dan di akhirat. Maka dari itu, kita sebagai umat manusia harus bisa memahami isi kandungan ayat-ayat Al-Qur’an agar dapat menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Untuk bisa memahami isi kandungannya lahirlah ilmu tafsir.
Beberapa ulama membagi tafsir Tahlili menjadi beberapa macam yaitu, tafsir ma’tsur, tafsir ra’yi, tafsir Shufi, tafsir Fikih, tafsir Falsafi, tafsir ‘Ilmi, dan tafsir Adab Al-Ijtima’i.
       Metode tafsir ini dilakukan sesuai dengan susunan ayat demi ayat atau surat demi surat sebagaimana termaktub dalam mushaf Usmaniy. Tujuan utama metode tafsir ini adalah untuk mengungkapkan maksud-maksud dari ayat tersebut dan tunjukannya. Seorang mufassir akan memaparkan lafaz dari segi bahasa Arab, penggunaannya, kesesuaian ayat dengan ayat serta tempat dan juga sebab turunnya ayat.
B.     Rumusan Masalah
1.     Apa yang di Maksud Tafsir Tahlili ?
2.     Bagaimana Contoh Tafsir Tahlili ?
3.     Apa Kelemahan dam Kelebihan Tafsir Tahlili ?
C.    Tujuan Penulisan
1.     Untuk Lebih Mengenal Macam-macam Metode Tafsir
2.     Untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Metode Pembelajaran Tafsir



BAB II
PEMBAHASAN

A.   Pengertian Metode Tahlili [Analitis]
Yang dimaksud dengan metode analisis ialah menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam ayat ayat yang ditafsirkan itu serta menerangkan makna-makna yang tercakup di dalamnya sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufassir yang menafsirkan ayat-ayat tersebut Jadi, ”pendekatan analitis” yaitu mufassir membahas al-Qur’an ayat demi ayat, sesuai dengan rangkaian ayat yang tersusun  di  dalam  al-Qur’an.  Maka,  tafsir  yang  memakai pendekatan ini mengikuti naskah al-Qur’an dan menjelaskannya dengan cara sedikit demi sedikit,  dengan  menggunakan  alat-alat  penafsiran  yang  ia  yakini efektif [seperti mengandalkan pada arti-arti harfiah, hadis atau ayat-ayat lain yang mempunyai beberapa kata atau pengertian yang sama dengan ayat yang sedang dikaji sebatas kemampuannya di dalam membantu menerangkan makna  bagian  yang  sedang  ditafsirkan,  sambil  memperhatikan  konteks naskah tersebut metode  tahlili,  adalah  metode  yang  berusaha  untuk  menerangkan arti ayat-ayat al-Qur’an dari berbagai seginya, berdasarkan urutan-urutan ayat atau surah dalam mushaf, dengan menonjolkan kandungan lafadz lafadznya, hubungan ayat-ayatnya, hubungan surah-surahnya, sebab-sebab turunnya, hadis-hadis yang berhubungan dengannya, pendapat-pendapat para mufassir terdahulu dan mufassir itu sendiri diwarnai oleh latar belakang pendidikan dan keahliannya.[1]
Ciri-ciri metode tahlili. Penafsiran yang mengikuti metode ini dapat mengambil bentuk ma’tsur [riwayat] atau ra’yi [pemikiran]:
a. Di antara kitab tafsir tahlili yang mengambil bentuk al-ma’tsur adalah kitab   tafsir Jami’ alBayan’an Ta’wil Ayi al-Qur’an karangan Ibn Jarir al-Thabari [w.310H], Ma’alim al-Tazil karangan al-Baghawi [w.516H], Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [terkenal dengan  tafsir  Ibn  Katsir]  karangan  Ibn  Katsir  [w.774H],  dan  al-Durr  alMantsur fi al-tafsir bi al-Ma’tsur karangan al-Suyuthi [w.911H].
             b. Tafsir tahlili yang mengambil bentuk al-Ra’y banyak sekali, antara lain:  
Tafsir al-Khazin karangan al-Khazin [w.741H], Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil karangan al-Baydhawi [w.691H], al-Kasysyaf karangan al-Zamakhsyari [w.538H], ’Arais al-Bayan fi Haqaia al-Qur’an karangan al-Syirazi [w.606H], al-Tafsir al-Kabir wa Mafatih al-Ghaib karangan al-Fakhr al-Razi [w.606H], tafsir al-Jawahir fi Tafsir al-Qur’an karangan Thanthawi Jauhari, Tafsir al-Manar karangan Muhammad Rasyid Ridha [w.1935] dan lain-lain.[2]
Jadi,  pola  penafsiran  yang  diterapkan  oleh  para  pengarang  kitabkitab tafsir yang dinukilkan di atas terlihat jelas, bahwa mereka berusaha menjelaskan makna yang terkandung di dalam ayat-ayat al-Qur’an secara komprehensif  dan  menyeluruh,  baik  yang  berbentuk  al-ma’tsur  maupun al-ra’y. Maka untuk lebih mudah mengenal metode tafsir analitis, berikut ini  dikemukakan  beberapa  corak  tafsir  yang  tercakup  dalam  tafsir  tahlil, sebagai contoh, yaitu: Tafsir al-Ma’tsur, yaitu cara menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an berdasarkan nash-nash, baik dengan ayat-ayat al-Qur’an sendiri, dengan hadis-hadis Nabi, dengan pendapat sahabat, maupun dengan pendapat tabiin. Pendapat [aqwal] tabiin masih kontraversi dimasukkan dalam tafsir bil ma’tsur sebab para tabiin dalam memberikan penafsiran ayat-ayat al-Qur’an tidak hanya berdasarkan riwayat yang mereka kutip dari Nabi, tetapi juga memasukkan ide-ide dan pemikiran mereka [melakukan ijtihad]. Tafsir ma’tsur yang paling tinggi peringkatnya adalah tafsir yang berdasarkan ayat al-Qur’an yang ditunjuk oleh Rasulullah. Peringkat kedua adalah tafsir dengan hadis. Di bawahnya adalah tafsir ayat dengan aqwal [pendapat] sahabat dan peringkat terakhir adalah tafsir ayat dengan aqwal tabiin.Tafsir al-Ra’y, yaitu tafsir ayat-ayat al-Qur’an yang didasarkan pada ijtihad mufasirnya dan menjadikan akal fikiran sebagai pendekatan utamanya.”tafsir  al-ra’y  yang  menggunakan  metode  analitis  ini,  para  mufassir memperoleh  kebebasan,  sehingga  mereka  agak  lebih  otonom  [mandiri] berkreasi  dalam  memberikan  interpretasi  terhadap  ayat-ayat  al-Qur’an selama masih dalam batas-batas yang diizinkan oleh syara dan kaidah-kaidah penafsiran yang mu’tabar”. Itulah salah satu sebab yang membuat tafsir dalam bentuk al-ra’y dengan metode analitis dapat melahirkan corak penafsiran yang beragam sekali seperti tafsir fiqih, falsafi, sufi, ’ilmi, adabi ijtima’i, dan lain sebagainya[3]
Kebebasan serupa itu sulit sekali diterapkan di dalam tafsir yang memakai metode global [ijmali] sekalipun bentuknya  al-ra’yi. Dikarenakan adanya kebebasan serupa itulah, maka tafsir bi al-ra’yi berkembang jauh lebih pesat meninggalkan tafsir bi al-ma’tsur, sebagaimana diakui oleh ulama tafsir semisal Manna’ al-Qhathathan
Tetapi menurut Adz-Dzahaby, para ulama telah menetapkan syarat-syarat  diterimanya  tafsir  ra’y  yaitu,  bahwa  penafsirnya: 
1.      Benar-benar menguasai  bahasa Arab  dengan  segala  seluk  beluknya,
2.      Mengetahui asbabun nuzul, nasikh-mansukh, ilmu qiraat dan syarat- 
 syarat keilmuan lain,
Ttidak menginterpretasikan hal-hal yang merupakan otoritas Tuhan untuk mengetahuinya,
3.      Tidak menafsirkan ayat-ayat berdasarkan hawa nafsudan intres pribadi,
4.      Tidak menafsirkan ayat berdasarkan aliran atau paham yang jelas batil dengan maksud justifikasi terhadap paham tersebut,
5.     Tidak menganggap bahwa tafsirnya yang paling benar dan yang dikehendaki oleh Tuhan tanpa argumentasi yang pasti (muhamad sofyan, 2015: 93)


B.       Contoh Tafsir Tahlili
       Penafsiran tahlili dengan corak tafsir ilmi terdapat ayat al-qur’an surah Ar-Rahman : 19-21, Allah SWT berfirman
                                                                      {20}مَرَجَ الْبَحْرَيْنِ يَلْتَقِيَانِ {19} بَيْنَهُمَا بَرْزَخٌ لاَّيَبْغِيَانِ }
 Artinya : Dia membiarkan dua laut mengalir yang (kemudian) keduanya bertemu, diantara keduanya ada batas yang tidak di lampaui oleh masing masing
       Dari ayat diatas dapat di buktikan dan ditemukan melalui sains bahwa di dasar laut merah terdapat sumber mata air tawar yang mengalir terus dan tidak tercampur oleh air laut yang disekitarnya asin. Dengan demikian salah satu pembuktian yang dilakukan oleh sain terhadap ayat-ayat yang kauniah memang benar adanya, dan dengan sains tersebut membuktikan bahwa kemukjizatan ilmiah dari al-Qur’an. Al-Qur’an juga memberikan isyarat terhadap hukum-hukum alam dan fenomena kehidupan dengan gambaran yang sangat meyakinkan Penafsiran dengan metode ini tidak terlepas dari berbagai tanggapan, ada yang menerima dan ada pula yang menentang. Sikap para ulama kontemporer terhadap tafsit Ilmi terbagi dalam dua macam, yaitu kelompok yang menolak dan menerima. Ulama yang menolak berpendapat bahwa mengaitkan al-Qur’an dengan teori-teori ilmiah merupakan tindakan yang keliru. Alasannya, Allah SWT menurunkan al-Qur’an bukan untuk menjelaskan teori-teori ilmiah, terminologi-terminologi disiplin ilmu, dan macam –macam pengetahuan. Mengaitkan al-Qur’an dengan teori-teori ilmiah hanya akan mendorong para pendukungnya untuk menakwilkan al-Qur’an agar sesuai dengan teori-teori ilmiah. Seandainya al-qur’an dikaitkan dengan temuan-temuan ilmiah, dikahwatirkan justrus al-Qur’an yang disesuaikan dengan temuan-temuan ilmiah, bukan sebaliknya.[4]



C.       Kelebihan dan kelemahan Tafsir Tahlili
Maka sebagaimana metode tafsir yang lain, metode tahlili [analitis] juga memiliki kelemahan dan kelebihan, diantarnya:
1.     Kelebihan 
a.       Ruang lingkup yang luas
 Metode analisis mempunyai ruang lingkup yang termasuk luas. Metode ini dapat digunakan  oleh  mufassir  dalam  dua  bentuknya;  ma’tsur  dan  ra’y  dapat dikembangkan dalam berbagai penafsiran sesuai dengan keahlian masingmasing mufassir. Sebagai contoh: ahli bahasa, misalnya, mendapat peluangyang luas untuk manfsirkan al-Qur’an dari pemahaman kebahasaan, seperti Tafsir  al-Nasafi,  karangan Abu  al-Su’ud,  ahli  qiraat  seperti Abu  Hayyan,menjadikan qiraat sebagai titik tolak dalam penafsirannya. Demikian pula ahli fisafat, kitab tafsir yang dominasi oleh pemikiran-pemikiran filosofis seperti Kitab Tafsir al-Fakhr al-Razi. Mereka yang cenderung dengan sains dan teknologi menafsirkan al-Qur’an dari sudut teori-teori ilmiah atau sains seperti Kitab Tafsir  al-Jawahir  karangan  al-Tanthawi  al-Jauhari,  dan  seterusnya. (E-book Hujair A.H.Sanaky 2008:14)
b.     Memuat berbagai ide
Metode analitis relatif memberikan kesempatanyang luas kepada mufassir untuk mencurahkan ide-ide dan gagasannya dalam menafsirkan al-Qur’an. Itu berarti, pola penafsiran metode ini dapat menampung berbagai ide yang terpendam dalam bentuk mufassir termasukyang ekstrim dapat ditampungnya. Dengan terbukanya pintu selebarlebarnya  bagi  mufassir  untuk  mengemukakan  pemikiran-pemikirannya dalam menafsirkan al-Qur’an, maka lahirlah kitab tafsir berjilid-jilid seperti kitab Tafsir al-Thabari [15 jilid], Tafsir Ruh al-Ma’ani [16 jilid], Tafsir al-Fakhr
      al-Razi [17 jilid], Tafsir al-Maraghi [10 jilid], dan lain-lain.( [1] E-book Hujair 
       A.H.Sanaky 2008:14)
2.     Kelemahan:
a.       Menjadikan petunjuk al-Qur’an parsial:
       Metode analitis juga dapat membuat petunjuk al-Qur’an bersifat                   parsial atau terpecah-pecah, sehingga terasa seakan-akan alQur’an  memberikan  pedoman  secara  tidak  utuh  dan  tidak  konsisten karena penafsiran yang diberikan pada suatu ayat berbeda dari penafsiran yang  diberikan  pada  ayat-ayat  lain  yang  sama  dengannya. Terjadinya perbedaan, karena kurang memperhatikan ayat-ayat lain yang mirip atau sama dengannya. Ayat نَفْسَ وَاحِدٍ  misalnya,  Ibn  Katsir  menafsirkan dengan Adam a.s. Konsekuensinya, ketika dia menafsirkan lanjutan ayat itu وَ جَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا  ia  menulis:  ”yaitu  Siti  Hawa.....diciptakan  dari  tulang rusuk Adam  yang  kiri.  Berarti,  ungkapan نَفْسَ وَاحِدٍ dalam  ayat  itu menurut Ibn Katsir tidak lain maksudnya dari Adam([1] E-book Hujair A.H.Sanaky 2008:16)
b.      Melahirkan penafsir subyektif:
 Metode analitis ini memberi peluang yang luas kepada mufassir untuk  mengumukakan  ide-ide  dan  pemikirannya.  Sehingga,  kadangkadang mufassir tidak sadar bahwa dia tidak menafsirkan al-Qur’an secara subyektif, dan tidak mustahil pula ada di antara mereka yang menafsirkan al-Qur’an sesuai dengan kemauan bahwa nafsunya tanpa mengindahkan kaidah-kaidah  atau  norma-norma yang berlaku.( E-book Hujair A.H.Sanaky 2008:16)
c.        Masuk  pemikiranIsrailiat: 
                                   Metode tahlili tidak membatasi  mufassir dalam  mengemukakan pemikiran-pemikiran tafsirnya,  maka  berbagai  pemikiran  dapat masuk ke  dalamnya,  tidak  tercuali  pemikiran  Israiliat.  Sepintas  lalu,  kisah-kisah Israiliat tidak ada persoalan, selama tidak dikaitkan dengan pemahaman al-Qur’an. Tetapi bila dihubungkan dengan pemahaman kitab suci, timbul problem karena akan terbentuk opini bahwa apa yang dikisahkan di dalamcerita itu merupakan maksud dari firman Allah, atau petunjuk Allah, padahal belum  tentu  cocok  dengan  yang  dimaksud Allah  di  dalam  firman-Nya tersebut. Di sini letak negatifnya kisah-kisah Israiliat. Kisa-kisa itu dapat masuk ke dalam tafsir tahlili karena metodenya memang membuka pintu untuk  itu.  Sebagi  contoh,  seperti  dalam  penafsiran  al-Qurthubi  tentang penciptaan manusia pertama, termaktub di dalam ayat 30 surah al-Baqarah اِنِّي جَا عِلٌ فِي الارضِ خَلِيفةَ sebagai dikatakannya: ”Allah menciptakan Adam dengan tangan-Nya sendiri langsung dari tanah selama 40 hari. Setalah kerangka itu siap lewatlah para malaikat di depannya. Mereka terperanjat   karena sangat kagum melihat indahnya ciptaan alloh alloh itu dan dan yang paling kagum adalah iblis, lalu di pukul-pukullah kerangka Adam tersebut, lantas terdengar bunyi seperti peiuk belanga di pukul seraya ia berucap “untuk apa kau di ciptakan لِاَمْرِ مَا خَلَقَةَ maka kalau di cermati penafsiran Al-Qurthubi itu ada benarnya penilaina Al-Khattib bahwa penafsiran tersebut dalam kelompok tafsir israiliat[5]











BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Keberadaan metode ini telah memberikan sumbangan yang sangat besar dalam melestarikan dan mengembangkan khazanah intelektual islam, khususnya dalam bidang tafsir Al-qur’an. Jika ingin pemahaman yang luas dari suatu ayat dengan melihatnya dari berbagai aspek maka harus menggunakan metode analitis. Di sinilah terletak urgensi pokok bagi metode ini bila di bandingkan dengan metode lainnya
Bahwa ruang lingkup dari penafsiran dengan metode tahlili terdiri dari tujuh pendekatan yaitu, tafsir dengan pendekatan bil’matsur pendekatan bl ra’yi pendekatan dengan metode shufi,falsafi, fiqhi, ilmi, dan metode adabi,dan lainnya. Dari ketujuh pendekatan tersebut seorang mufassirin membuktikan suatu upaya yang sungguh-sungguh dalam menelaah setiap ayat sesuai dengan kapasitas kemampuan dan tujuan dari suatu fungsi penelaahaan yang di tuju
Tidak ada kata lain bahwa tafsir tahlili akan dapat di terima apabila dalam melaksanakan penafsiran, mufassir harus memenuhi kriteria-kriteria sebagai syarat yang telah di tentukan bagi seorang mufassir
Tentunya setiap tafsir pasti ada kekurangan dan kelebihan maka dari itu menyeleksi dan mengkaji ulang setiap usaha yang dilakukan oleh seorang mufassir dalam memahami ayat-ayat al-quran merupakan sesuatu keharusan dalam sebuah proses pengetahuan dan pengkajian ilmu pengetahuan








DAFTAR PUSTAKA
E-book A.H.Sanaky Hujair. 2008. metode tafsir(perkembangan metode tafsir mengikuti warna atau corak mufassirin)
 Sofyan Muhammad. 2015. Tafsir Wal Mufassiru. Medan: Perdana Publising,


[1] E-book Hujair A.H.Sanaky,metode tafssir(perkembangan metode tafsir mengikuti warna atau corak mufassirin),2008 hlm,12
[2] Dr. Muhammad Sofyan,Tafsir Wal Mufassiru,Perdana Publising,Medan,2015,hlm. 91
[3]  Dr. Muhammad Sofyan,Tafsir Wal Mufassiru,Perdana Publising,Medan,2015,hlm. 93
[5] Dr. Muhammad Sofyan,Tafsir Wal Mufassiru,Perdana Publising,Medan,2015,hlm. 17

Tidak ada komentar: