Jumat, 28 Juni 2019
Senin, 17 Juni 2019
Selasa, 04 Juni 2019
Minggu, 02 Juni 2019
bercanda karya Riki Subagja
Bercanda
Mari aku
peluk
Aku ingin
dirimu hangat
Pekat malam hujan
ini menusukmu
Aku tak mau
kamu kedinginan
Maaf aku
bercanda
Pakailah jaket
ku
ini jaket
kesayangan ku
pemberian ibu
ku
bersenderlah
di pundak ku
kamu terlihat
kelelahan
angin hujan malam
ini terlalu kencang
hingga daun
pohon berjatuhan
maaf aku
bercanda
bersenderlah
ke pohon
pohon ini menjadi
tempat favorit ku
tempat dimana
aku bisa berbincang lama bersama mu
Senin, 20 Mei 2019
fiqih siyasah
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Siyasah dusturiyah adalah bagian dari fiqih siyasah yang membahas masalah
perundang-undangan negara. Permasalahan di dalam fiqih siyasah dusturiyah
adalah hubungan antara pemimpin disatu pihak dan rakyatnya di pihak lain serta
kelembagaan-kelembagaan yang ada di dalam masyarakatnya.
Di dalam fiqih dusturiyah tidak hanya
menjelaskan tentang pemerintah atau khalifah saja, tetapi mengenai hak-hak
rakyat juga. Fiqih dusturiyah juga menjelaskan tentang pem-bai’atan dalam suatu
pemerintah dan bagaimana cara memilih pemimpin sesuai dengan
ketentuan-ketentuan Islam.
Mengenai
fiqih dusturiyah, di dalam makalah ini akan dibahas tentang pem-bai’atan, selain itu akan di bahas juga seputar
imamah terutama mengenai persoalan waliy al-ahdi,
serta persoalan perwakilan dan Ahl
al-hall wa al-‘aqdi yang mempunyai kekuasaan tertinggi dalam memilih dan
membai’at imam dengan didasarkan
kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah.
B.
Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
persoalan dalam Bai’at?
2. Bagaimana
persoalan dalam Waliy Al-Ahdi: Sumber
kekuasaan dan kriteria imam?
3. Bagaimana
persoalan dalam perwakilan dan Ahl
Al-Hall Wa Al-‘Aqdi?
C.
Tujuan
Penulisan
1. Untuk
mengetahui persoalan Bai’at.
2. Untuk
mengetahui persoalan Waliy Al-Ahdi: Sumber
Kekuasaan dan Kriteria Imam.
3. Untuk
mengetahui persoalan perwakilan dan Ahl
Al-Hall Wa Al-‘Aqdi.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Persoalan
Bai’at
Istilah
bai’at berasal dari kata ba’a yang berarti “menjual”. Bai’at mengandung makna perjanjian;
janji setia atau saling berjanji dan setia.[1] Dalam
pelaksanaan bai’at selalu melibatkan dua pihak secara suka rela. Maka bai’at
secara istilah adalah ungkapan perjanjian antara dua pihak yang seakan-akan
salah satu pihak menjual apa yang dimilikinya dan menyerahkan dirinya kepada
pihak kedua secara ikhlas dalam hal urusannya.[2]
Artinya dalam bai’at terjadi penyerahan hak dan pernyataan ketaatan atau
kewajiban pihak pertama secara suka rela kepada pihak kedua. Pihak kedua juga
punya hak dan kewajiban atas hak pihak pertama yang diterimanya. Jadi
pelaksanaan hak dan kewajiban antara dua pihak berlangsung secara timbal balik.[3]
Istilah
bai’at disebut juga dengan talqin. Talqin
dipakai oleh para Ahli Tarekat, sedangkan bai’at sering digunakan dalam
Fiqih Siyasah (Politik Islam).[4] Di
zaman Rasulullah Saw, bai’at diberlakukan terhadap mereka yang hendak masuk
agama Islam, serta bagi yang berkeinginan menunaikan perintah-perintah agama.[5] Berbai’at
untuk berlaku taat merupakan perintah syar’i
dan Sunnah Rasulullah Saw meskipun telah beriman terlebih dahulu. Karena
bai’at merupakan pembaharu janji setia serta penguat jalinan kepercayaan
beragama.
Makna
bai’at itu sendiri adalah sumpah setia dengan suatu kepemimpinan. Sehingga ada
jalinan hubungan yang kuat antara yang memimpin dan yang dipimpin. Dengan
prosesi bai’at, terjalinlah ikatan hukum berupa hak dan kewajiban serta
tanggungjawab kedua belah pihak secara adil dan proporsional. Adanya hak dan
kewajiban ini merupakan hasil dari bai’at.[6]
Bai’at
dibolehkan dalam perkara-perkara parsial (bagian) dari syari’at Islam yang
dilakukan tanpa paksaan dan juga dilakukan dengan syarat tidak ada pengaruh dan
konsekwensi terhadap bai’at kepada Amirul Mukminin. Baik perjanjian itu dengan
diri sendiri untuk selalu taat dengan perbuatan tertentu yang disyari’atkan,
atau berjanji untuk melakukan perbuatan tertentu antara dia dengan orang lain,
tanpa ada hal yang terlarang oleh syari’at. [7]
Bai’at
dalam kerangka umum mempunyai tiga unsur pokok, diantaranya:[8]
1. Pihak
yang mengambil bai’at.
2. Pihak
yang memberikan bai’at kepada orang yang menjadi pemimpin, seperti ahl al-hall wa al-‘aqd secara khusus dan
mayoritas umat Islam secara umum.
3. Topik
bai’at, yaitu mendirikan khilafah
islamiyah sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah Rasulullah Saw.
Ayat-ayat
Al-Qur’an yang berkaitan dengan bai’at, diantaranya:
a) QS.
Al-Fath: 10,
إِنَّ الَّذِينَ يُبَايِعُونَكَ إِنَّمَا يُبَايِعُونَ اللَّهَ يَدُ اللَّهِ
فَوْقَ أَيْدِيهِمْ ۚ فَمَنْ نَكَثَ فَإِنَّمَا يَنْكُثُ عَلَىٰ نَفْسِهِ ۖ وَمَنْ
أَوْفَىٰ بِمَا عَاهَدَ عَلَيْهُ اللَّهَ فَسَيُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا
“Sesungguhnya orang-orang yang berjanji
teguh kepada engkau (Muhammad), mereka hanya berjanji teguh kepada Allah SWT.
Tangan Allah di atas tangan mereka. Barangsiapa yang melanggar janjinya maka
bahaya pelanggaran itu akan menimpa dirinya. Dan barang siapa yang menepati
janjinya kepada Allah, maka Allah pasti menganugerahi pahala yang besar
kepadanya.”
b) QS.
At-Taubah: 111,
وَمَنْ
أَوْفَىٰ بِعَهْدِهِ مِنَ اللَّهِ ۚ فَاسْتَبْشِرُوا بِبَيْعِكُمُ الَّذِي
بَايَعْتُمْ بِهِ
“Barangsiapa yang
menyempurnakan janjinya dengan Allah hendaknya kamu beri kabar suka dengan
janji setia yang kamu telah berjanji setia kepadanya.”
Bai’at
pertama terhadap khalifah terjadi di Tsaqie-fah Bani Sa’idah yang diceritakan
oleh Ibnu Qutaibah Adainuri, sebagai berikut:[9]
Kemudian
Abu Bakar menghadap kepada orang-orang ansor memuji Allah dan mengajak mereka
untuk bersatu serta melarang berpecah belah selanjutnya Abu Bakar berkata,
“Saya nasihatkan kepadamu untuk membai’at salah seorang diantara dua orang ini,
yaitu Abi Ubaidah bin Jaroh atau Umar, kemudian Umar berkata, “Demi Allah, akan
terjadikah itu? Padahal, tuan (Abu Bakar), ada diantara kita, tuanlah yang
paling berhak memegang persoalan ini, tuan adalah lebih dahulu jadi sahabat
Rasulullah daripada kami, tuanlah Muhajirin yang paling utama, tuanlah yang
menggantikan Rasulullah mengimami shalat, dan shalat adalah rukun Islam yang
paling utama. Maka siapakah yang lebih pantas mengurusi persoalan ini daripada
tuan? Ulurkanlah tangan tuan, saya membai’at tuan.[10]
Pada
waktu Usman bin Affan diangkat jadi khalifah, yang mula-mula membai’at adalah
Abdurrahman bin Auf yang kemudian diikuti oleh manusia yang ada di masjid.[11]
Dari
uraian di atas tampak bahwa yang membai’at itu adalah ahl al-hall wa al-‘aqd dan kemudian dapat diikuti oleh rakyat pada
umumnya seperti pada kasus pem-bai’atan Usman. Akan tetapi, pada umumnya
pembai’atan itu dianggap sah apabila dilakukan oleh anggota-anggota ahl al-hall wa al-‘aqd sebagai wakil
rakyat, sebagaimana terjadi pada kasus Abu Bakar.[12]
Di
samping itu, kata-kata (lafal) bai’at pun ternyata tidak selamanya sama. Oleh
karena itu, lafal bai’at dapat dibuat sesuai dengan kebutuhan dan sesuai lingkungannya
asalkan tidak bertentangan dengan semangat dan prinsip-pinsip Al-Qur’an dan
Sunnah Rasulullah Saw.
Dari
ayat-ayat Al-Qur’an di atas jelas bai’at itu mengandung arti janji setia. Di
dalam surat Al-Fath ayat 10 dibayangkan pula cara bai’at yaitu dengan
meletakkan tangan di atas tangan yang di bai’at seperti dijelaskan oleh Ibnu Khaldun
di atas.
Di
dalam sejarah kita kenal bai’at aqabah yang
pertama dan bai’at aqabah yang kedua.
Bai’at aqabah yang pertama terjadi di tahun 621 M di suatu bukit yang bernama
Aqobah. Bai’at Aqabah pertama ini
antara Nabi dengan 12 orang dari Kabilah Khajraj dan Aus dari Yastrib (Madinah)
yang isinya: “Mereka berjanji setia (membai’at) kepada Nabi untuk tidak
menserikatkan Allah SWT, tidak akan mencuri, berzina, membunuh anak-anak,
menuduh dengan tuduhan palsu, tidak akan mendurhakai Nabi di dalam kebaikan.
Adapun
bai’at aqabah kedua terjadi tahun 622
M antara Nabi dengan 75 orang Yastrib, 73 orang laki-laki dan 2 orang wanita, bai’at aqabah kedua ini disebut pula
dengan bai’at kubra. Di dalam bai’at ini terjadi dialog antara Rasulullah
dengan orang-orang Yastrib. Dan pada akhirnya orang-orang Yastrib membai’at
Rasul dengan kata-kata:
Kami
berbai’at (berjanji setia) untuk taat dan selalu mengikuti baik pada waktu
kesulitan maupun pada waktu dalam kemudahan, pada waktu senang dan pada waktu
susah dan tetap berbicara benar di mana pun kami berada, tidak takut celaan
orang di dalam membela kalimah Allah SWT.[13]
Sudah
tentu pem-bai’atan ini dilakukan setelah terjadi permusyawaratan penentuan
seorang imam.
Ada
kemungkinan tidak seluruh anggota ahl
al-hall wa al-‘aqd membai’at imam, keadaan demikian harus dihindari sedapat
mungkin, yaitu dengan jalan musyawarah untuk mencapai kesepakatan. Akan tetapi,
apabila cara musyawarah tidak menghasilkan kesepakatan, maka imam dapat di
bai’at oleh mayoritas ahlul halli wal
aqdi. Apabila telah di bai’at oleh mayoritas ahlul halli wal aqdi, maka golongan minoritas ahlul halli wal aqdi pun harus tetap menaati dan membantu si imam, dan tidak boleh berusaha
menjatuhkan si imam, kecuali jika
imam melakukan kekafiran yang nyata.
B.
Persoalan
Waliy Al-Ahdi: Sumber Kekuasaan dan Kriteria Imam
Imamah
itu dapat terjadi dengan salah satu cara dari dua cara: pertama dengan
pemilihan ahl al-hall wa al-aqdi dan kedua dengan janji (penyerahan kekuasaan)
imam yang sebelumnya.[14]
Cara kedua itulah yang dimaksud dengan
waliyul ahdi. Cara ini diperkenankan atas dasar:
1. Abu
Bakar r.a menunjuk Umar r.a yang kemudian kaum muslimin menetapkan keimaman
(imamah) Umar dengan penunjukan Abu Bakar tadi.
2. Umar
r.a menunjuk menyerahkan pengangkatan khalifah kepada ahlu syura’ (imam orang
sahabat) yang kemudia disetujui/dibenarkan oleh sahabat yang lain.
Qadli
Abu Ya’la menjelaskan bahwa wilayah al-ahd itu dapat pula dilaksanakan kepada
orang yang mempunyai hubungan nasab, baik garis lurus ke atas maupun garis
lurus ke bawah dengan syarat:
Orang
yang ditunjuk itu memenuhi persyaratan imam, karena imamah tidaklah terjadi
karena semata-mata penunjukan, akan tetapi imamah itu terjadi karena
persetujuan kaum muslimin.[15]
Persoalan
wilayah al-ahd kembali kepada dua masalah pokok yaitu, pertama, siapakah yang
memiliki kekuasaan dan kedua apakah syarat-syarat imam itu.
Masalah
yang pertama telah banyak dibahas baik oleh orientalis maupun oleh para ulama
Islam, orang-orang orientalis pada umumnya seirama bahwa, “Islam itu absolut,
sewenang-wenang”.[16]
Diauddin
al-Rais menyebut yang memegang kekuasaan itu rakyat dan undang-undang,
ringkasnya rakyat dan syariat”.[17]
Yusuf musa menegaskan, “Khalifah di dalam pandangan Islam bukanlah orang yang
memiliki sifat-sifat Uluhiyah (ketuhanan) dia tidak suci, tidak maksum
(terpelihara dari dosa), dia tidak memiliki hak monopoli di dalam menjelaskan
dan menafsirkan nash-nash agama; akan tetapi dia hanyalah manusia biasa yang
dipercaya oleh umat karena sifat keagamaannya yang baik dan keadilannya, maka
diserahkan kepadanya masalah-masalah untuk diurus sesuai dengan syariah”.[18]
Dari
penjelasan-penjelasan di atas jelas bahwa imam tidak dapat sewenang-wenang,
bahkan dia tunduk kepada ketentuan-ketentuan Al-Qur’an dan Hadis serta
ketentuan ahl al-hall wa al-‘aqd di dalam hal-hal yang tidak ditentukan oleh
Al-Qur’an atau Hadis secara tegas.
Adapun masalah yang kedua, yaitu tentang
syarat-syarat imam, ternyata ada ulama yang memberikan persyaratan yang sangat
ketat dan ada pula yang memberi persyaratan yang longgar. Al-Mawardi misalnya
memberikan tujuh persyaratan sebagai berikut:
1. Adil dengan segala
persyaratannya (benar tutur katanya, dapat dipercaya, terpelihara dari segala
yang haram, menjauhi segala dosa dan hal-hal yang meragukan, memegang muru’ah;
yang mengurangi keadilan itu adalah al-Fasqu, yang terdiri dari dua hal: (1)
mengikuti syahwat, (2) yang berhubungan dengan syubhat. Adapun yang pertama,
berhubungan dengan anggota badan, yaitu melakukan yang haram dan kemungkaran.
Sedangkan yang kedua berkaitan dengan itiqodiyah).
2. Memiliki ilmu yang dapat
digunakan untuk ijtihad di dalam hukum dan kasus-kasus hukum yang harus
dipecahkan.
3. Sehat panca inderanya, baik
pendengaran, penglihatan, lisannya agar dapat digunakan sebagaimana mestinya.
4. Sehat anggota badannya
dari kekurangan-kekurangan yang dapat mengganggu geraknya.
5. Kecerdasan dan kemampuan
di dalam mengatur rakyat dan kemaslahatan.
6. Kebenaran dan punya
tanggung jawab dan tabah di dalam mempertahankan negara dan memerangi musuh.
7. Nasab imam itu harus
keturunan Quraisy atas dasar nash dan ijma.
Abu Ja’la al-Hanbali menyebut empat
syarat, yaitu:
1. Haruslah
orang Quraisy (keturunan Nadlar bin Kinanah bin Huzaemah bin Mudzrikah bin
Ilyas bin Mudlar bin Nasar bin Zaad bin Adnan).
2. Memiliki
syarat-syarat seorang hakim, yaitu merdeka, baligh, berakal, berilmu, dan adil.
3. Mampu
memegang kendali di dalam masalah-masalah peperangan, siyasah, dan pelaksanaan
hukuman.
4. Orang
yang paling baik/utama di dalam ilmu dan agama.[19]
Bukan
saja di kalangan para ulama terdahulu terdapat perbedaan pendapat tentang
persyaratan seorang imam, akan tetapi juga terdapat perbedaan pendapat tersebut
di kalangan ulama-ulama yang sekarang.
Al-Ustadz
Abdul Wahab Khalaf misalnya, dapat menerima enam syarat dari Al-Mawardi, akan
tetapi syarat yang ketujuh (imam itu harus orang Quraisy) ternyata
diperdebatkan oleh para ulama, dari sisi kualitasnya dan dari sisi ta’arudl-nya
(pertentangan) dengan nash-nash lain baik Al-Qur’an maupun Hadis. Selanjutnya
Abdul Wahab Khalaf menyitir pendapat Ibnu Khaldun yang mengatakan: “Persyaratan
harus orang Quraisy yang jadi imam, adalah untuk menghindari pertentangan
karena rasa ashabiyah.”[20]
Yusuf
Musa setelah menguraikan syarat-syarat imam menurut Ibn Hazm al-Juwaeni,
al-Ghazali, al-Kamal bin Abi Syarif, dan al-Kamal bin Hunam, Al-Iji,
Al-Baqalani dan Ibnu Khaldun akhirnya beliau berpendapat bahwa syarat imam itu
adalah: “Islam, laki-laki, mukallaf, berilmu, adil, mampu, dan selamat
pancainderanya dan anggota badannya.”[21]
Demikian pula Abdul Qadir Audah mensyaratkan ketujuh syarat tersebut di atas.[22]
Sedangkan Ibnu Khaldun hanya memberikan 4
syarat, yaitu:
1. Memiliki
Ilmu Pengetahuan.
2. Adil.
3. Mampu
melaksanakan tugas termasuk kearifan.
4. Sehat
jasmani dalam arti pancainderanya dan anggota badan lainnya.
Satu
hal barangkali perlu diingat bahwa memilih pemimpin yang terbaik di antara yang
baik adalah tidak terlalu sukar, akan tetapi yang sulit adalah memilih pemimpin
yang baik diantara yang tidak baik. Sebab bagaimanapun juga pemimpin itu harus
ada di antara kelompok manusia. Bahkan di dalam hadis dinyatakan: “Apabila
tiga orang berpergian, maka salah seorang daripadanya hendaklah menjadi
pemimpinnya.”[23]
Jadi
wilayah al-ahd dapat saja terjadi dan
sah asal diakui oleh ahl al-hall wa
al-aqdi dan memenuhi persyaratan sebagai al-imam al-adham.
C.
Persoalan Perwakilan dan Ahl Al-Hall Wa Al-‘Aqdi
1)
Persoalan Perwakilan
Sebagaimana yang telah kita ketahui, sudah lebih dari 1400 tahun yang
lalu batu sendi pembentukan masyarakat islam telah diletakkan di kota makkah di
bawah situasi dan kondisi yang sangat tidak bersahabat dan memusuhi. Memulai
dan kemudian secara bertahap mengembangkan suatu masyarakat islami,di dalam
sistem yang bertolak belakang inilah yang merupakan tujuan seumur hidup
Rasulullah Saw. Ketika masyarakat Islam mencapai kemerdekaan politiknya,juga
setelah organisasi-organisasinya maju, Rasulullah diangkat menjadi kepala
Negara Pertama. Beliau tidak dipilih oleh siapapun kecuali dipilih langsung
oleh Allah yang Maha Kuasa. Hingga akhirnya beliau wafat.
Selepas beliau wafat, Rasul tidak memberikan perintah-perintah yang
jelas untuk calon penggantinya. Karena tidak adanya syarat-syarat yang jelas
ini, dan dengan mengambil dasar perintah Al-Qur’an segala urusan umat
diselesaikan dengan caara musyawarah. Para sahabat menunjukan bahwa untuk
memilih kepala Negara telah diserahkan kepada kehendak pemilihan dari kaum
muslimin yang harus dilaksanakan sejalan dengan jiwa perintah Al-Qur’an
tersebut. [24]
Salah satu riwayat tentang pengangkatan kepala
negara/pemimpin/khalifah yaitu pada kitab Al-Kamil fi Tarikh karangan Ibnu Al Atsir. Diceritakan bahwa pada
masa-masa Rasulullah Saw wafat, orang-orang anshor berusaha mengangkat saad bin
ubaidah menjadi pemimpin umat. Saad pun berpidato tentang keutamaan orang-orang
ansor dalam menolong dan membela Rasulullah. Berita tentang berkumpulnya
orang-orang ansor ini sampai kepada Umar bin Khattab, kemudian umar bergegas
menuju Abu Bakar dan mengajak beliau karena urusan ini merusapakan urusan yang
sangat penting. Setelah itu, Umar dan Abu bakar bergegas menuju ke Saqiefah
Bani Saadah tempat berkumpulnya orang-orang ansor. Sesampainya di sana beliau
Abu Bakar berbicara dan di Akhir pembicaraanya beliau berkata : “Orang-Orang
Quraisy adalah orang-orang pertama yang beriman kepada Allah dan RasulNy,
mereka wali dan keluarga Rasulullah dan yang paling berhak memegang kendali
umat setelah Rasulullah Wafat. Dan tuan-tuan dari golongan ansor,Allah telah menjadikan
tuan-tuan sebagai penolong Agama Allah dan Penolong RasulNya dan kepada
tuan-tuanlah Rasulullah berhijrah,oleh karena itu dari Kami yang menjadi Kepala
Negara dan Tuan-tuanlah yang menjadi mentrinya.
Kemudian berdirilah Hubab bin al-Mundir bin Jamuh yang
mempertahankan pendirian orang-orang ansor. Beliau mengatakan bahwa baik ansor
maupun Quraisy sama-sama memiliki kemuliaan, jumlah dan kekuatan yang sama.
Sehingga mengusulkan sama-sama mempunyai kepala Negara. Namun Umar berkata
“Demi Allah, orang arab tidak rela diperintah oleh tuan-tuan. Orang arab tidak
akan menolak pimpinan dari kelompok/keluarga Rasulullah, Kami adalah keluarga
Rasul. Kemudian Hubab menjawab lagi bahwa orang-orang ansor tetap yang berhak
menjadi kepala Negara. Situasi pun menjadi lebih panas dalam menyikapi polemik
ini. Hingga kemudian berdirilah Basyir bin Saad yang mengatakan
“Sesungguhnyalah Muhammad itu dari golongan Quraisy, dan kaumnya lebih berhak,
Demi Allah, saya tidak akan menentang orang-orang Quraisy dalam masalah ini.
Karena itu, takwalah kepada Allah dan jangan menentang mereka.”
Kemudian Abu Bakar berkata, “ Di sini ada Umar dan Abu Ubaidah,
apabila tuan-tuan setuju, nyatakanlah baiat kepada salah seorang diantara
mereka.” Umar berkata, “ Demi Allah, tuanlah yang harus menjadi kepala
negara,tuanlah muhajirin yang paling utama, dan menggantikan Rasulullah menjadi
imam di dalam shalat,sedangkan shalat adalah ibadah yang paling utama, saya
membaiat tuan”. Ketika itu mereka yang berdiskusi pun membaiat Abu Bakar sebagai
khalifah pengganti Rasulullah dalam memimpin Umat.
Dari peristiwa
pengangkatan Abu Bakar jadi khalifah ini dapat ditarik kesimpulan di antaranya:
1.
Khalifah
dipilih dengan cara musyawarah di antara para tokoh dan wakil umat
2.
Yang mengangkat
itu para wakil umat dan tokoh-tokoh masyarakat. Jadi, sistem perwakilan sudah
dikenal dan dilaksanakan pada masa itu.
3.
Di dalam
musyawarah, terjadi dialog dan bahkan diskusi untuk mencari alternatif yang
terbaik di dalam menentukan siapakah calon khalifah yang paling memenuhi
persyaratan.
Konvensi mengenai pemilihan khalifah berlanjut sampai kepada
khalifah selanjutnya. Ketika Abu Bakar akan wafat pun beliau mendiskusikan
terlebih dahulu calon penggantinya dan Umar lah yang dirasa tepat. Sebelum Abu
Bakar wafat beliau menyampaikan amanatnya kepada kaum Muslimin “ apakah kalian
ikhlas menerima dia sebagai Amir kalian, yang aku calonkan sebagai penggantiku?
Allah menjadi saksiku, aku tidak mengajukan pilihan lain yang tidak dapat
kalian ganggu-gugat lagi dalam mencari kesimpulan terbaik untuk masalah ini.
Aku calonkan Umar bin Khattab sebagai penggantiku. Oleh karenanya, kalian semua
dengar dan taatilah dia.” Massa kaum muslimin kemudian berseru “ kami telah
mendengar, dan kami setuju.” Di sini Abu Bakar menyarankan nama Umar setelah
bermusyawarah dengan orang-orang yang dipercayai rakyat. Kemudian keputusan itu
dilemparkan kepada massa pemilih Muslim.
Konvensi ini berlanjut, ketika Umar merasa ajalnya telah dekat
beliau memperhatikan bahwa dari sekian banyak sahabat Nabi yang paling dapat
dipercaya, hanya enam orang yang masih hidup untuk dijadikan sebagai sumber
pedoman kaum Muslim untuk dipilih sebagai calon penggantinya, kemudian beliau
membentuk Dewan Permusyawaratan yang
beranggotakan keenam sahabat tersebut untuk memilih khalifah berikutnya
diantara kalangan mereka sendiri. Dengan mengamanatkan bahwa barang siapa yang
menjadi amir tanpa disetujui oleh Massa Muslim maka harus dipenggal.
Kemudian lembaga ini menunjuk salah satu anggotanya Abdurrahman bin
a’uf untuk berkeliling madinah dan memantau aspirasi masyarakat umum di kota
tersebut. Dari pantauan itu muncul lah dua nama yaitu Utsman Bin Affan dan Ali
bin Abi Thalib yang dipercaya bisa menggantikan umar. Namun dari usulan
tersebut pandangan lebih berat ke Utsman dan singkat cerita, beliau diangkat
menjadi khalifah penerus sepeninggal Umar Bin Khattab.
Kemudian saat Utsman menjadi khalifah ada kejadian tragis dengan
terjadinya pembunuhan brutal atas Utsman. Oleh karenanya, beberapa sahabat
bertandang ke rumah Ali selepas Utsman wafat dan menyatakan kepada beliau tidak
ada lagi yang paling cocok menjadi amir kecuali ali sendiri. Ali merasa
keberatan, namun atas desakan sahabat beliau mensetujui dan menyuruh kaum
muslimin pergi ke masjid untuk meminta persetujuan. Tentu saja kaum muslimin
memberikan reaksi setuju atas pengangkatan Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah
pengganti. Sekalipun persetujuan ini bukan merupakan mufakat bulat.
Dalam mengkaji hal diatas, inilah konvensi dalam pemilihan khalifah
dan tindakan kolektif para sahabat untuk masalah yang sangat penting. Sebagian
besar hal tersebut didasarkan kepada diamnya Rasulullah untuk menunjuk
pengganti beliau dan berdasarkan perintah Al-Qur’an bahwa semua keputusan yang
menyangkut kepentingan orang banyak haruslah diambil secara musyawarah. Hal
yang dapat digali dari preseden-preseden diatas adalah:
1.
Pemilihan
Kepala Negara sepenuhnya bergantung kepada masyarakat umum dan tak seorangpun
berhak untuk mengangkat diri dengan oaksaan atau kekerasan sebagai amir mereka.
2.
Tidak ada satu
klan atau kaum atau kelompok manapun yang memonopoli jabatan ini.
3.
Pemiihan harus
dilaksanakan dengan prinsip kehendak bebas kaum muslimin dan tanpa adanya
pemaksaan atau ancaman.[26]
2)
Ahl
Al-Hall Wa Al-‘Aqdi
Ahl
Al-Hall Wa Al-‘Aqd (ahlul wal ‘aqdi) yang artinya orang-orang yang mempunyai
wewenang untuk melonggarkan, memutuskan, dan mengikat. Tugasnya antara lain
memilih khalifah, imam, kepala Negara secara langsung.[27]
Karena itu ahl al-hall wa al-‘aqd juga disebut oleh al-Mawardi sebagai ahl
al-ikhtiyar (golongan yang berhak memilih). Peran golongan ini sangat penting
untuk memilih salah seorang diantara ahl al-imamat ( golongan yang berhak
dipilih) untuk menjaddi khalifah.
Uraian
para ulama tentang ahl- al-hall wa al-aqd tampak hal sebagai berikut:
a. Ahl-
al-hall wa al-aqd adalah pemegang kekuasaan tertingi yang mempunyai wewenang
untuk memilih dan mem-ba’iat imam.
b. Ahl-
al-hall wa al-aqd mempunyai wewenang mengerahkan kehidupan masyarakat kepada
yang maslahat.
c. Ahl-
al-hall wa al-aqd mempunyai wewenang membuat undang-undang yang mengikat kepada
seluruh umat di dalam hal-hal yang tidak
diatur secara tegas oleh Al-Qur’an dan Hadis.
d. Ahl-
al-hall wa al-aqd tempat konsultasi imam di dalam menentukan kebijakannya.
e. Ahl-
al-hall wa al-aqd mengawasi jalannya pemerintahan, wewenang no 1 dan 2 mirip
dengan wewenang MPR, wewenang no 3 dan 5 adalah wewenang DPR, dan wewenang no 4
adalah wewenang DPA di Indonesia sebelum amendemen UUD 1945[28].
Bertolak
dari uraian dia atas dapat dikatakan bahwa ahl- al-hall wa al-aqd merupakan
suatu lebaga pemilih. Orang-orang yang berkedudukan sebagai wakil-wakil rakyat, dan salah satu
tugasnya memlih khalifah atau kepala Negara. Ini menunjukan bahwa sistem pemilihan
khalifah dalam perspektif pemikiran ulama fikih, dan kecenderungan umat Islam
generasi pertama dalam sejarah, adalah secara tidak langsung atau melalui perwakilan. Ini, dari segi
fungsionalnya, sama seperti Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) di Indonesia
sebagai lembaga tertinggi Negara dan perwakilan
yang personal-personalnya merupakan wakil-wakil rakyat yang dipilih
rakyat dalam pemilu, dan salah satu tugasnya adalah memilih presiden (sebagai
kepala Negara dan kepala peerintahan). Namun dalam beberapa segi lain, antara
ahl- al-hall wa al-aqd dan MPR tidak identik.
Segaimana
yang diseut di atas, ahl- al-hall wa al-aqd adalaah orang-orang yang mendapat
kepercyaan sebagai wakil rakyat. Tapi pernyataan dia atas masih abstrak. Belum
disebut secara konkret kelompok-kelompok sosial yang mana saja yang dapat
dikategorikan sebagai ahl- al-hall wa al-aqd. Apa kualifikasinya, bagaimana
hubungannyadengan rakyat dan mekanisme apa yang digunakan untuk memperoleh
kedudukan terhormt itu.
Jawaban untuk pertanyaan pertama
dikemukakan beberapa pendapat. Menurut Al-Nawawi dalam Al-Minhaj, ahl- al-hall
wa al-aqd adalah para ulama, para kepala, para pemuka masyarakat sebagai
unsur-unsur masyarakat yang berusaha mewujudkan kemaslahatan rakyat. Muhammad Abdullah menyamakan ahl- al-hall wa
al-aqd dengan ulil amri yang disebut dalam AL-qur’an surat An-Nisa’ aya 59 yang
menyatakan:”Hai orang-orang beriman taatilah Allah, dan ta’atilah Rasul (Nya),
dan ulil amri di antara kamu”.
Pendapat
dari ahli takwil dan tafsir tentang ulil amri yang tidak mengaitkannya dengan
ahl- al-hall wa al-aqd dikutip oleh Al-Tabari dan Al-Razi. Penafsirannya bergm,
yaitu: 1) para pemimpin; 2) para pemuka sahabat di masa Nabi; 3) mereka yang
ahli ilmu dan fikih; 4) fuqaha dan ulama; 5) para sahabat Rasul; 6) para
pemimpin dan penguasa yang taat kepada Allah dan Rasul serta memperhatikan
kemaslahatan umat Islam; 7) khalifah yang empat; 8) para ulama yang membuat
fatwa dalam hukum syariat dan mengajarkan agama kepada manusia; 9) para imam
yang ma’shum. Dan Ibnu Taimiyah menafsirkan dengan para pembesar dan para ulama
yang menjadi panutan masyarkat.
Dengan
demikian, ahl- al-hall wa al-aqd terdiri dari beragai kelompok sosial yang
memiiki propesi dan keahlian yang berbeda, baik dari birokrat pemerintahan
ataupun tidak yang lazim disebut pemimpin formal dan pemimpin informal.
Adapun
tugas ahl- al-hall wa al-aqd disamping punya hak pilih, menurut Rida, adalah
menjatuhkan khalifah jika terdapat hal-hal
yang mengharuskan pemecatannya. Al-Wardi
juga berpendapat jika kepala Negara melakukan tindakan yang bertentangan
dengan agama, rakyat dan ahl- al-hall wa al-aqd berhak untuk menyampaikan “mosi
tidak percaya” kepadanya.
Dan
sejauh ini belum ditemui penjelasan tentang hak-hak lain ahl- al-hall wa al-aqd
seperti pembatasan kekuasaan khalifah, mekanisme pembentukan lembaga itu, hak
control dan sebagainya. Apalagi ahl- al-hall wa al-aqd, sekalipun mereka
mewakili rakyat, menurud Rasyid, tidak identic dengan parlemen di zaman modern
yang memiliki kekuasan legislative, dan berhak membatasi kekuasan kepala Negara
melalui undang-undang. Sementara khalifah adalah kepala Negara yang memegang
kekuasaan legislative, eksekutif dan yudikatif. Dengan demikian konsep ahl- al-hall
wa al-aqd masih kabur. Namun hal ini bukan hal prinsip, namun persoalaan teknis
dan temporer yang dapat berubah sesuai dengan tuntutan situasi dan kebutuhan
masyarakat[29].
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
A. Persoalan
Bai’at
Istilah bai’at berasal dari kata ba’a
yang berarti “menjual”. Bai’at mengandung
makna perjanjian; janji setia atau saling berjanji dan setia. Dalam pelaksanaan
bai’at selalu melibatkan dua pihak secara suka rela. Maka bai’at secara istilah
adalah ungkapan perjanjian antara dua pihak yang seakan-akan salah satu pihak
menjual apa yang dimilikinya dan menyerahkan dirinya kepada pihak kedua secara
ikhlas dalam hal urusannya. Kata-kata (lafal) bai’at pun ternyata tidak
selamanya sama. Oleh karena itu, lafal bai’at dapat dibuat sesuai dengan kebutuhan
dan sesuai lingkungannya asalkan tidak bertentangan dengan semangat dan
prinsip-pinsip Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw.
B. Persoalan
Waliy Al-Ahdi: Sumber Kekuasaan dan Kriteria Imam
Imamah itu dapat terjadi dengan salah
satu cara dari dua cara: pertama dengan pemilihan ahl al-hall wa al-aqdi dan
kedua dengan janji (penyerahan kekuasaan) imam yang sebelumnya. Satu hal
barangkali perlu diingat bahwa memilih pemimpin yang terbaik di antara yang
baik adalah tidak terlalu sukar, akan tetapi yang sulit adalah memilih pemimpin
yang baik diantara yang tidak baik. Sebab bagaimanapun juga pemimpin itu harus
ada di antara kelompok manusia. Bahkan di dalam hadis dinyatakan: “Apabila
tiga orang berpergian, maka salah seorang daripadanya hendaklah menjadi pemimpinnya.”
Jadi wilayah al-ahd dapat saja
terjadi dan sah asal diakui oleh ahl
al-hall wa al-aqdi dan memenuhi persyaratan sebagai al-imam al-adham.
C. Persoalan
Perwakilan dan Ahl Al-Hall Wa Al-‘Aqdi
1) Persoalan
Perwakilan
Sudah lebih
dari 1400 tahun yang lalu batu sendi pembentukan masyarakat islam telah
diletakkan di kota makkah di bawah situasi dan kondisi yang sangat tidak
bersahabat dan memusuhi. Memulai dan kemudian secara bertahap mengembangkan
suatu masyarakat islami,di dalam sistem yang bertolak belakang inilah yang
merupakan tujuan seumur hidup Rasulullah Saw. Ketika masyarakat Islam mencapai
kemerdekaan politiknya,juga setelah organisasi-organisasinya maju, Rasulullah
diangkat menjadi kepala Negara Pertama. Beliau tidak dipilih oleh siapapun
kecuali dipilih langsung oleh Allah yang Maha Kuasa. Hingga akhirnya beliau
wafat.
Selepas beliau
wafat, Rasul tidak memberikan perintah-perintah yang jelas untuk calon
penggantinya. Karena tidak adanya syarat-syarat yang jelas ini, dan dengan
mengambil dasar perintah Al-Qur’an segala urusan umat diselesaikan dengan caara
musyawarah. Para sahabat menunjukan bahwa untuk memilih kepala Negara telah
diserahkan kepada kehendak pemilihan dari kaum muslimin yang harus dilaksanakan
sejalan dengan jiwa perintah Al-Qur’an tersebut.
Dalam mengkaji
hal diatas, inilah konvensi dalam pemilihan khalifah dan tindakan kolektif para
sahabat untuk masalah yang sangat penting. Sebagian besar hal tersebut
didasarkan kepada diamnya Rasulullah untuk menunjuk pengganti beliau dan berdasarkan
perintah Al-Qur’an bahwa semua keputusan yang menyangkut kepentingan orang
banyak haruslah diambil secara musyawarah.
2) Ahl
Al-Hall Wa Al-‘Aqdi
Ahl Al-Hall Wa Al-‘Aqd (ahlul wal
‘aqdi) yang artinya orang-orang yang mempunyai wewenang untuk melonggarkan,
memutuskan, dan mengikat. Tugasnya antara lain memilih khalifah, imam, kepala
Negara secara langsung. Karena itu ahl al-hall wa al-‘aqd juga disebut oleh
al-Mawardi sebagai ahl al-ikhtiyar (golongan yang berhak memilih). Peran
golongan ini sangat penting untuk memilih salah seorang diantara ahl al-imamat
( golongan yang berhak dipilih) untuk menjaddi khalifah.
Dapat dikatakan bahwa ahl- al-hall wa
al-aqd merupakan suatu lebaga pemilih. Orang-orang yang berkedudukan sebagai wakil-wakil rakyat, dan salah satu
tugasnya memlih khalifah atau kepala Negara. Ini menunjukan bahwa sistem
pemilihan khalifah dalam perspektif pemikiran ulama fikih, dan kecenderungan
umat Islam generasi pertama dalam sejarah, adalah secara tidak langsung atau melalui perwakilan.
B. Saran
Demikianlah makalah yang
kami buat, semoga dapat bermanfaat bagi pembaca. Apabila terdapat kesalahan
dalam penulisan mohon dapat memaafkan dan memakluminya, karena kami adalah
hamba Allah yang tak luput dari salah, khilaf, alfa dan lupa.
DAFTAR
PUSTAKA
J. Suyuthi, Pulungan. 1995. Fiqih Siyasah. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
------------------------. 2014. Fiqih Siyasah. Yogyakarta: Perpustakaan Nasional.
Djazuli, H.A. 2017.
Fiqih Siyasah. Jakarta:
Kencana.
Taimiyah, Ibnu. 2002. Risalah Bai’at. Jakarta: Pustaka At-Tauhid.
Zaidan, Abdul Karim. 1987. Individu dan Negara menurut Pandangan Islam,
alih bahasa Jamaluddin Kafie. Surabaya: PT Bina Ilmu.
Dzajuli. H.A. 2003. Fiqih Siyasah (Implementasi
Kemaslahatan Umat dalam Rambu-rambu Syariah). Jakarta: PT Fajar
Interpratama Mandiri.
Djajuli. 2017. Fiqih Siyasah. Jakarta: Putra Grafika.
Abul A’la Maududi. 1975. Hukum dan konstitusi Islam, terjemahan
dari The Islamic Law and Constitution,Pakistan. Bandung: Mizan.
Al-Idrisyyah. 2012. Bai’at dalam Pandangan
Al-Qur’an dan As-Sunnah. Diakses dari
www.idrisiyyah.or.id/read/article/348/baiat-dalam-pandangan-al-quran-dan-as-sunnah-bag1
pada tanggal 21 September 2017 pukul 09.45 WIB.
Cooza, Arief. 2013. BAI’AT. Diakses dari https://ariefcooza.blogspot.co.id/2013/02/baiat.html?m=1
pada tanggal 21 September 2017 pukul 10.30 WIB.
[1] Pulungan, J. Suyuthi, Fiqih
Siyasah (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1995), hlm. 72.
[2] Ibid.
[3] Ibid.
[4] Al-Idrisyyah, “Bai’at dalam
Pandangan Al-Qur’an dan As-Sunnah”, diakses dari www.idrisiyyah.or.id/read/article/348/baiat-dalam-pandangan-al-quran-dan-as-sunnah-bag1
pada tanggal 21 September 2017 pukul 09.45 WIB.
[5] Ibid.
[6] Ibid.
[7] Ibnu Taimiyah, Risalah
Bai’at (Jakarta: Pustaka At-Tauhid,
2002), hlm. 23.
[8] Arief Cooza, “BAI’AT”, diakses
dari https://ariefcooza.blogspot.co.id/2013/02/baiat.html?m=1
pada tanggal 21 September 2017 pukul 10.30 WIB.
[9] H.A. Djazuli, Fiqih Siyasah
(Jakarta: Kencana, 2017), hlm. 66.
[10] Ibid.
[11] Ibid., hlm. 67.
[12] Ibid.
[13] Ibid., hlm. 68.
[14] Muhammad Husein Haikal, Op.
cit., hlm. 206.
[15] Al-Hanbali al-Qadli Abu Ja’la, Al-Ahkam
al-Sulthaniyah, Musthafa al-Babi al-Halabi, Mesir, cetakan I, 1938, hlm. 9.
[16] Hasbi, Op. cit., hlm. 126.
[17] Hasbi, Op. cit., hlm.
134.
[18] Yusuf Musa, Op. cit.,
hlm. 132.
[19] Abu Ja’la, Op. cit., hlm.
4.
[20] Abdul Wahab Khalaf, Op. cit.,
hlm. 56.
[21] Yusuf Musa, Op. cit.,
hlm. 68.
[22] Abdul Qadir Audah, Al-Islam
wa Audha’una Al-Siyasiyah, Darul Kitab al-Arabi, Kairo, 1951, hlm. 101-104.
[23] HR. Abu Dawud.
[24] Abul
A’la Maududi, 1975 Hukum dan konstitusi islam terjemahan dari the islamic
law and constitution,pakistan. Diterbitkan di Bandung. Mizan.
[25] Prof. Dzajuli.H.A, 2003,Fiqih Siyasah implementasi kemaslahatan
umat dalam rambu-rambu syariah, Jakarta, PT Fajar Interpratama Mandiri
[26] Abul A’la Maududi, 1975 Hukum dan konstitusi islam terjemahan dari the
islamic law and constitution,pakistan. Diterbitkan di Bandung. Mizan.
[27] Abdul Karim Zaidan, Individu dan Negara menurut Pandangan Islam, Pt
Bina Ilmu, Surabaya, 1987, hlm. 147 terjemahan Jamaluddin Kafie
[28] Djajuli, Fiqih Siyasah, Jakarta,
Putra Grafika, 2017, hlm. 76
[29] Suyuthi Pulungan, Fikih
Siyasah, Yogyakarta, Perpustakaan Nasional, 2014, hlm. 72
Langganan:
Postingan (Atom)