Minggu, 19 Mei 2019

Tafsir Fiqhi


BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Quran yang diturunkan kepada Rasulullah SAW memiliki ayat-ayat hukum fiqhi yang berkaitan erat dengan kemaslahatan ibadah di dunia dan akhirat. Pada zaman Rasulullah permasalahan fiqh yang muncul langsung disodorkan kepada Rasulullah SAW. Namun menjelang beliau wafat permasalahan tersebut dikembalikan kepada Al-Quran sebagai kitab suci umat Islam dan jika belum menemukan solusinya maka hal tersebut dikembalikan kepada sunnah Rasul namun jika tiak ditemukan juga maka ijtihadpun dituntut berperan penting sebagai jalan terakhir dalam menyelesaikan masalah fiqhi.
Tidak jarang perdebatan pendapat dalam beristibath ini banyak ditemukan dikalangan para sahabat. Situasi ini terus berkembang hingga munculnya empat ulama madzhab yang menjadi patokan umum dalam mengambil keputusan hukum oleh sebagian umat Islam. Mereka adalah Imam Hanafi, Imam Syafi’i, Imam Maliki, Imam Hanbali. Ini yang menjadi latar munculnya corak fiqh.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Tafsir Fiqhi ?
2. Bagaimana sejarah Tafsir Fiqhi ?
3. Sistematika apa saja yang ada pada tafsir fiqhi ?
4. Apa kelebihan dan kekurangan tafsir fiqhi ?



C. Tujuan
1. Lebih memahami tafsir fiqhi secara mendalam
2. Mengetahui sejarah tafsir fiqhi
3. Mengetahui kelebihan dan kekurangan tafsir fiqhi.

















BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Tafsir Fiqhi
       Tafsir adalah ilmu yang disgunakan untuk memahami kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, untuk mengetahui penjelasan makna-maknanya serta hukum-hukum dan hikmah yang terkandung di dalamnya.      
       Tafsir fiqhi adalah corak tafsir yang menitikberatkan kepada pembahasan masalah-masalah fiqhiyyah dan cabang-cabangnya serta membahas perdebatan atau perbedaan pendapat seputar pendapat-pendapat imam madzhab. Tafsir fiqhi ini juga dikenal dengan tafsir ahkam, yaitu tafsir yang lebih berorientasi kepada ayat-ayat hukum dalam Al-Quran (ayat-ayat ahkam). Tafsir fiqhi lebih populer dengan sebutan tafsir ahkam karena lebih berorientasi pada ayat-ayat hukum dalam Al-Quran. Orang yang pertama berhak menyandang predikat mufassir adalah Rasulullah SAW, kemudian para sahabat.
       Setelah ini periode mufassir tabi’in, kemudian periode mufassir tabi’it tabi’in dan orang-orang yang setelahnya, yang pada periode mereka ini dinamakan periode tadwin (pengodifikasian). Seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dengan cabang-cabangnya tafsirpun terus berkembang sampai periode mutakhirin. Di masa Rasulullah para sahabat memahami Al-Quran dengan kepekaan hati kearaban mereka. Jika terjadi kesulitan dalam memahami suatu ayat, mereka kembali kepada Rasulullah SAW lalu beliau menjelaskan kepada mereka. Setelah Rasulullah SAW wafat, para fuqaha dari kalangan sahabat mengendalikan umat di bawah kepemimpinan Khulafaur Rasyidin. Jika terdapat persoalan-persoalan baru yang belum pernah terjadi sebelumnya, maka Al-Quran merupakan tempat kembali mereka dalam mengistinbathkan hukum-hukum syara’nya.[1]
B. Sejarah Tafsir Fiqhi
      Dari berbagai macam atau metode tafsir, salah satu yang paling terkenal adalah tafsir AlQurtubi yang dalam kalangan ulama menyebutnya sebagai tafsir fiqhi atau tafsir corak hukum. Bila ditengok ke belakang, kemunculan tafsir ini bersamaan dengan corak tafsir bil Ma’tsur, yaitu sejak zaman Nabi SAW, karena sama-sama dinukil dari Nabi SAW. pada masa itu, ketika salah seorang sahabat menemukan kesulitan dalam memahami hukum suatu ayat, mereka langsung bertanya kepada Nabi. Kejadian seperti ini disatu pihak, dari sisi sumber disebut sebagai tafsir bi Al-Ma’tsur dan di pihak lain, disisi muatan diseut sebagai tafsir fiqhi.[2]
Setelah Nabi SAW meninggal dunia, secara otomatis sandaran untuk menyatakan berbagai persoalan yang menyangkut pemahaman suatu ayat sudah tidak ada lagi. Sehingga dituntut kemandirian dalam memahami suatu ayat, maka tidak mengherankan apabila saat itu muncul berbagai perbedaan pemahaman terhadap suatu ayat di kalangan para sahabat.
      Tafsir yang bercorak fiqh seperti ini terus berkembang bersama berkembangnya ijtihad. Perkembangan ini mendorong munculnya madzhab-madzhab fiqh. Sehingga masa-masa sesudahnya muncul beberapa tokoh yang mengkhusukan diri pada persoalan-persoalan fiqh dengan sudut pandang masing-masing.
C. Sistematika Tafsir Fiqhi
       Dalam sistematika penulisan kitab tafsir dikenal adanya 3 sistematika :
1. Mushafi
   Mushafi yaitu penyusunan kitab tafsir dengan berpedoman pada susunan ayat-ayat dan surat-surat dalam mushaf dengan memulai dari Al-Fatihah, Al-Baqarah dan seterusnya sampai surat An-Nas.
2. Nuzuli
   Nuzuli yaitu dalam menafsirkan Al-Quran berdasarkan kronologis turunnya surat-surat Al-Quran.
3. Maudhu’i
   Maudhu’i yaitu menafsirkan Al-Quran berdasarkan topik topik tertentu dengan mengumpulkan ayat-ayat yang ada hubungannya dengan topik tertentu kemudian ditafsirkan.
       Al-Qurtubi sebagai representasi dari tafsir fiqhi dalam menulis kitab tafsirnya memulai dari surat Al-Fatihah dan diakhiri dengan surat An-Nas. Dengan demikian ia memakai sistematika Mushafi, yaitu dalam menafsirkan Al-Quran sesuai dengan urutan ayat dan surat yang terdapat dalam mushaf.[3]
D. Langkah-langkah Tafsir Fiqhi
1. Memberikan kupasan dari bahasa.
2. Menyebutkan ayat-ayat lain yang berkaitan dan hadits-hadits dengan  menyebutkan sumbernya sebagai dalil.
3. Mengutip pendapat ulama dengan menyebut sumbernya sebagai alat untuk menjelaskan hukum-hukum yang berkaitan dengan pokok bahasan.
4.  Menolak pendapat yang dianggap tidak sesuai dengan ajaran-ajaran Islam.
5. Mendiskusikan pendapat ulama dengan argumentasi masing-masing, setelah itu melakukan tarjih dan mengambil pendapat yang paling benar.
E. Contoh Tafsir Fiqhi
       Al-Jami’ lil Ahkamil Quran adalah karya Abdullah Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakar bin Farh Al-anshari Al-Khazraji Al-Andalui seorang alim yang mumpuni dari kalangan Maliki. Di dalam tafsirnya ini, Al-Qurtubi tidak membatasi kajiannya pada ayat-ayat hukum semata, tetapi menafsirkan Al-Quran secara menyeluruh. Metode tafsir yang digunakan ialah menyebutkan asbabun nuzul (sebab-sebab turunnya ayat), mengemukakan ragam qira’at dan ‘irab, menjelaskan lafzdz-lafadz yang gharib,menghubungkan berbagai pendapat kepada sumbernya, menyediakan paragraph khusus bagi kisah para mufassir dan berita-berita dari para ulama terdahulu yang dapat dipercaya, khususnya penulis kitab hukum. Misalnya, ia mengutip dari ibnu Jarir Ath-Thabrani, Ibnu ‘Athiyah, Ibnu Arabi, Alkiya Harrasi dan Abu Bakr Al-Jashash.
       Al-Qurtubi sangat luas dalam mengkaji ayat-ayat hukum. Ia mengetengahkan masalah-masalah khilafiyah, hujjah bagi setiap pendapat lalu mengomentarinya. Dia tidak fanatik madzhab.
Q.s Al-Baqarah : 43

“Dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan rukuklah bersama orang-orang yang rukuk”.
       Dalam menagsirkan ayat di atas, Al-Qurtubi membagi pembahasan ayat ini menajdi 34 masalah. Di antara pembahasan yang menarik adalah masalah ke 16. Dia mendiskusikan berbagai pendapat tentang status anak kecil yang menjadi imam shalat. Di antara tokokh yang mengatakan tidak boleh adalah Al-Thawri, Malik dan Ashab Al-Ra’yi. Dalam masalah ini Al-Qurtubi berbeda pendapat dengan madzhab yang dianutnya, menurutunya anak kecil boleh menajdi imam jika memiliki bacaan yang baik. Selanjutnya dalam Q.s Al-Baqarah:187
“Dihalalkan bagi kamu pada amlam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu”.
Al-Qurtubi membaginya menjadi 36 masalah. Pada pembahasan ke 12, ia mendiskusikan makannya orang yang lupa pada siang hari di bulan Ramadhan. Ia berpendapat orang tersebut tidak berkewajiban mengganti puasanya, berbeda  dengan pendapat Malik sebagai imam madzhabnya. [4]
       Bila dicermati dari beberapa contoh penafsiran di atas, di satu sisi menggambarkan betapa Al-Qurtubi banyak mendiskusikan persoalan-persoalan hukum yang menjadikan tafsir ini masuk ke dalam jajaran tafsir yang bercorak hukum. Di sisi lain, dari contoh-contoh tersebut juga terlihat bahwa Al-Qurtubi yang bermadzhab Maliki juga ternayata teguh dengan pendapat Imam madzhabnya.[5]
F. Kelebihan dan Kekurangan Tafsir Fiqhi
            Kelebihan tafsir fiqhi yaitu :
1. Memberikan kejelasan terhadap umat Islam akan kandungan hukum syari’at yang terdapat dalam Al-Quran, hal ini menjadi titik tolak pemahaman umat bahwa sesungguhnya Al-Quran tidak hanya menjelaskan tentang aspek yang bersifat transenden dan metafisik (aqidah), akan tetapi juga menjelaskan tentang aspek syari’ah, disisi lain juga memberitahukan bahwa syari’ah atau hukum bukan semata-mata merupakan produk fuqaha’ akan tetapi telah menjadi bagian dari nash-nash Al-Quran bahkan lebih dominan yang mampu mengatur tatanan hidup manusia baik individu maupun sosial.
2. Upaya untuk memberikan kesepakatan praktis yang bertujuan untuk mempermudah manusia dalam mengaplikasikan seluruh bentuk hukum-hukum Allah yang termaktub di dalam Al-Quran setelah terjebak ke dalam perbedaan madzhabi dogmatis serius yang bersifat teoritis.
3. Tafsir Al-Quran dengan pendekatan fiqhi meskipun memberikan peluang terjadinya perbedaan pemahaman terhadap teks-teks Quraniyyah tetap memberikan sumbangsih pemikiran bahwa sesungguhnya seluruh bentuk aturan dan hukum dalam kehidupan baik individu maupun sosial tetap harus tunduk kepada Al-Musyarri’ Al-Awwal (Allah) melalui kalam-Nya yang mulia kemudian kepada pembawa wahyu dan risalah yang kemudian dikenal sebagai Al-Musyarri’ Ats Tsany ba’da (Rasulullah SAW) melalui sunnah beliau demi kemaslahatan manusia baik di dunia maupun di akhirat.
4. Tafsir fiqhi berusaha untuk membumikan Al-Quran lewat pemahaman ayat-ayat qauliyah kepada ayat-ayat kauniyah guna memberikan penyedaran, pemberdayaan dan advokasi terhadap permasalahan kehidupan manusia.
5. Tafsir fiqhi kendatipun beragam tetapi memberikan kekayaan bagi khazanah intelektual muslim dunia, sebab tanpa adanya penafsiran Al-Quran dalam bentuk ini, maka umat Islam secara khusus dan manusia secara umum akan kehilangan akar hukum dan perundang-undangan yang sesungguhnya.[6]
       Kekurangan tafsir fiqhi :
1. Tafsir fiqhi cenderung terjebak pada fanatik madzhab sehingga memunculkan sikap ortodokdi, pembelaan dan pembenaran terhadap terhadap madzhab tertentu dan menafikan keabsahan madzhab-madzhab lainnya. Sikap ini terwariskan kepada berpuluh-puluh generasi hingga saat ini.
2. Tafsir fiqhi melakukan reduksi pada satu aspek tertentu dari Al-Quran meliputi aqidah dan syari’ah, konsep dan sistem, teori dan praktek yang membutuhkan pemahaman dan pnafsiran secara universal.[7]
















BAB III
PENUTUP
Simpulan
Tafsir adalah ilmu yang digunakan untuk memahami kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, untuk mengetahui penjelasan makna-maknanya serta hukum-hukum dan hikmah yang terkandung di dalamnya.           
            Tafsir fiqhi adalah corak tafsir yang menitikberatkan kepada pembahasan masalah-masalah fiqhiyyah dan cabang-cabangnya serta membahas perdebatan atau perbedaan pendapat seputar pendapat-pendapat imam madzhab. Tafsir fiqhi ini juga dikenal dengan tafsir ahkam, yaitu tafsir yang lebih berorientasi kepada ayat-ayat hukum dalam Al-Quran (ayat-ayat ahkam). Tafsir fiqhi lebih populer dengan sebutan tafsir ahkam karena lebih berorientasi pada ayat-ayat hukum dalam Al-Quran. Orang yang pertama berhak menyandang predikat mufassir adalah Rasulullah SAW, kemudian para sahabat.










DAFTAR PUSTAKA



tafsir bil ma’tsur


BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
          Al-Qur'an adalah kalam Allah SWT yang berfungsi sebagai petunjuk bagi manusia. Sebagai kalam Allah SWT yang notabene berbeda dengan kalam manusia, tentu hanya Dialah satu-satunya yang paling mengerti maksudnya. Sebagai petunjuk hidup, tentu manusia harus berupaya memahaminya dengan pemahaman yang mendekati pemiliknya. Pada konteks seperti inilah, tafsir atas ayat-ayat Al-Qur'an diperlukan agar bisa berbicara dalam konteks masa dan ruang yang berbeda, Al-Qur’an mesti dipahami dan ditafsirkan oleh para pembacanya. Al-Qur’an adalah bersifat tetap apabila dilihat dari bunyi teks dan proses pewahyuannya. Al-Qur’an telah berhenti sebab pewahyuan berakhir dengan berakhirnya masa kenabian baginda Rasululullah Muhammad saw.
          Di sisi lain, ragam problema dan masalah-masalah yang timbul dalam lingkungan umat Islam selalu berkembang seiring dinamika zaman yang serba progres. Oleh sebab itu, untuk mendialogkan antara Al-Qur’an dan perkembangan zaman yang dinamis dan progres, muncul disiplin ilmu dengan apa yang disebut sebagai tafsir. Para ulama melakukan berbagai upaya untuk menjadikan Al-Qur’an agar bisa berbicara dan berdialog pada setiap zaman yang berbeda, melalui aktivitas penjelasan makna-makna Al-Qur’an secara maknawi-substantif sehingga upaya tersebut lantas dikenal secara luas sebagai tafsir. Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa pengertian tafsir adalah upaya untuk melakukan dialog antara Al Quran dan ragam problematika zaman yang dinamis dengan memahami makna terdalam atau pesan tersirat yang terkandung di dalam Al Quran. Sementara itu, dalam peta keilmuan Islam, ilmu tafsir adalah ilmu yang tergolong belum matang, sehingga selalu terbuka untuk dikembangkan. Setiap periode memiliki perkembangan yang berbeda sampai sekarang pun.
          Dalam perspektif 'ulum Al-Qur'an, setidaknya ditemukan dua terminology penafsiran yang sering digunakan yaitu tafsir bil ma'tsur dan tafsir bir ra'yi. Tafsir bil ma'tsur diartikan sebagai tafsir yang dilakukan dengan jalan riwayat, yakni tafsir Al-Qur'an dengan Al-Qur'an, hadits, pendapat sahabat, atau tabi'in. Sedangkan tafsir bir ra'yi didefinisikan sebagai upaya menyingkap isi kandungan Al-Qur'an dengan ijtihad yang dilakukan dengan mengapresiasi eksistensi akal.
          Meskip sama-sama mengungkapkan makna Al-Qur’an, masing-masing menggunakan cara dan pendekatan yang berbeda. Sehingga tidak mengherankan kalau metode yang digunakan para ulama dalam penafsiran Al-Qur’an mengalami perkembangan yang dinamis dan berbeda antara metode satu dengan metode lain dari zaman ke zaman. Metode-metode tersebut berkembang sejalan dengan perkembangan pemikiran, peradaban manusia dan perkembangan masalah-masalah yang berkembang di masyarakat. Selain itu, perkembangan terjadi karena kebutuhan manusia dengan metode baru sebagai konsekuensi logis terhadap perkembangan zaman yang tidak bisa dihindai.
          Oleh karenanya perlu kiranya dikaji secara utuh dan mendalam terhadap kedua tafsir tersebut, namum pada kesempatan ini penulis mencoba untuk memahami objek kajian dalam perfektitf pemahaman tafsir bil ma’tsur, sehingga pada akhirnya pemahaman-pemahaman terhadap tafsir bil ma'tsur bisa dipahami secar menyeluruh.
B.      Rumusan Masalah
          Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan masalah sebagai berikut :
1.  Apa yang dimaksud dengan metode tafsir bil ma’tsur?
2.  Apa ciri-ciri dari metode tafsir bil ma’tsur?
3.  Apa saja contoh-contoh penafsiran dengan metode bil ma’tsur?
4.  Bagaimana kekuatan dan kelemahan metode tafsir bil ma’tsur?

C.      Tujuan Penulisan
          Tujuan dari penyusunan makalah ini pada umumnya adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Tafsir, dan khususnya adalah untuk :
1. Untuk memahami pengertian metode tafsir bil ma’tsur.
2. Untuk mengetahui ciri-ciri metode tafsir bil ma’tsur.
3. Untuk mengetahui contoh-contoh penafsiran dengan metode bil ma’tsur.
4. Untuk mengetahui kekuatan dan kelemahan metode tafsir bil ma’tsur.

BAB II
PEMBAHASAN
a.    Pengertian Metode Tafsir Bil Ma’tsur
          Dinamai dengan bil ma’tsur (dari kata “atsar” yang berarti sunnah, hadits, jejak, peninggalan) karena dalam melakukan penafsiran, seorang mufasir menelusuri jejak atau peninggalan masa lalu dari generasi sebelumnya, hingga kepada Nabi SAW.
Tafsir bil ma’tsur adalah tafsir berdasar pada kutipan-kutipan yang shahih, yaitu menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an; Al-Qur’an dengan sunnah, karena ia berfungsi sebagai penjelas Kitabullah; dengan perkataan sahabat, karena merekalah yang dianggap paling mengetahui Kitabullah; dengan perkataan tokoh-tokoh besar tabi’in, karena mereka pada umumnya menerimanya dari sahabat.Tafsir bil ma’tsur ini merupakan salah satu jenis penafsiran yang muncul pertama kali dalam sejarah khazanah intelektual Islam. Praktik penafsirannya adalah ayat-ayat yang terdapat dalam Al-Qur’an Al-Karim ditafsirkan dengan ayat-ayat lain, atau dengan riwayat dari Nabi Saw., para sahabat dan juga dari tabi’in. Tentang yang terakhir ini terdapat perbedaan pendapat. Sebagian ulama menggolongkan qaultabi’in ini sebagai bagian dari riwayat, sedangkan yang lainnya mengkategorikannya kepada al-ra’y  saja.
b. Ciri-Ciri Metode Tafsir bil Ma’tsur
1.  Memuat banyak cerita Israiliyat. Hal ini disebabkan banyak ahli kitab yang masuk Islam, padahal mereka masih terikat oleh pemikiran lama yang tidak menyangkut soal hukum syariat.
2.  Terdapat kebiasaan menerima riwayat dari orang-orang tertentu atau yang hanya meriwayatkan tafsir dari orang yang disenangi, seperti Mujahid yang hanya meriwayatkan tafsir dari Ibn Abbas, demikian pula dengan ahli tafsir lainnya yang mengkhususkan gurunya tertentu.
3.  Menafsirkan Al-Qur’an dengan hadits-hadits yang diriwayatkan dari Rasulullah SAW untuk menjelaskan sebagian kesulitan yang ditemui para sahabat.
4.  Menafsirkan Al-Qur’an dengan pendapat para sahabat berdasarkan ijtihad mereka.
5.  Menafsirkan Al-Qur’an dengan pendapat tabi’in untuk menjelaskan kesamaran yang ditemui oleh kaum muslimin tentang sebagian makna Al-Qur’an.

c.    Contoh-contoh Penafsiran dengan Metode bil ma’tsur
1.    Tafsir Al-Qur’an dengan Al-Qur’an.
Sebagaimana diketahui bahwa Al-Qur’an itu, sebagian ayatnya merupakan penjelas terhadap sebagian ayat yang lain hanya Allah saja yang Maha Mengetahui apa yang dikehendaki dengan firmanNya. Di antara contoh-contohnya sebagai berikut:
فَتَلَقَّى آدَمُ مِن رَّبِّهِ كَلِمَاتٍ فَتَابَ عَلَيْهِ إِنَّهُ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ
“Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima tobatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.” (QS Al-Baqarah [2]: 37).
Kata “‘Kalimaatun” (beberapa kalimat) tersebut dijelaskan oleh ayat yang lain di surat yang lain, yaitu:
قَالَا رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Adam dan Hawa berkata : Rabbana wahai Tuhan kami, kami telah berbuat aniaya terhadap diri kami. Dan kalau Engkau tidak mengampuni kami dan tidak memberikan kasih sayang kepada kami, pasti kami akan menjadi orang-orang merugi”. (Al-A’raf [7]:23)
Demikian juga QS Al-Maidah  (5): 1:
يا أَيُّهَا الَّذينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ أُحِلَّتْ لَكُمْ بَهيمَةُ الْأَنْعامِ إِلاَّ ما يُتْلى‏ عَلَيْكُمْ غَيْرَ مُحِلِّي الصَّيْدِ وَ أَنْتُمْ حُرُمٌ إِنَّ اللَّهَ يَحْكُمُ ما يُريدُ
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (Yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukummenurutyangdikehendaki-Nya.”
Penggalan ayat Illa Maa Yutlaa ‘alaikum dijelaskan oleh Allah dalam firman QS. Al-Maidah (5): 3):
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَ الدَّمُ وَ لَحْمُ الْخِنْزيرِ وَ ما أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) dan yang disembelih atas nama selain Allah…”
Demkian juga FirmanNya:
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّين
“Tunjukkanlah kami pada jalan yang lurus, yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau karuniai nikmat, bukan jalan orang-orang yang Engkau murkai dan bukan jalan orang-orang yang sesat” (QS Al-Fatihah [1]: 6-7).
Kalimat “orang-orang yang Engkau karuniai nikmat” pada ayat di atas, dijelaskan oleh Allah dalam firmanNya:
وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَٰئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ ۚ وَحَسُنَ أُولَٰئِكَ رَفِيقًا
“Dan barang siapa yang taat kepada Allah dan RasulNya maka mereka adalah bersama orang-orang yang mendapatkan nikmt dart Allah, yaitu para Nabi, orang-orang yang selalu membenarkan apa-apa yang benar, orang-orang mati syahid dan orang-orang saleh. Mereka itulah sebaik-baik teman/sahabat” (QS An-Nisa: 69).
Demikian juga FirmanNya:
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ ۚ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ
“sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kamilah Yang Memberi peringatan” (QS Ad-Dukhan[44]:3)
Kata “malam yang diberkahi” dijelaskan oleh Allah dalam firmanNya:
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ
“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur’an) pada kemuliaan (Qadar)” (QS Al-Qadr [97]: 1)
2.    Tafsir ayat Al-Qur’an dengan as-Sunah.
Dalam hal ini as-Sunah menjelaskan Al-Qur’an jika dalam Al-Qur’an itu sendiri tidak terdapat penjelasan karena kedudukan/fungsi as-Sunah sebagai penjelas terhadap Alquran.[12] Hal tersebut sesuai dengan firmanNya:
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
”Dan Kami turunkan kepadamu Al Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan”,
 (QS An-Nahl (16): 44).


Di antara contoh as-Sunah menjelaskan Alquran adalah:
1)             Firman Allah dalam QS. Al-An’am (6): 82:
الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَٰئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُونَ
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman, mereka itulah orang-orang yang mendapat kemenangan dan mereka orang-orang yang mendapat Petunjuk.”
Kata “al-zulm” dalam ayat tersebut, dijelaskan oleh Rasul Allah saw dengan pengertian “al-syirk” (kemusyrikan).
2)             Firman Allah dalam QS. Al-Baqarah (2): 238:
حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلَاةِ الْوُسْطَىٰ وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ
“Peliharalah segala shalat dan shalat wustha” (QS Al-Baqarah [2]:238). ”Shalat wustha” dijelaskan oleh Nabi dengan ”shalat Asar”.
3)      Firman Allah:
صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ
“(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.” (QS Al-Fatihah:7). Kata “al-Magdlubi `alaihim dan al-Dhaalliin” ditafsirkan oleh Nabi dengan orang-orang Yahudi dan Nasrani.
4)             Firman Allah QS. Al-Anfaal [8]:60:
وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ
”Dan siapkan untuk menghadapi mereka kekuatan-kekuatan apa saja yang kamu sanggupi.” Kata ”Maastatha’tum” ditafsirkan oleh Nabi SAW dengan ”alramyu yaitu anak panah.
5)             Firman Allah dalam QS. Ghafir (40): 60:
وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ ۚ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ
“Dan Tuhanmu berfirman: Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahanam dalam keadaan hina dina”.
Rasulullah menafsirkan kata ”ibadah” dalam ayat tersebut dengan ”al-du’aa”.
6).    Tafsir Al-Qur’an dengan riwayat sahabat.
Apabila tidak ditemukan penafsiran dalam Alquran maupun as-Sunnah, maka hendaklah kita kembali kepada keterangan sahabat terkemuka yang saheh, karena merekalah yang pernah bersama Nabi, bergaul dengan beliau dan menghayati petunjuk-petunjuknya.
Para sahabat yang terkenal sebagai mufassir ada 10 orang, yaitu empat Khulafa al-Rasyidin ditambah dengan Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Sabit, Abu Musa al-`Asy’ari dan Abdullah bin Zubair. Namun demikian Khulafa al-Rasyidin hanya sedikit yang mewartakan asar (penjelasan sahabat) kecuali Ali bin Abu Thalib. Dan pada saat ketiga khalifah pertama masih hidup, ketika itu masih banyak sahabat yang ahli dalam kitabullah.
Di antara contoh mengenai penafsiran sahabat terhadap Alquran ialah diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu AN Halim dengan Sanad yang saheh dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang menerangkan QS. Al-Nisaa’(4) : 2:
وَآتُوا الْيَتَامَىٰ أَمْوَالَهُمْ ۖ وَلَا تَتَبَدَّلُوا الْخَبِيثَ بِالطَّيِّبِ ۖ وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَهُمْ إِلَىٰ أَمْوَالِكُمْ ۚ إِنَّهُ كَانَ حُوبًا كَبِيرًا
“Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang besar.”
Kata ” HUB ” ditafsirkan oleh Ibnu Abbas dengan dosa besar. Juga penjelasan Ibnu Abbas mengenai firman Allah QS. Al-Fatihah:7:
صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّين
“Yaitu ketaatanmu, ibadatmu di antara para malaikat, para Nabi, para siddiqiin, syuhada dan orang-orang saleh.
7).    Tafsir Al-Qur’an dengan penjelasan tabi’in.
Sebagai bahan rujukan dalam dalam penulisan Alquran, penjelasan tabi’in tetap diperhitungkan untuk dapat menafsirkan Alquran. Sekalipun mereka bukan generasi sahabat yang langsung mendapat penafsiran dari Nabi, tetapi mereka memperoleh penjelasan dari para sahabat. Sebagai contoh penafsiran Mujahid bin Jabbar tentang ayat: Shiraat al-Mustaqim yaitu kebenaran. Mujahid sering menemui Ibnu Abbas dalam memperoleh keterangan.
d.      Kelebihan dan Kekurangan Metode Tafsir Bil Ma’tsur
          Tafisr bil ma'tsur ini lebih banyak memakai riwayat ketimbang tafsir bir ra'yi. Selain itu tafsir bil ma'tsur ini diterima dan diriwayatkan dari Nabi, sahabat, dan tabi'in dari mulut ke mulut dengan menyebutkan para perawinya mulai Nabi SAW terus kepada perawi terakhir.
Menurut Quraisy Sihab bahwa keistimewaan tafsir bil ma'tsur adalah
1. Menekankan pentingnya bahasa dalam memahami al-Qur'an
2. Memaparkan ketelitian redaksi ayat ketika menyampaikan pesan-pesannya
3.  Mengikat mufasir dalam bingkai teks ayat-ayat, sehingga membatasinya     terjerumus dalam subjektivitas berlebihan.
          Penafsiran Al-Qur'an dengan sebagiannya dan penafsiran Al-Qur'an dengan hadis sahih yang sampai kepada rasulullah SAW, maka tidak diragukan lagi bisa diterima dan tidak ada perbedaan, Ia Merupakan Tingkatan Tafsir Yang Tertinggi. Mula-mula tafsir bil ma'tsur ditulis lengkap dengan sanadnya, tapi kemudian bagian sanad dihilangkan sehingga tak diketahui lagi perbedaan tafsir  yang berasal dari Nabi dan sahabat dengan tafsir isra'iliyyat, yang dipalsukan dan sebagainya. Menurut adz-Dzahabi israiliyat diartikan sebagi cerita atau berita yang diriwayatkan dari sumber israil (Yahudi). Masuknya israiliyat ke dalam penafsiran Al-Qur’an sudah dimulai sejak masa sahabat, yaitu sesaat setelah Rasulullah wafat.  Ini didasarkan atas fakta sejarah bahwa tokoh-tokoh mufassir Al-Qur’an pada masa itu ada yang bertanya dan menerima keterangan-keterangan dari tokoh-tokoh ahli kitab yang telah masuh Islam, untuk menafsirkan ayat-ayat tertentu dalam Al-Qur’an. Ibnu Abbas, yang terkenal sebagai tokoh mufasir terkemuka pada masa itu, banyak juga Mempergunakan Sumber Ini Dalam Karya Tafsirnya
        Adapun contoh dari tafsir israiliyat ini seperti membahas perkara-perkara yang sebenarnya tidak begitu perlu dan berguna untuk mengetahuinya dalam rangka penafsiran Al-Qur’an, seperi tentang warna anjing (ashabul kahfi) dan namanya, ukuran perahu nabi Nuh dan jenis kayunya, nama anak kecil yang dibunuh nabi Khidir dan lain-lain. Mengenai penafsiran Al-Qur'an dengan pendapat-pendapat yang disandarkan kepada para sahabat dan tabi'in, mengandung banyak kelemahan karena beberapa sebab:
1. Banyak riwayat yang disisipkan oleh musuh-musuh Islam, seperti yang disisipkan oleh orang-orang zindiq (seseorang yang tidak berpegang teguh terhadap agama), baik dari bangsa Yahudi maupun bangsa Persi.
2. Usaha-usaha yang dilakukan oleh penganut-penganut mazhab yang terlalu jauh menyimpang dari kebenaran, seperti yang dilakukan oleh kaum Syiah yang telah menyandarkan kepada Ali ra.
3. Bercampur baurnya riwayat-riwayat yang shahih  dengan  tidak shahih dan banyaknya ucapan-ucapan yang dibangsakan kepada sahabat, atau tabi'in tanpa menyebut sanad dan tanpa menyaring, sehingga bercampurlah yang hak dengan yang batil.
4. Riwayat-riwayat israiliyat yang mengandung dongengan-dongengan yang tidak dapat dibenarkan. 
Disisi lain kelemahan dari tafsir bil ma'tsur adalah :
a) Terjerumusnya sang mufasir dalam uraian kebahasaan dan kesusastraan yang bertele-tele sehingga pesan pokok Al-Qur'an menjadi kabur.
b) Seringkali konteks turunnya ayat (uraian asbab al-nuzul atau sisi kronologis turunnya ayat-ayat hukum yang dipahami dari uraian nasikh/mansukh) hampir dapat dikatakan terabaikan sama sekali, sehingga ayat-ayat tersebut bagaikan turun bukan dalam satu masa atau berada di tengah-tengah masyarakat tanpa budaya.









BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
          Tafsir bil ma’tsur adalah tafsir berdasar pada kutipan-kutipan yang shahih, yaitu menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, Al-Qur’an dengan sunnah, Al-Qur’an dengan perkataan sahabat, dan Al-Qur’an dengan perkataan tokoh-tokoh besar tabi’in. Tafsir bil ma’tsur ini merupakan salah satu jenis penafsiran yang muncul pertama kali dalam sejarah khazanah intelektual Islam.
          Demikian Makalah Tafsir bil Ma'tsur yang dapat kami sajikan di mana tentu masih banyak kesalahan dan kekurangan dalam penyusunannya. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun, kami harapkan dalam rangka penyempurnaan dan perbaikan pada makalah selanjutnya. Semoga Makalah Tafsir bil Ma'tsur dapat memberikan manfaat yang nyata kepada kita semua. Amin.














DAFTAR PUSTAKA

Abdul Hakim, Atang.dkk. 2010.Metodologi Studi Islam.Bandung :Remaja Rosdakarya
Abdul Halim,Muhammad.2012.Menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an.Bandung:Marja
Adz-Dhahabi,Muhammas Husein, 1976.Tafsir wal Mufassirun.Mesir: Dar al-Kutub wa Al- Hadits.Jilid I
 Ali Ash-Shabuni,Muhammad.1998.Studi Ilmu Al-Quran.Bandung:Pustaka Setia
 Al-Qaththan, Manna’.1973.Mabahits fi Ulum Al-Qur’an.Mansyurat Al-Ash Al-Hadits
                                , Studi Ilmu-Ilmu AL-Qur’an.terjemah Mudzakkir AS.1996. Bogor:Pustaka Litera Antar Nusa
Ath-Thabari. Kitab Tafsir Jami’ul Bayan fi Takwil Al-Qur’an.
Al-Zarqani,Muhammad.Manahil Irfan fi Ulum Al-Qur’an.
Ash-Shiddieqiy,Hasbi.2002.Ilmu Al-Qur’an Tafsir.Semarang:Pustaka Riski Putra
Baiden,Nashruddin.2005.Wawasan Baru Ilmu Tafsir.Yogyakarata:Pustaka Pelajar
Ghazali, Muqsith.dkk.2009.Metodologi Studi Al-Qur’an.Jakarta:Gramedia Pustaka
Ibnu Katsir. Kitab Tafsir Al-Qur’an Al-Adhim.
Shihab,Quraish.1992.Membumikan Al-Qur’an.Bandung:Mizan
                              , 2000.Tafsir Al-Misbah.Ciputat:Lentera Hati 
Suyuthi. Kitab Tafsir Ad-Dur Manstur fi Tafsir bil Ma’tsur
Zaini,Muhammad.2005.Ulumul Qur’an:Studi Pengantar.Banda Aceh:Yayasan PeNA