Minggu, 19 Mei 2019

Buku Akhlak Mahmudah





kata pengantar Download
daftar isi Download
materi buku Download
daftar pustaka Download

Tafsir shufi


BAB I
PENDAHULUAN

A.         Latar Belakang
Dalam sejarah perkembangan tafsir, pada mulanya penafsiran ayat-ayat al-Qur’an berdasarkan ijtihad masih sangat sedikit dan terikat oleh kaidah bahasa serta arti-arti yang dikandung oleh suatu kosa-kata. Tetapi pada perkembangan selanjutnya, seiring dengan berkembangnya pengetahuan masyarakat maka muncul berbagai kitab atau penafsiran al-Qur’an yang beraneka ragam coraknya, yang merupakan konsekuensi logis dari perkembangan zaman dan penengetahuan, karena dalam al-Qur’an sendiri memberikan kemungkinan-kemungkinan arti yang tidak terbatas. Adanya corak-corak penafsiran yang beragam adalah sebagai bukti akan kebebasan penafsiran al-Qur’an.
Penulis akan mengangkat sekilas tentang masalah tafsir perspektif orang golongan ahli sufi. Perkembangan sufisme yang kian marak di dunia Islam ditandai oleh praktik-praktik asketisme dan askapisme yang dilakukan oleh generasi awal Islam. Hal ini dimulai sejak munculnya konflik politis sepeninggal nabi Muhammad SAW. Praktik seperti terus berkembang pada masa berikutnya, seiring berkembangnya aliran sufi. Pada umumnya kaum sufi memahami ayat-ayat alqur’an bukan sekedar dari lahir yang tersurat saja. Namun mereka memahaminya secara bathin atau yang tersirat.

B.    Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan masalah sebagai berikut :
1.     Apa pengertian dari Tafsir Shufi?
2.     Apa saja jenis-jenis tafsir Shufi?
3.     Apa Perbedaan tafsir shufi nadhari dan sufi isyari?
4.     Apa kekurangan dan kelebihan sufi isyari?

C.    Tujuan Penulisan Makalah
Berdasarkan rumusan masalah di atas, dapat tujuan sebagai berikut :
1.     Untuk mengetahui pengertian dari Tafsir Shufi.
2.     Untuk mengetahui jenis-jenis tafsir Shufi.
3.     Untuk mengetahui Perbedaan antara tafsir sufi nadhari dan sufi isyari.
4.     Untuk mengetahui kekurangan dan kelebihan sufi isyari.
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Tafsir Shufi
Kata suf (صوف) berasal dari madzi dan mudlari’ صاف يصوف yang mempunyai arti tenunan dari bulu domba (wol), merujuk pada jubah yang dikenakan oleh orang muslim yang bergaya hidup sederhana. Sebagian ulama berpendapat bahwa kata sufi berasal dari madzi dan mudlari’ صفا يصفو yang mempunyai arti jernih, bersih. Hal ini menaruh penekanan pada memurnian hati dan jiwa.Yang dimaksud dengan tafsir sufi adalah tafsir yang ditulis oleh para sufiMenururt Al-Zarqani tafsir sufi adalah “menafsirkan Al-Qur’an tidak dengan makna zahir, melainkan dengan makna batin, karena ada isyarat yang tersembunyi yang terlihat oeh para sufi. Namun demikian tafsir batin tersebut masih dapat dikompromikan dengan makna zahirnya.

B.    Jenis Tafsir Shufi
Sesuai dengan pembagian dalam tafsir ini dibagi menjadi dua yaitu tafsir yang sejalan dengan tasawufan Nadzari disebut Tafsir al Shufi al Nadzri, dan yang sejalan dengan tashawwuf amali disebut tafsir al isyari.
1.     Tafsir Sufi Nadhari
Tafsir sufi nadhari adalah tafsir sufi yang dibangun untuk mempromosikan dan memperkuat teori-teori mistik yang dianut mufassir. Az-Zahabi mengatakan bahwa tafsir sufi nadhari dalam praktiknya adalah penafsiran al-Qur’an yang tidak memeperhatikan segi bahasa serta apa yang dimaksudkan oleh syara.
Ulama yang dianggap kompeten dalam tafsir tasawuf teoritis (nadhari) yaitu Muhyiddin Ibn al-‘Arabi. Ibn ‘Arabi dianggap sebagai ulama tafsir sufi nadhari yang meyandarkan bebarapa teori-teori tasawufnya dengan al-Qur’an. Karya tafsir Ibn al-‘Arabi di antaranya al-Futuhat al-Makiyat dan al-Fushush. Adapun Karakteristik Tafsir Sufi Nadhari, az-Zahabi menjelaskan karekteristik atau ciri-ciri dalam penafsiran nadhari sebagai berikut :
Pertama, dalam penafsiran ayat-ayat al-Qur’an tafsir nadhari sangat besar dipengaruhi oleh filsafat. Kedua, di dalam tafsir nadhari, hal-hal yang gaib dibawa ke dalam sesuatu yang nyata atau tampak dengan perkataan lain meng-qiyas-kan yang gaib pada kenyataan. Ketiga, terkadang tidak memperhatikan kaidah-kaidah nahwu dan hanya menafsirkan apa yang sejalan dengan ruh dan jiwa sang mufassir.
Contoh Tafsir Sufi Nadhari
a.            Al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 186:
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِي إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ
Artinya: “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, Maka (jawablah), bahwasanya aku adalah dekat. aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran”. Kata do’a yang terdapat dalam ayat tersebut oleh sufi diartikan bukan berdo’a dalam arti lazim dipakai. Kata itu bagi golongan ini adalah mengandung arti berseru atau memanggil. Tuhan mereka panggil dan Tuhan melihat dirinya kepada mereka. Dengan perkataan lain, mereka berseru agar Tuhan membuka hijab dan menampakkan dirinya kepada mereka.
b.            Surat Al-Baqarah 115:
وَلِلَّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ وَاسِعُ عَلِيمُُ{115}
Artinya: “Timur dan Barat kepunyaan Allah, maka kemana saja kamu berpaling di situ wajah Allah”.Kaum sufi menafsirkannya dengan di mana saja Tuhan ada, dan dimana saja Tuhan dapat dijumpai. Sehingga untuk mencari Tuhan tidak perlu jauh-jauh, dan Tuhan dapat dijumpai di mana saja dan Dia selalu ada.
c.            Surat Qaf ayat 16:
وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنسَانَ وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهِ نَفْسُهُ وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ
Artinya: “Dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya”, Para ahli tasawuf menafsirkan ayat itu sebagai gambaran bahwa untuk mencari Tuhan orang tak perlu pergi jauh-jauh. Untuk itu ia cukup kembali ke dalam dirinya sendiri. Dengan perkataan lain bahwa Tuhan bukan berada di luar diri manusia, tetapi Tuhan berada di dalam diri manusia. dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya. (Qaf: 16)
Yakni malaikat-malaikat Allah Swt. lebih dekat kepada manusia dari pada urat lehernya. Dan menurut pendapat ulama yang menakwilkannya dengan pengertian ilmu Allah, sesungguhnya yang dimaksud hanyalah untuk menghapuskan pengertian dugaan adanya bertempat atau ke­manunggalan, karena kedua sifat tersebut merupakan hal yang mustahil bagi Allah Swt. menurut kesepakatan semua ulama, Maha suci Allah dari keduanya. Akan tetapi bila ditinjau dari segi teks, ayat tidak menunjukkan ke arah pengertian pengetahuan Allah, karena Allah Swt. tidak mengatakan, "Aku lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.
2.     Tafsir Sufi Isyari
Tafsir sufi isyari adalah pentakwilan ayat-ayat al-Qur’an yang berbeda dengan makna lahirnya sesuai dengan petunjuk khusus yang diterima para tokoh sufisme tetapi di antara kedua makna tersebut dapat dikompromikan. Metode yang dipakai dalam tafsir tasawuf secara umum adalah metode isyarat (Isyarah). Isyarat di sini maksudnya adalah menyingkap apa yang ada di dalam makna lahir suatu ayat untuk mengetahui hikmah-hikmahnya.
Semua tafsir isyari tidak bisa begitu saja diterima tetapi harus memenuhi syarat-syarat yang tidak boleh ditinggalkan oleh mufasir. Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut :
a.      Penafsiran Isyari tidak boleh menafikan apa yang dimaksudkan makna zhahir.
b.     Harus ada nas lain yang menguatkannya.
c.      Tidak bertentangan dengan syara’ dan akal.
d.     Harus diawali dengan penafsiran terhadap makna lahir, dan memungkinkan adanya makna lain selain makan zhahir.
Contoh Tafsir Sufi Isyari
Contoh penafsiran isyari  yang dapat diterima karena telah memenuhi syarat-syarat tersebut di atas, yaitu penafsiran al-Tastary ketika menafsirkan ayat 22 dari surat al-Baqarah : فلا تجعلوا لله اندادا Al-Tastary  menafsirkan andadan yaitu nafsu amarah yang jelek. Jadi maksud andadan disini bukan hanya patung-patung, setan atau jiwa tetapi nafsu amarah yang sering dijadikan Tuhan oleh manusia adalah perihal yang dimaksud dari ayat tersebut, karena manusia selalu menyekutukan Tuhannya dengan selalu menjadi hamba bagi nafsu amarahnya.
 Menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan melihat isyarat yang ada di dalamnya telah banyak dilakukan oleh para sahabat Nabi, diantaranya penafsiran isyari sahabat yaitu ketika para sahabat mendengar ayat pertama dari surat al-Nasr ayat 1 yang bunyinya:  اذا جاء نصر الله والفتح Artinya: “Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan” (QS. Al-Nasr:1) di antara mereka ada yang mencoba memberikan penafsiran ayat tersebut dengan mengatakan bahwa ayat tersebut memerintahkan kepada mereka untuk bersyukur kepada Allah dan meminta ampunannya. Tetapi berbeda dengan Ibn Abbas yang mengatakan bahwa ayat tersebut adalah sebagai tanda ajal Rasulullah saw.

C.    Perbedaan Tafsir Sufi Nadhari dan Sufi Isyari
Az-Zahabi memeberikan penjelasan mengenai perbedaan antara tafsir sufi nadzari dengan tafsir sufi isyari sebagai berikut :
 Tafsir sufi nadzari dibangun atas dasar pengetahuan ilmu sebelumnya yang ada dalam seorang sufi yang kemudian menafsirkan al-Qur’an yang dijadikan sebagai landasan tasawufnya. Adapun tafsir sufi isyari bukan didasarkan pada adanya pengetahuan ilmu sebelumnya, tetapi didasari oleh ketulusan hati seorang sufi yang mencapai derajat tertentu sehingga tersingkapnya isyarat-isyarat al-Qur’an.
Dalam tafsir sufi nadzari seorang sufi berpendapat bahwa semua ayat al-Qur’an mempunyai makna-makna tertentu dan bukan makna lain yang di balik ayat. Adapun dalam tafsir sufi isyari asumsi dasarnya bahwa ayat-ayat al-Qur’an mempunyai makna lain yang ada di balik makna lahir. Dengan perkataan lain bahwa al-Qur’an terdiri dari makna zahir dan batin.
Contoh Penafsiran Yang Lain
1.     al-Ghazali menafsirkan potongan ayat (QS:20;12) ( فَاخْلَعْ نَعْلَيْلَكَ) yang secara zahir “tinggalkanlah (Wahai Musa) kedua sandalmu”. Menurut al-Ghazali makna batin dari ayat ini adalah “Tanggalkan (Hai Musa) kedua alammu, baik alam dunia mupun akhirat. Yakni, janganlah engkau memikirkan keuntungan duniawi dan jangan pula mencari pahala ukhrawi, tapi carilah wajah Allah semata”.
2.     Az-Zahabi memberikan contoh tafsir nadhari yang dipengaruhi filasafat yaitu penafsiran Ibn al’Arabi terhadap ayat 57 dari surat Maryam :وَرَفَعْنَٰهُ مَكَانًا عَلِيًّا  Artinya: “Dan Kami telah mengangkatnya ke martabat yang tinggi”.  Menurut az-Zahabi penafsiran Ibn al-’Arabi tersebut sangat dipengaruhi oleh pemikiran filasafat alam yaitu dengan menafsirkan lafazh makanan ‘aliyyan dengan antariksa (alam bintang).
3.     kaum Bathiniyah Al-Taftazani, Dengan dalih bahwa di balik makna zahir Al-Qur’an tersimpan makna batin, mereka mengembangkan tafsir batin yang disesuaikan dengan ajaran-ajaran mereka sendiri. Misalnya saja ketika  menafsirkan surat al-Hijr ayat 99وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّىٰ يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ ﴿الحجر٩٩ }
Menurut pendapat jumhur, ayat itu berarti “sembahlah Tuhanmu sampai ajal tiba”. Namun kaum Bathiniyah mengembangkan penafsiran sendiri. Menurut mereka makna ayat itu adalah “barangsiapa telah mengerti makna ibadah, maka gugurlah kewajiban baginya”.

D.    Kitab-kitab Tafsir Shufi
1.     Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim, karya Imam At-Tutsuri (w.283 H)           
2.     Haqa’iq At-Tafsir, karya Al-Allamah As-Sulami (w.412 H)
3.     Arais Al-Bayan fi Haqa’iq Al-Qur’an, karya Imam As-Syirazi (w.606 H).
E.    Tokoh –tokoh Shufi
1.     Ibn al-‘Arabi
2.      

F.     Kekurangan Dan Kelebihan Tafsir Sufi Isyari
1.     Kekurangan Tafsir Sufi Isyari
Disini terlihat beberapa kelemahan yang dimiliki tafsir Sufi Isyari, yaitu sebagai berikut :
a.   Apabila Tafsir ini, tidak memenuhi syarat-syarat sebagaimana telah di sebutkan diatas, maka tafsir ini dapat dikatakan tafsir dengan hawa nafsu atau rasio bertentangan dengan lahir ayat yang dilarang oleh Allah.
b.   Tidak memperhatikan beberapa persyaratan yang telah ditetapkan Ulama sehingga berjalan bagaikan unta yang buta, yang akhirnya orang yang awam berani mencecerkan kitab Allah, menakwilkan menurut bisikan hawa nafsunya atau menurut bisikan setan. Orang-orang tersebut menduga bahwa hal itu termasuk tafsir akibat kebodohan dan kesesatan mereka karena telah menyelewengkan kitab Allah dan berjalan di atas pengaruh aliran kebatinan dan atas. Hal semacam itu kalaupun bukan merupakan penyelewengan terhadap arti.
c.   Kadang-kadang maknanya sangat jauh dari ketentuan-ketentuan agama yang sudah qath`i atau pasti keharamannya. Seperti anggapan Ibnu `Arabi terhadap orang-orang musyrik yang menyembah patung. Menurutnya mereka pada hakikatnya menyembah Allah bukan menyembah patung dan patung adalah sebagai pengganti Allah.
d.   Penafsiran al-Qur’an yang tidak memeperhatikan segi bahasa serta apa yang dimaksudkan oleh syara.

2.     Kelebihan Sufi Isyari
secara Isyari terlihat beberapa kelebihan yang dimiliki tafsir al-Isyari, yaitu :
1.     Tafsir Isyari mempunyai kekuatan hukum dari Syara` sebagaimana telah dijelaskan mengenai beberapa contoh penafsiran secara Isyari, seperti penafsiran Ibnu `Abbas terhadap firman Allah Q.S. Al-`Nashr :1. Sehingga hampir semua sahabat dalam kasus tersebut tidak ada yang memahami maknanya melainkan makna secara zahir atau tekstual.
2.     Apabila Tafsir Isyari ini, memenuhi syarat-syarat tafsir sebagaimana yang telah disepakati para ulama tafsir, maka akan bertambah wawasan dan pengetahuan terhadap isi kandungan Al-Qur`an dan Hadits.
3.     Penafsiran secara Isyari tidaklah menjadi aneh kalau Allah melimpahkan ilmu pengetahuan kepada orang yang ia kehendaki serta memberikan pemahaman kepada orang-orang pilihan, seperti Abu Bakar, Umar, Ibnu `Abbas dan Nabi Khidhir AS.
4.     Penafsiran Isyari mempunyai pengertian-pengertian yang tidak mudah dijangkau sembarangan ahli tafsir kecuali bagi mereka yang memiliki sifat kesempurnaan Iman dan kemurnian ma`rifat.
5.     Tafsir Isyari atau tafsir golongan yang ma`rifat kepada Allah jelas telah memahami makna tekstual atau makna lahir dari al-Qur`an, sebelum menuju kepada makna secara isyarat. Hal ini mereka memiliki dua kelebihan, yaitu:
Pertama, menguasai makna lahir ayat atau hadith.
Kedua, memahami makna isyaratnya.










BAB 3
PENUTUP

Kesimpulan
Tafsir shufi adalah tafsir yang ditulis oleh para sufi yang mereka lebih mementingkan bathinnya lafal dari pada lahirnya. Dalam tafsir shufi terdapat dua corak tafsir, yaitu; tafsir sufi nazhari dan tafsir sufi isy’ari. Tafsir sufi nazhari adalah tafsir produk sufi teoritis, sedangkan tafsir sufi isyari adalah tafsir produk sufi praktis. Tafsir sufi seharusnya steril dari dimensi sektarianisme, karena ia diklaim bersumber dari Tuhan yang adalah sumber dari segala kebenaran.
Tafsir sufi nadzari mempunyai makna-makna tertentu dan bukan makna lain yang di balik ayat. Dalam tafsir sufi isyari asumsi dasarnya makna lain yang ada di balik makna lahir. Dengan perkataan lain bahwa al-Qur’an terdiri dari makna zahir dan batin.


tafsir tematik atau tafsir maudhu`i


BAB 1
PENDAHULUAN

A.    Latar belakang   
Sejalan dengan perkembangan zaman, ilmu tafsir terus berkembang dan kitab-kitab tafsir bertambah banyak dengan berbagai macam metode dan corak tafsir, yang kesemuanya itu merupakan konsekuensi logis dari perkembangan ilmu tafsir tersebut. Pada akhir-akhir ini muncul berbagai metode tafsir ke permukaan yang pada hakekatnya semua metode tersebut sebagai upaya mengungkap maksud-maksud Alquran dalam menjawab permasalahan umat. Salah satu metode tafsir yang paling populer akhir-akhir ini ialah metode tafsir maudhu’i (tematik). Dengan penggunaan metode ini diharapkan dapat merupakan sebuah jawaban Alquran terhadap berbagai masalah yang timbul atau paling tidak menambah perbendaharaan dalam ulumul quran. Dikatakan dapat menjawab permasalahan umat, karena prosedur kerja metode ini adalah mengambil berbagai ayat-ayat yang representative dari seluruh Alquran yang berhubungan dengan masalah yang dibahas. kemudian mufassir melengkapi dirinya dengan berbagai macam ilmu tafsir, menghubungkan masalah dengan interdiaipliner atau multidiaipliner, dan ditarik kembali kepada Alqur’an, serta pada akhimya menemukan sebuah jawaban Alquran terhadap masalah yang sedang dihadapi. Tulisan ini akan mencoba mendiskripsikan tentang pengertian tafsir, pembagian tafsir maudu’I, kelebihan dan kekurangan tafsir maudhu’I, langkah-langkap tafsir maudhu’i.
Tafsir maudhu’i atau tematik adalah tafsir berperan sangat penting khususnya pada zaman sekarang, karena tafsir maudhu’i dirasa sangat sesuai dengan kebutuhan manusia dan mampu menjawab permasalahan yang ada.Tafsir maudhu’i atau tematik ada berdasar surah al-Qur’an ada berdasar subjek atau topik.





B.    Rumusan masalah
1.     Apa itu tafsir maudhu’i?
2.     Dibagi menjadi berapa tafsir maudhu’i?
3.     Apa kelebihan dan kekurangan tafsir maudhu,i?
4.     Bagaimana langkah-langkap tafsir maudhu’i?
C.    Tujuan
1.     Untuk mengetahui pengertian tafsir maudhu’i.
2.     Untuk mengetahui pembagian tafsir maudhu’i.
3.     Untuk mengetahui kekurangan dan kelebihan tafsir maudhu’i.
4.     Untuk mengetahui langkah-langkap tafsir maudhu’i





















BAB 2
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Tafsir Maudhu’i
Kata maudhu’i berasal dari bahasa arab yaitu maudhu’ yang merupakan isim maf’ul dari fi’il madhi wadha’a yang berarti meletakkan, menjadikan, mendustakan dan membuat-buat. Arti maudhu’i yang dimaksud di sini ialah yang dibicarakan atau judul atau topik atu sektor, sehingga tafsir maudhu’i berarti penjelasan ayat-ayat Alquran yang mengenai satu judul/topik/sektor pembicaraan tertentu. Dan bukan maudhu’i yang berarti yang didustakan atau dibuat-buat, seperti arti kata hadis maudhu’ yang berarti hadis yang didustakan/dipalsukan/dibuat-buat, adapun pengertian tafsir maudhu’i (tematik) ialah mengumpulkan ayat-ayat al-qur’an yang mempunyai tujuan yang satu yang bersama-sama membahas judul/topik/sektor tertentu dan menertibkannya sedapat mungkin sesuai dengan masa turunnya selaras dengan sebab-sebab turunnya, kemudian memperhatikan ayat-ayat tersebut dengan penjelasan-penjelasan, keterangan-keterangan dan hubungan-hubungannya dengan ayat-ayat lain, kemudian mengistimbatkan hukum-hukum.[1]
Menurut al-Sadr bahwa istilah tematik digunakan untuk menerangkan ciri pertama bentuk tafsir ini, yaitu ia mulai dari sebuah tema yang berasal dari kenyataan eksternal dan kembali ke Alquran. la juga disebut sintesis karena merupakan upaya menyatukan pengalaman manusia dengan al­qu’an. Namun ini bukan berarti metode ini berusaha untuk memaksakan pengalaman ini kepada Alquran dan menundukkan Alquran kepadanya. Melainkan menyatukan keduanya di dalam komteks suatu pencarian tunggal yang ditunjukkan untuk sebuah pandangan Ialam mengenai suatu pengalaman manusia tertentu atau suatu gagasan khusus yang dibawa oleh si mufassir ke dalam konteks pencariannya. Bentuk tafsir ini disebut tematik atas dasar keduanya, yaitu karena ia memilih sekelompok ayat yang berhubungan dengan sebuah tema tunggal. Ia disebut sistetis, atas dasar ciri kedua ini karena ia melakukan sintesa terhadap ayat-ayat berikut artinya ke dalam sebuah pandangan yang tersusun.[2]
Menurut al Farmawi bahwa dalam membahas suatu tema, diharuskan untuk mengumpulkan seluruh ayat yang menyangkut terma itu. Namun demikian, bila hal itu sulit dilakukan, dipandang memadai dengan menyeleksi ayat-ayat yang mewakili (representatif).[3]
Dari beberapa gambaran di atas dapat dirumuskan bahwa tafsir maudhu’i ialah upaya menafsirkan ayat-ayat Alquran mengenai suatu terma tertentu, dengan mengumpulkam semua ayat atau sejumlah ayat yang dapat mewakili dan menjelaskannya sebagai suatu kesatuan untuk memperoleh jawaban atau pandangan Alquran secara utuh tentang terma tertentu, dengan memperhatikan tertib turunnya masing-masing ayat dan sesuai dengan asbabun nuzul kalau perlu.

B.    Pembagian Tafsir Maudhu’i
Dalam perkembangannya, metode maudhu’i memiliki dua bagian:
a.       Mengkaji sebuah surat dengan kajian universal (tidak parsial), yang di dalamnya dikemukakan misi awalnya, lalu misi utamanya, serta kaitan antara satu bagian surat dan bagian lain, sehingga wajah surat itu mirip seperti bentuk yang sempurna dan saling melengkapi. Contoh

Segala puji bagi Allah yang memiliki apa yang di langit dan apa yang di bumi dan bagi-Nya (pula) segala puji di akhirat. Dan Dia-lah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi, apa yang ke luar daripadanya, apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepadanya. Dan Dia-lah Yang Maha Penyayang lagi Maha Pengampun.(Qs,Saba:1-2)
Di Al-Qur’an surat saba’: 1-2 ini diawali pujian bagi Allah dengan menyebutkan kekuasaan-Nya. Setelah itu, mengemukakan pengetahuan-Nya yang universal, kekuasaan-Nya yang menyeluruh pada kehendak-Nya yang bijak.
b.     Menghimpun seluruh ayat Al-qur’an yang berbicara tentang tema yang sama. Semuanya diletakkan dibawah satu judul, lalu ditafsirkan dengan metode maudhu’i.[4]
Contohnya: Allah SWT, berfirman:
 “ Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dan tuhannya , maka Allah menerima taubatnya, sesungguhnya Allah maha penerima tobat lagi maha penyayang.”(Al-Baqarah:37)
Untuk menjelaskan kata ‘kalimat’ pada firman Allah Ta’ala di atas ,nabi mengemukakan ayat.
“ keduanya berkata, : ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika engkau tidak mengampuni rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang merugi.”(Al-A’raf:23)
Pembicaraan al-Qur’an tentang anak yatim pada priode Mekkah ini terdapat didalam surat pada ayat-ayat berikut;
 “Janganlah kamu mendekati harta anak yatim kecuali dengan cara yang lebih baik (bermanfaat) sampai ia dewasa”.(AL-An’am:152)
“Sekali-kali tidak demikian sebenarnya kamu tudak memuliakan anak yatim”. (QS al-Fajar:17)
“Aku memberi makan pada hari kelaparan (kepada) anak yatim yang ada hubungan
Kerabat”. (QS al-balad:14-15)
 “Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu.Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk. Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan. Adapun  terhadap anak yatim maka janganlah kamu berlaku sewenang-wenang”.(Ad-Dhuha:6-9)


C.    Kelebihan dan Kekurangan Tafsir Maudhu’i
Kelebihan metode tafsir maudhu’i antara lain:
a.      Menjawab tantangan zaman: Permasalahan dalam kehidupan selalu tumbuh dan berkembang sesuai dengan perkembangan kehidupan itu sendiri. Maka metode maudhu’i sebagai upaya metode penafsiran untuk menjawab tantangan tersebut. Untuk kajian tematik ini diupayakan untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi masyarakat.
b.      Praktis dan sistematis: Tafsir dengan metode  tematik disusun secara praktis dan sistematis dalam usaha memecahkan permasalahan yang timbul.
c.      Dinamis: Metode tematik membuat tafsir al-Qur’an selalu dinamis sesuai dengan tuntutan zaman sehingga menimbulkan image di dalam pikiran pembaca dan pendengarnya bahwa al-Qur’an senantiasa mengayomi dan membimbing kehidupan di muka bumi ini pada semua lapisan dan starata sosial.
d.     Membuat pemahaman menjadi utuh: Dengan ditetapkannya judul-judul yang akan dibahas, maka pemahaman ayat-ayat al-Qur’an dapat diserap secara utuh. Pemahaman semacam ini sulit ditemukan dalam metode tafsir yang dikemukakan di muka. Maka metode tematik ini dapat diandalkan untuk pemecahan suatu permasalahan secara lebih baik dan tuntas.
Kekurangan metode tafsir maudhu’i antara lain:
a.       Memenggal ayat al-Qur’an: Yang dimaksud memenggal ayat al-Qur’an ialah suatu kasus yang terdapat di dalam suatu ayat atau lebih mengandung banyak permasalahan yang berbeda. Misalnya, petunjuk tentang shalat dan zakat. Biasanya kedua ibadah itu diungkapkan bersama dalam satu ayat. Apabila ingin membahas kajian tentang zakat misalnya, maka mau tidak mau ayat tentang shalat harus di tinggalkan ketika menukilkannya dari mushaf agar tidak mengganggu pada waktu melakukan analisis.
b.     Membatasi pemahaman ayat: Dengan diterapkannya judul penafsiran, maka pemahaman suatu ayat menjadi terbatas pada permasalahan yang dibahas tersebut. Akibatnya mufassir terikat oleh judul itu. Padahal tidak mustahil satu ayat itu dapat ditinjau dari berbagai aspek, karena dinyatakan Darraz bahwa, ayat al-Qur’an itu bagaikan permata yang setiap sudutnya memantulkan cahaya. Jadi, dengan diterapkannya judul pembahasan, berarti yang akan dikaji hanya satu sudut dari permata tersebut.[5]
D.    Langkah-langkah Tafsir Maudhu’i
a.      Memilih atau menetapkan masalah al-Qur'an yang akan dikaji secara maudhu’i (tematik).
b.     Menghimpun seluruh ayat al-quran yang terdapat pada seluruh surat al-Qur'an yang berkaitan dan berbicara tentang tema yang hendak dikaji, baik surat makkiyyat atau surat madaniyyat.
c.      Menentukan urutan ayat-ayat yang dihimpun itu sesuai dengan masa turunnya dan mengemukakan sebab-sebab turunnya jika hal itu dimungkinkan (artinya, jika ayat-ayat itu turun karena sebab-sebab tertentu).
d.     Menjelaskan munasabah (relevansi) antara ayat-ayat itu pada masing-masing suratnya dan kaitan antara ayat-ayat itu dengan ayat-ayat sebelum dan sesudahnya pada masing-masing suratnya (dianjurkan untuk melihat kembali pada tafsir tahlily).
e.      Menyusun tema bahasan di dalam kerangka yang pas, sistematis, sempurna, dan utuh (outline) yang mencakup semua segi dari tema kajian.
f.      Mengemukakan hadith-hadith Rasulullah SAW yang berbicara tentang tema kajian serta men-takhrij dan menerangkan derajat hadith-hadith itu untuk lebih meyakinkan kepada orang lain yang mempelajari tema itu. Dikemukakan pula riwayat-riwayat (athar) dari para sahabat dantabi’in.
g.     Merujuk kepada kalam (ungkapan-ungkapan bangsa) Arab dan shair-shair mereka dalam menjelaskan lafaz-lafaz yang terdapat pada ayat-ayat yang berbicara tentang tema kajian dan dalam menjelaskan makna-maknanya.
h.     Mempelajari ayat-ayat tersebut secara maudu’i dan menyeluruh dengan cara menghimpun ayat-ayat yang mengandung pengertian serupa, mengkompromikan pengertian antara yang ‘am dan khas, antara yang mutlaq dan muqayyad, mengsinkronkan ayat-ayat yang lahirnya tampak kontradiktif, menjelaskan ayat yang nasikh danmansukh, sehingga semua ayat tersebut bertemu pada satu muara, tanpa perbedaan dan kontradiksi atau tindakan pemaksaan terhadap sebagian ayat kepada makna-makna yang sebenarnya tidak tepat.[6]
Sedangkan  yang melakukan tafsir maudu’i dengan surat persurat menggunakan langkah-langkah sebagai berikut:
1.       Mengambil satu surat dan menjelaskan masalah-masalah yang berhubungan dengan surat tersebut, sebab-sebab turunnya dan bagaimana surat itu diturunkan (permulaan, pertengahan ataupun akhir, madaniyat atau makkiyat, dan hadith-hadith yang menerangkan keistimewaanya).
2.       Menyampaikan pengertian dari tujuan mendasar dalam surat dan membahas mengenai terjadinya nama surat itu.
3.       Membagi surat (khusus untuk surat yang panjang) kepada bagian-bagian yang lebih kecil, menerangkan unsur-unsurnya (meliputi ‘am khas-nya, nasikh mansukh-nya, lafaz-nya dalam bahasa Arab dan lain-lain) dan tujuan masing-masing bagian serta menetapkan kesimpulan dari bagian tersebut.
4.       Menghubungkan keterangan atau kesimpulan dari masing-masing bagian kecil tersebut dan menerangkan pokok tujuannya.[7]













BAB III
KESIMPULAN

Secara singkat tafsir tematik atau tafsir maudhu`i dapat diformulasikan sebagai suatu Tafsir yang berusaha mencari jawaban-jawaban Alquran tetang suatu masalah dengan jalan menghimpunkan ayat-ayat yang berkaitan dengannya, serta menganalisa melalui ilmu-ilmu bantu yang relevan dengan masalah-masalah yang dibahas, sehingga dapat melahirkan konsep-konsep yang utuh dari Alquran tetang berbagai masalah. Metode yang relative baru dan dianggap aktual dalam penafsiran Alquran berangkat dari suatu kesatuan yang logis dan saling berkaitan antara satu sama lainnya. Jadi tidak ada satupun kontradiksi ayat-ayat Alquran, hal ini semakin jelas sebagaimana yang ditegaskan pula didalam Alquran itu sendiri. Asumsi dasar ini berkaitan dengan prinsip yang amat masyhur dikalangan mufassir yaitu Alquranيفسر بعضه بعضا  yaitu bahwa sebagian ayat Alqura diTafsirkan dengan ayat yang lain.
Analisis Kelebihan dan Kelemahan Tafsir maudhu’i  yaitu:
1.     Kelebihan metode tafsir maudhu’i yaitu menjawab tantangan zamanpraktis dan sistematisdinamis, dan membuat pemahaman menjadi utuh.
2.      Kekurangan metode tafsir maudhu’i yaitu Memenggal ayat al-Qur’an dan Membatasi pemahaman ayat.













DAFTAR PUSTAKA

Baidan Nushruddin, Metodologi Penafsiran al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Pelajar. 1988.
Rohimin, Metodologi Ilmu Tafsir dan Aplikasi Model Penafsiran. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2007.
Al-Farabi, Abdul Hayy, Metode Tafsir Maudhu’I dan Cara Penerapannya, Rajawali Pers. Jakarta. 1996.







[1] Rohimin, Metodologi Ilmu Tafsir dan Aplikasi Model Penafsiran, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2007, hlm. 14


[2] Nushruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur’an, Pustaka Pelajar, Jakarta, 1988, hlm. 2
[4] Al-Farabi dan Abdul Hayy, Metode Tafsir Maudhu’I dan Cara Penerapannya, Rajawali Pers, 1996, hlm. 92-93.
[5] Rohimin, Metodologi Ilmu Tafsir dan Aplikasi Model Penafsiran, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2007, hlm. 20-21.
[6] Nushruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur’an, Pustaka Pelajar, Jakarta, 1988, hlm. 6-7.
[7] Nushruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur’an, Pustaka Pelajar, Jakarta, 1988, hlm. 8-9.